Senin, 19 Desember 2011

Asas-Asas H.Pidana I

Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel Surabaya 2011
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Apakah hukum pidana itu ? pertanyaan ini sesungguhnya sangat sulit untuk dijawab,
mengingat hukum pidana itu mempunyai banyak segi, yang masing-masing mempunyai arti sendirisendiri.
Penerapan hukum pidana berkaitan dengan ruang lingkup hukum pidana itu sendiri dapat
bersifat luas dan dapat pula bersifat sempit. Dalam tindak pidana dapat melihat seberapa jauh
seseorang telah merugikan masyarakat dan pidana apa yang perlu dijatuhkan kepada orang tersebut
karena telah melanggar hukum. Selain itu, tujuan hukum pidana tidak hanya tercapai dengan
pengenaan pidana, tetapi merupakan upaya represif yang kuat berupa tindakan-tindakan
pengamanan.
Perlunya pemahaman terhadap teori-teori serta Asas-Asas Hukum Pidana tersebut bagi
peserta diklat, maka Pusat Pendidikan Dan Pelatihan Kejaksaan R.I menyusun modul mengenai asasasas
hukum pidana dengan tujuan agar peserta Pendidikan dan Pelatihan pendahuluan mengerti dan
memahami teori-teori maupun asas-asas hukum pidana yang perlu diperhaitkan dalam
melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai jaksa nantinya.
B. DESKRIPSI SINGKAT
Modul asas-asas hukum pidana memberikan pemahaman bagi peserta pendidikan dan
pelatihan tentang ruang lingkup berlakunya, tindak pidana, adanya hubungan sebab akibat
(causaliteit, causalitat), sifat melawan hukum, kesalahan dan pertanggungjawaban pidana,
kesengajaan, kealpaan, delik pelanggaran, pemidanaan, percobaan, penyertaan, penggabungan tindak
pidana, dasar penghapus pidana, gugurnya wewenang menuntut dan menjalankan pidana.
C. TUJUAN PEMBELAJARAN
1. Tujuan Intruksional Umum
Setelah mempelajari modul ini peserta diharapkan mengetahui tentang teori, asas, delik tindak
pidana dan dapat menerapkannya dalam melaksanakan tugas sebagai penyidik dan penuntut
umum dalam penanganan perkara pidana.
2. Tujuan Instruksional Khusus
Setelah mempelajari modul ini peserta diklat diharapkan mengetahui tentang ruang lingkup
berlakunya, tindak pidana, adanya hubungan sebab akibat (causaliteit, causalitat), sifat melawan
hukum, kesalahan dan pertanggungjawaban pidana, kesengajaan, kealpaan, delik pelanggaran,
pemidanaan, percobaan, penyertaan, penggabungan tindak pidana, dasar penghapus pidana,
gugurnya wewenang menuntut dan menjalankan pidana.
D. POKOK BAHASAN
1. Ruang lingkup berlakunya Hukum Pidana.
2. Tindak Pidana.
3. Hubungan sebab akibat (causaliteit, causalitat).
4. Sifat melawan hukum (rechtswdrig, unrecht, wederrechtelijk, onrechmatig).
5. Kesalahan dan pertanggungjawaban pidana.
6. Kesengajaan (dolus, intent, opzet, vorsatz).
7. Kealpaan (culpa).
8. Kesalahan dalam delik pelanggaran.
9. Pidana dan pemidanaan (hukum penitensier).
10. Percobaan (poging, attempt).
11. Penyertaan.
12. Penggabungan tindak pidana (samenloop / concursus).
13. Alasan / dasar penghapus pidana (straffuitsluitingsgrond, grounds of impiunity.)
14. Gugurnya kewenangan menuntut dan menjalankan pidana.
E. FASILITAS / MEDIA
Fasilitas dan media yang digunakan dalam proses pembelajaran Pengantar asas-asas hukum
pidana antara lain :
1. Modul asas-asas hukum pidana;
2. Internet;
3. Peraturan perundang-undangan;
4. Literatur yang terkait.
http://www.kejaksaan.go.id/pusdiklat/uplimg/File/Asas-asas%20Hukum%20Pidana.doc
2
BAB II
RUANG LINGKUP BERLAKUNYA HUKUM PIDANA
A. RUANG BERLAKUNYA HUKUM PIDANA MENURUT WAKTU
Penerapan hukum pidana atau suatu perundang-undangan pidana berkaitan dengan waktu
dan tempat perbuatan dilakukan. Serta berlakunya hukum pidana menurut waktu menyangkut
penerapan hukum pidana dari segi lain. Dalam hal seseorang melakukan perbuatan (feit) pidana
sedangkan perbuatan tersebut belum diatur atau belum diberlakukan ketentuan yang bersangkutan,
maka hal itu tidak dapat dituntut dan sama sekali tidak dapat dipidana.
Asas Legalitas (nullum delictum nula poena sine praevia lege poenali) Terdapat dalam Pasal 1 ayat
(1) KUHP. Tidak dapat dipidana seseorang kecuali atas perbuatan yang dirumuskan dalam suatu
aturan perundang-undangan yang telah ada terlebih dahulu.
Dalam perkembangannya amandemen ke-2 UUD 1945 dalam Pasal 28 ayat (1) berbunyi dan
berhak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apapun dan Pasal 28 J ayat (2) Undang-undang Dasar 1945 yang berbunyi : “Dalam
menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan
dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai
dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu
masyarakat demokratis”. Karenanya asas ini dapat pula dinyatakan sebagai asas konstitusional.
Dalam catatan sejarah asas ini dirumuskan oleh Anselm von Feuerbach dalam teori : “vom
psychologishen zwang (paksaan psikologis)” dimana adagium : nullum delictum nulla poena sine praevia
lege poenali yang mengandung tiga prinsip dasar:
 Nulla poena sine lege (tiada pidana tanpa undang-undang)
 Nulla Poena sine crimine (tiada pidana tanpa perbuatan pidana)
 Nullum crimen sine poena legali (tiada perbuatan pidana tanpa undang-undang pidana yang
terlebih dulu ada)
Adagium ini menganjurkan supaya :
1. Dalam menentukan perbuatan-perbuatan yang dilarang di dalam peraturan bukan saja tentang
macamnya perbuatan yang harusdirumuskan dengan jelas, tetapi juga macamnya pidana yang
diancamkan;
2. Dengan cara demikian maka orang yang akan melakukan perbuatanyang dilarang itu telah
mengetahui terlebih dahulu pidana apa yangakan dijatuhkan kepadanya jika nanti betul-betul
melakukan perbuatan;
3. Dengan demikian dalam batin orang itu akan mendapat tekanan untuk tidak berbuat. Andaikata
dia ternyata melakukan juga perbuatan yang dilarang, maka dinpandang dia menyetujui pidana
yang akan dijatuhkan kepadanya.
Prof. Moeljatno menjelaskan inti pengertian yang dimaksud dalam asas legalitas yaitu :
1. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu
belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang. Hal ini dirumuskan dalam Pasal 1 ayat
(1) KUHP.
2. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi, akan tetapi
diperbolehkan penggunaan penafsiran ekstensif.
3. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.
Schaffmeister dan Heijder merinci asas ini dalam pokok-pokok pikiran sebagai berikut :
1. Tidak dapat dipidana kecuali ada ketentuan pidana berdasar peraturan perundang-undangan
(formil).
2. Tidak diperkenankan Analogi (pengenaan suatu undang-undang terhadap perbuatan yang tidak diatur
oleh undang-undang tersebut).
3. Tidak dapat dipidana hanya berdasarkan kebiasaan (Hukum tidak tertulis).
4. Tidak boleh ada perumusan delik yang kurang jelas (lex Certa).
5. Tidak boleh Retroaktif (berlaku surut)
6. Tidak boleh ada ketentuan pidana diluar Undang-undang.
7. Penuntutan hanya dilakukan berdasarkan atau dengan cara yang ditentukan undang-undang.
B. RUANG BERLAKUNYA HUKUM PIDANA MENURUT TEMPAT (LEX LOCI)
Teori tetang ruang lingkup berlakunya hukum pidana nasional menurut tempat terjadinya.
Perbuatan (yurisdiksi hukum pidana nasional), apabila ditinjau dari sudut Negara ada 2 (dua) pendapat
yaitu :
1. Perundang-undangan hukum pidana berlaku bagi semua perbuatan pidana yang terjadi
diwilayah Negara, baik dilakuakan oleh warga negaranya sendiri maupun oleh orang lain (asas
territorial).
Asas-asas Hukum Pidana
3
2. Perundang-undangan hukum pidana berlaku bagi semua perbuatan pidana yang dilakukan oleh
warga Negara, dimana saja, juga apabila perbuatan pidana itu dilakukan diluar wilayah Negara.
Pandangan ini disebut menganut asas personal atau prinsip nasional aktif.
Pada bagian ini, akan melihat kepada berlakunya hukum pidana menurut ruang tempat dan
berkaitan pula dengan orang atau subyek. Dalam hal ini asas-asas hukum pidana menurut tempat :
1. Asas Teritorial.
2. Asas Personal (nasional aktif).
3. Asas Perlindungan (nasional pasif)
4. Asas Universal.
1. Asas Teritorial
Asas ini diatur juga dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu dalam pasal
2 KUHP yang menyatakan : “Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap
orang yang melakukan suatu tindak pidana di Indonesia”.
Pasal ini dengan tegas menyatakan asas territorial, dan ketentuan ini sudah sewajarnya
berlaku bagi Negara yang berdaulat. Asas territorial lebih menitik beratkan pada terjadinya perbuatan
pidana di dalam wilayah Negara tidak mempermasalahkan siapa pelakunya, warga Negara atau
orang asing. Sedang dalam asas kedua (asas personal atau asas nasional yang aktif) menitik beratkan
pada orang yang melakukan perbuatan pidana, tidak mempermasalahkan tempat terjadinya
perbuatan pidana. Asas territorial yang pada saat ini banyak diikuti oleh Negara-negara di dunia
termasuk Indonesia. Hal ini adalah wajar karena tiap-tiap orang yang berada dalam wilayah suatu
Negara harus tunduk dan patuh kepada peraturan-peraturan hukum Negara dimana yang
bersangkutan berada.
Perluasan dari Asas Teritorialitas diatur dalam pasal 3 KUHP yang menyatakan : “Ketentuan
pidana perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar wilayah Indonesia
melakukan tindak pidana didalan kendaraan air atau pesawat udara Indonesia”.
Ketentuan ini memperluas berlakunya pasal 2 KUHP, tetapi tidak berarti bahwa perahu
(kendaraan air) dan pesawat terbang lalu dianggap bagian wilayah Indonesia. Tujuan dari pasal ini
adalah supaya perbuatan pidana yang terjadi di dalam kapal atau pesawat terbang yang berada di
perairan bebas atau berada di wilayah udara bebas, tidak termasuk wilayah territorial suatu Negara,
sehingga ada yang mengadili apabila terjadi suatu perbuatan pidana.
Setiap orang yang melakukan perbuatan pidana diatas alat pelayaran Indonesia diluar
wilayah Indonesia. Alat pelayaran pengertian lebih luas dari kapal. Kapal merupakan bentuk khusus
dari alat pelayaran. Di luar Indonesia atau di laut bebas dan laut wilayah Negara lain.
Asas-asas Extra Teritorial / kekebalan dan hak-hak Istimewa (Immunity and Previlege).
 Kepala Negara asing dan anggota keluarganya.
 Pejabat-pejabat perwakilan asing dan keluarganya.
 Pejabat-pejabat pemerintahan Negara asing yang berstatus diplomatik yang dalam perjalanan
melalui Negara-negara lain atau menuju Negara lain.
 Suatu angkatan bersenjata yang terpimpin.
 Pejabat-pejabat badan Internasional.
 Kapal-kapal perang dan pesawat udara militer / ABK diatas kapal maupun di luar kapal.
2. Asas Personal
Asas Personal atau Asas Nasional yang aktif tidak mungkin digunakan sepenuhnya terhadap
warga Negara yang sedang berada dalam wilayah Negara lain yang kedudukannya sama-sama
berdaulat. Apabila ada warga Negara asing yang berada dalam suatu wilayah Negara telah
melakukan tindak pidana dan tindak pidana dan tidak diadili menurut hukum Negara tersebut maka
berarti bertentangan dengan kedaulatan Negara tersebut. Pasal 5 KUHP hukum Pidana Indonesia
berlaku bagi warga Negara Indonesa di luar Indonesia yang melakukan perbuatan pidana tertentu
Kejahatan terhadap keamanan Negara, martabat kepala Negara, penghasutan, dll.
Pasal 5 KUHP menyatakan :
(1) Ketetentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi warga Negara yang
di luar Indonesia melakukan : salah satu kejahatan yang tersebut dalam Bab I dan Bab II Buku
Kedua dan Pasal-Pasal 160, 161, 240, 279, 450 dan 451. Salah satu perbuatan yang oleh suatu
ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia dipandang sebagai kejahatan,
sedangkan menurut perundang-undangan Negara dimana perbuatan itu dilakukan diancam
dengan pidana.
(2) Penuntutan perkara sebagaimana dimaksud dalam butir 2 dapat dilakukan juga jika terdakwa
menjadi warga Negara sesudah melakukan perbuatan”.
http://www.kejaksaan.go.id/pusdiklat/uplimg/File/Asas-asas%20Hukum%20Pidana.doc
4
Sekalipun rumusan pasal 5 ini memuat perkataan “diterapkan bagi warga Negara Indonesia yang
diluar wilayah Indonesia”’, sehingga seolah-olah mengandung asas personal, akan tetapi sesungguhnya
pasal 5 KUHP memuat asas melindungi kepentingan nasional (asas nasional pasif) karena:
 Ketentuan pidana yang diberlakukan bagi warga Negara diluar wilayah territorial wilyah
Indonesia tersebut hanya pasal-pasal tertentu saja, yang dianggap penting sebagai perlindungan
terhadap kepentingan nasional. Sedangkan untuk asas personal, harus diberlakukan seluruh
perundang-undangan hukum pidana bagi warga Negara yang melakukan kejahatan di luar
territorial wilayah Negara.
 Ketentuan pasal 5 ayat (2) adalah untuk mencegah agar supaya warga Negara asing yang
berbuat kejahatan di Negara asing tersebut, dengan jalan menjadi warga Negara Indonesia
(naturalisasi).
Bagi Jaksa maupun hakim Tindak Pidana yang dilakukan di negara asing tersebut, apakah
menurut undang-undang disana merupakan kejahatan atau pelanggaran, tidak menjadi
permasalahan, karena mungkin pembagian tindak pidananya berbeda dengan di Indonesia, yang
penting adalah bahwa tindak pidana tersebut di Negara asing tempat perbuatan dilakukan diancam
dengan pidana, sedangkan menurut KUHP Indonesia merupakan kejahatan, bukan pelanggaran.
Ketentuan pasal 6 KUHP :
“Berlakunya pasal 5 ayat (1) butir 2 dibatasi sedemikian rupa sehingga tidak dijatuhkan pidana mati, jika
menurut perundang-undangan Negara dimana perbuatan dilakukan terhadapnya tidak diancamkan pidana
mati”.
Latar belakang ketentuan pasal 6 ayat (1) butir 2 KUHP adalah untuk melindungi
kepentingan nasional timbal balik (mutual legal assistance). Oleh karena itu menurut Moeljatno, sudah
sewajarnya pula diadakan imbangan pulu terhadap maksimum pidana yang mungkin dijatuhkan
menurut KUHP Negara asing tadi.
3. Asas Perlindungan
Sekalipun asas personal tidak lagi digunakan sepenuhnya tetapi ada asas lain yang
memungkinkan diberlakukannya hukum pidana nasional terhadap perbuatan pidana yang terjadi di
luar wilayah Negara
Pasal 4 KUHP (seteleh diubah dan ditambah berdasarkan Undang-undang No. 4 Tahun 1976)
“Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang
melakukan di luar Indonesia :
a. Salah satu kejahatan berdasarkan pasal-pasal 104, 106, 107, 108 dan 131;
b. Suatu kejahatan mengenai mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh Negara atau bank,
ataupun mengenai materai yang dikeluarkan dan merek yang digunakan oleh Pemerintah
Indonesia;
c. Pemalsuan surat hutang atau sertifikat hutang atas tanggungan suatu daerah atau bagian daerah
Indonesia, termasuk pula pemalsuan talon, tanda deviden atau tanda bunga yang mengikuti
surat atau sertifikat itu, dan tanda yang dikeluarkan sebagai pengganti surat tersebut atau
menggunakan surat-surat tersebut di atas, yang palsu atau dipalsukan, seolah-olah asli dan tidak
palsu;
d. Salah satu kejahatan yang disebut dalam Pasal-pasal 438, 444 sampai dengan 446 tentang
pembajakan laut dan pasal 447 tentang penyerahan kendaraan air kepada kekuasaan bajak laut
dan pasal 479 huruf j tentang penguasaan pesawat udara secara melawan hukum, pasal 479 l, m,
n dan o tentang kejahatan yang mengancam keselamatan penerbangan sipil.
Dalam pasal 4 KUHP ini terkandung asas melindungi kepentingan yaitu melindungi
kepentingan nasional dan melindungi kepentingan internasional (universal). Pasal ini menentukan
berlakunya hukum pidana nasional bagi setiap orang (baik warga Negara Indonesia maupun warga
negara asing) yang di luar Indonesia melakukan kejahatan yang disebutkan dalam pasal tersebut.
Dikatakan melindungi kepentingan nasional karena pasal 4 KUHP ini memberlakukan
perundang-undangan pidana Indonesia bagi setiap orang yang di luar wilayah Negara Indonesia
melakukan perbuatan-perbuatan yang merugikan kepentingan nasional, yaitu :
a. Kejahatan terhadap keamanan Negara dan kejahatan terhadap martabat / kehormatan Presiden
Republik Indonesia dan Wakil Presiden Republik Indonesia (pasal 4 ke-1)
b. Kejahatan mengenai pemalsuan mata uang atau uang kertas Indonesia atau segel / materai dan
merek yang digunakan oleh pemerintah Indonesia (pasal 4 ke-2)
c. Kejahatan mengenai pemalsuan surat-surat hutang atau sertifkat-sertifikat hutang yang
dikeluarkan oleh Negara Indonesia atau bagian-bagiannya (pasal 4 ke-3)
d. Kejahatan mengenai pembajakan kapal laut Indonesia dan pembajakan pesawat udara Indonesia
(pasal 4 ke-4)
4. Asas Universal
Asas-asas Hukum Pidana
5
Berlakunya pasal 2-5 dan 8 KUHP dibatasi oleh pengecualian-pengecualian dalam hukum
internasional. Bahwa asas melindungi kepentingan internasional (asas universal) adalah dilandasi
pemikiran bahwa setiap Negara di dunia wajib turut melaksanakan tata hukum sedunia (hukum
internasional).
Dikatakan melindungi kepentingan internasional (kepentingan universal) karena rumusan
pasal 4 ke-2 KUHP (mengenai kejahatan pemalsuan mata uang atau uang kertas) dan pasal 4 ke-4
KUHP (mengenai pembajakan kapal laut dan pembajakan pesawat udara) tidak menyebutkan mata
uang atau uang kertas Negara mana yang dipalsukan atau kapal laut dan pesawat terbang negara
mana yan dibajak. Pemalsuan mata uang atau uang kertas yang dimaksud dalam pasal 4 ke-2 KUHP
menyangkut mata uang atau uang kertas Negara Indonesia, akan tetapi juga mungkin menyangkut
mata uang atau uang kertas Negara asing. Pembajakan kapal laut atau pesawat terbang yang
dimaksud dalam pasal 4 ke-4 KUHP dapat menyangkut kapal laut Indonesia atau pesawat terbang
Indonesia, dan mungkin juga menyangkut kapal laut atau pesawat terbang Negara asing.
Jika pemalsuan mata uang atau uang kertas, pembajakan kapal, laut atau pesawat terbang
adalah mengenai kepemilikan Indonesia, maka asas yang berlaku diterapkan adalah asas melindungi
kepentingan nasional (asas nasional pasif). Jika pemalsuan mata uang atau uang kertas, pembajakan
kapal laut atau pesawat terbang adalah mengenai kepemilikan Negara asing, maka asas yang berlaku
adalah asas melindungi kepentingan internasional (asas universal).
Pasal 7 KUHP
“Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap pejabat yang di luar
Indonsia melakukan salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksudkan dalam Bab XXVIII Buku
Kedua”.
Pasal ini mengenai kejahatan jabatan yang sebagian besar sudah diserap menjadi tindak
pidana korupsi. Akan tetapi pasal-pasal tersebut (pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420,
423, 425, 435) telah dirubah oleh Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU No.
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan rumusan tersendiri sekalipun
masih menyebut unsur-unsur yang terdapat dalam masing-masing pasal KUHP yang diacu. Dalam
hal demikian apakah pasal 7 KUHP masih dapat diterapkan ? untuk masalah tersebut harap
diperhatikan pasal 16 UU No. 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang
berbunyi : “setiap orang di luar wilayah Negara republik Indonesia yang memberikan bantuan, kesempatan,
sarana atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana korupsi dipidana dengan pidana yang sama sebagai
pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam pasal 2, pasal 3, pasal 5 sampai dengan pasal 14”
Pasal 8 KUHP
“Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku nahkoda dan penumpang perahu
Indonesia, yang di luar Indonesia, sekalipun di luar perahu, melakukan salah satu tindak pidana
sebagaimana dimaksudkan dalam Bab XXIX Buku Kedua dan Bab IX buku ketiga, begitu pula yang
tersebut dalam peraturan mengenai surat laut dan pas kapal di Indonesia, maupun dalam ordonansi
perkapalan”.
Dengan telah diundangkannya tindak pidana tentang kejahatan penerbangan dan kejahatan
terhadap sarana / prasarana penerbangan berdasarkan UU No. 4 Tahun 1976 yang dimasukkan
dalam KUHP pada Buku Kedua Bab XXIX A. pertimbangan lain untuk memasukkan Bab XXIX A
Buku Kedua ke dalam pasal 8 KUHP adalah juga menjadi kenyataan bahwa kejahatan penerbangan
sudah digunakan sebagai bagian dari kegiatan terorisme yang dilakukan oleh kelompok terorganisir
pasal 9 KUHP.
Diterapkannya pasal-pasal 2-5-7 dan 8 dibatasi oleh pengecualian-pengecualian yang diakui
dalam hukum-hukum internasional.
Menurut Moeljatno, pada umumnya pengecualian yang diakui meliputi :
a. Kepala Negara beserta keluarga dari Negara sahabat, dimana mereka mempunyai hak
eksteritorial. Hukum nasional suatu Negara tidak berlaku bagi mereka
b. Duta besar Negara asing beserta keluarganya meeka juga mempunyai hak eksteritorial.
c. Anak buah kapal perang asing yang berkunjung di suatu Negara, sekalipun ada di luar kapal.
Menurut hukum internasional kapal peran adalah teritoir Negara yang mempunyainya
d. Tentara Negara asing yang ada di dalam wilayah Negara dengan persetujuan Negara itu.
http://www.kejaksaan.go.id/pusdiklat/uplimg/File/Asas-asas%20Hukum%20Pidana.doc
6
BAB III
TINDAK PIDANA
A. PENGERTIAN TINDAK PIDANA
Hingga saat ini belum ada kesepakatan para sarjana tentang pengertian Tindak pidana
(strafbaar feit). Menurut Prof. Moeljatno S.H., Tindak Pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh
suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi
barang siapa yang melanggar aturan tersebut.
Terdapat 3 (tiga) hal yang perlu diperhatikan :
 Perbuatan pidana adalah perbuatan oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana.
 Larangan ditujukan kepada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh
kelakuan orang), sedangkan ancaman pidana ditujukan kepada orang yang menimbulkan
kejadian itu.
 Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat, oleh karena antara kejadian dan
orang yang menimbulkan kejadian itu ada hubungan erat pula. “ Kejadian tidak dapat dilarang
jika yang menimbulkan bukan orang, dan orang tidak dapat diancam pidana jika tidak karena
kejadian yang ditimbulkan olehnya”.
Selanjutnya Moeljatno membedakan dengan tegas dapat dipidananya perbuatan (die
strafbaarheid van het feit) dan dapat dipidananya orang (strafbaarheid van den person). Sejalan dengan itu
memisahkan pengertian perbuatan pidana (criminal act) dan pertanggungjawaban pidana (criminal
responsibility). Pandangan ini disebut pandangan dualistis yang sering dihadapkan dengan
pandangan monistis yang tidak membedakan keduanya.
B. UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA
Dalam suatu peraturan perundang-undangan pidana selalu mengatur tentang tindak pidana.
Sedangkan menurut Moeljatno “Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum,
larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar
larangan tersebut”. Untuk mengetahui adanya tindak pidana, maka pada umumnya dirumuskan
dalam peraturan perundang-undangan pidana tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang dan
disertai dengan sanksi. Dalam rumusan tersebut ditentukan beberapa unsur atau syarat yang menjadi
ciri atau sifat khas dari larangan tadi sehingga dengan jelas dapat dibedakan dari perbuatan lain yang
tidak dilarang. Perbuatan pidana menunjuk kepada sifat perbuatannya saja, yaitu dapat dilarang
dengan ancaman pidana kalau dilanggar.
Menurut Simons, unsur-unsur tindak pidana (strafbaar feit) adalah :
 Perbuatan manusia (positif atau negative, berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan).
 Diancam dengan pidana (statbaar gesteld)
 Melawan hukum (onrechtmatig)
 Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staand)
 Oleh orang yang mampu bertanggung jawab (toerekeningsvatoaar person).
Simons juga menyebutkan adanya unsur obyektif dan unsur subyektif dari tindak pidana
(strafbaar feit).
1. Unsur Obyektif :
a. Perbuatan orang
b. Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu.
c. Mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan itu seperti dalam pasal 281 KUHP
sifat “openbaar” atau “dimuka umum”.
2. Unsur Subyektif :
a. Orang yang mampu bertanggung jawab
b. Adanya kesalahan (dollus atau culpa). Perbuatan harus dilakukan dengan kesalahan.
c. Kesalahan ini dapat berhubungan dengan akibat dari perbuatan atau dengan keadaan mana
perbuatan itu dilakukan.
Sementara menurut Moeljatno unsur-unsur perbuatan pidana :
1. Perbuatan (manusia)
2. Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (syarat formil)
3. Bersifat melawan hukum (syarat materiil)
Unsur-unsur tindak pidana menurut Moeljatno terdiri dari :
1. Kelakuan dan akibat
2. Hal ikhwal atau keadaan tertentu yang menyertai perbuatan, yang dibagi menjadi :
a. Unsur subyektif atau pribadi
Yaitu mengenai diri orang yang melakukan perbuatan, misalnya unsur pegawai negeri yang
diperlukan dalam delik jabatan seperti dalam perkara tindak pidana korupsi. Pasal 418 KUHP
jo. Pasal 1 ayat (1) sub c UU No. 3 Tahun 1971 atau pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No.
Asas-asas Hukum Pidana
7
20 Tahun 2001 tentang pegawai negeri yang menerima hadiah. Kalau yang menerima hadiah
bukan pegawai negeri maka tidak mungkin diterapka pasal tersebut
b. Unsur obyektif atau non pribadi
Yaitu mengenai keadaan di luar si pembuat, misalnya pasal 160 KUHP tentang penghasutan
di muka umum (supaya melakukan perbuatan pidana atau melakukan kekerasan terhadap
penguasa umum). Apabila penghasutan tidak dilakukan di muka umum maka tidak
mungkin diterapkan pasal ini
Unsur keadaan ini dapat berupa keadaan yang menentukan, memperingan atau memperberat
pidana yang dijatuhkan.
(1) Unsur keadaan yang menentukan misalnya dalam pasal 164, 165, 531 KUHP
Pasal 164 KUHP : barang siapa mengetahui permufakatan jahat untuk melakukan kejahatan tersebut
pasal 104, 106, 107, 108, 113, 115, 124, 187 dan 187 bis, dan pada saat kejahatan masih bisa dicegah
dengan sengaja tidak memberitahukannya kepada pejabat kehakiman atau kepolisian atau kepada yang
terancam, diancam, apabila kejahatan jadi dilakukan, dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat
bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.
Kewajiban untuk melapor kepada yang berwenang, apabila mengetahui akan terjadinya suatu
kejahatan. Orang yang tidak melapor baru dapat dikatakan melakukan perbuatan pidana, jika
kejahatan tadi kemudian betul-betul terjadi. Tentang hal kemudian terjadi kejahatan itu adalah
merupakan unsur tambahan.
Pasal 531 KUHP : barang siapa ketika menyaksikan bahwa ada orang yang sedang menghadapi maut,
tidak memberi pertolongan yang dapat diberikan kepadanya tanpa selayaknya menimbulkan bahaya bagi
dirinya atau orang lain, diancam, jika kemudian orang itu meninggal, dengan pidana kurungan paling
lama tiga bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.
Keharusan memberi pertolongan pada orang yang sedang menghadapi bahaya maut jika tidak
memberi pertolongan, orang tadi baru melakukan perbuatan pidana, kalau orang yang dalam
keadaan bahaya tadi kemudian lalu meninggal dunia. Syarat tambahan tersebut tidak dipandang
sebagai unsur delik (perbuatan pidana) tetapi sebagai syarat penuntutan.
(2) Keadaan tambahan yang memberatkan pidana
Misalnya penganiayaan biasa pasal 351 ayat (1) KUHP diancam dengan pidana penjara paling
lama 2 tahun 8 bulan. Apabila penganiayaan tersebut menimbulkan luka berat; ancaman pidana
diperberat menjadi 5 tahun (pasal 351 ayat 2 KUHP), dan jika mengakibatkan mati ancaman
pidana menjad 7 tahun (pasal 351 ayat 3 KUHP). Luka berat dan mati adalah merupakan
keadaan tambahan yang memberatkan pidana
(3) Unsur melawan hukum
Dalam perumusan delik unsur ini tidak selalu dinyatakan sebagai unsur tertulis. Adakalanya
unsur ini tidak dirumuskan secara tertulis rumusan pasal, sebab sifat melawan hukum atau sifat
pantang dilakukan perbuatan sudah jelas dari istilah atau rumusan kata yang disebut. Misalnya
pasal 285 KUHP : “dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita
bersetubuh di luar perkawinan”. Tanpa ditambahkan kata melawan hukum setiap orang
mengerti bahwa memaksa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan adalah pantang dilakukan
atau sudah mengandung sifat melawan hukum. Apabila dicantumkan maka jaksa harus
mencantumkan dalam dakwaannya dan oleh karenanya harus dibuktikan. Apabila tidak
dicantumkan maka apabila perbuatan yang didakwakan dapat dibuktikan maka secara diamdiam
unsure itu dianggap ada.
Unsur melawan hukum yang dinyatakan sebagai unsur tertulis misalnya pasal 362 KUHP
dirumuskan sebagai pencurian yaitu pengambilan barang orang lain dengan maksud untuk
memilikinya secara melawan hukum.
Pentingnya pemahaman terhadap pengertian unsur-unsur tindak pidana. Sekalipun
permasalahan tentang “pengertian” unsur-unsur tindak pidana bersifat teoritis, tetapi dalam praktek
hal ini sangat penting dan menentukan bagi keberhasilan pembuktian perkara pidana. Pengertian
unsur-unsur tindak pidana dapat diketahui dari doktrin (pendapat ahli) ataupun dari yurisprudensi
yan memberikan penafsiran terhadap rumusan undang-undang yang semula tidak jelas atau terjadi
perubahan makna karena perkembangan jaman, akan diberikan pengertian dan penjelasan sehingga
memudahkan aparat penegak hukum menerapkan peraturan hukum.
Bagi Jaksa pentingnya memahami pengertian unsur-unsur tindak pidana adalah :
1. Untuk menyusun surat dakwaan, agar dengan jelas;
2. Dapat menguraikan perbuatan terdakwa yang menggambarkan uraian unsur tindak pidana yang
didakwakan sesuai dengan pengertian / penafsiran yang dianut oleh doktrin maupun
yurisprudensi;
3. Mengarahkan pertanyaan-pertanyaan kepada saksi atau ahli atau terdakwa untuk menjawab
sesuai fakta-fakta yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan;
http://www.kejaksaan.go.id/pusdiklat/uplimg/File/Asas-asas%20Hukum%20Pidana.doc
8
4. Menentukan nilai suatu alat bukti untuk membuktikan unsur tindak pidana. Biasa terjadi bahwa
suatu alat bukti hanya berguna untuk menentukan pembuktian satu unsur tindak pidana, tidak
seluruh unsur tindak pidana;
5. Mengarahkan jalannya penyidikan atau pemeriksaan di sidang pengadilan berjalan secara
obyektif. Dalil-dalil yang digunakan dalam pembuktian akan dapat dipertanggungjawabkan
secara obyektif karena berlandaskan teori dan bersifat ilmiah;
6. Menyusun requisitoir yaitu pada saat uraian penerapan fakta perbuatan kepada unsur-unsur
tindak pidana yang didakwakan, atau biasa diulas dalam analisa hukum, maka pengertianpengertian
unsur tindak pidana yang dianut dalam doktrin atau yurisprudensi atau dengan cara
penafsiran hukum, harus diuraikan sejelas-jelasnya karena ini menjadi dasar atau dalil untuk
berargumentasi.
C. JENIS-JENIS TINDAK PIDANA
Di bawah ini akan disebut berbagai pembagian jenis delik.
1. Kejahatan dan Pelanggaran
Pembagian delik atas kejahatan dan pelanggaran ini disebut oleh undang-undang. KUHP
buku ke II memuat delik-delik yang disebut : pelanggaran criterium apakah yang dipergunakan
untuk membedakan kedua jenis delik itu ? KUHP tidak memberi jawaban tentang hal ini. Ia hanya
membrisir atau memasukkan dalam kelompok pertama kejahatan dan dalam kelompok kedua
pelanggaran.
Tetapi ilmu pengetahuan mencari secara intensif ukuran (kriterium) untuk membedakan
kedua jenis delik itu.
Ada dua pendapat :
a. Ada yang mengatakan bahwa antara kedua jenis delik itu ada perbedaan yang bersifat kwalitatif.
Dengan ukuran ini lalu didapati 2 jenis delik, ialah :
1) Rechtdelicten
Ialah yang perbuatan yang bertentangan dengan keadilan, terlepas apakah perbuatan itu
diancam pidana dalam suatu undang-undang atau tidak, jadi yang benar-benar dirasakan
oleh masyarakat sebagai bertentangan dengan keadilan misal : pembunuhan, pencurian.
Delik-delik semacam ini disebut “kejahatan” (mala perse).
2) Wetsdelicten
Ialah perbuatan yang oleh umum baru disadari sebagai tindak pidana karena undang-undang
menyebutnya sebagai delik, jadi karena ada undang-undang mengancamnya dengan pidana.
Misal : memarkir mobil di sebelah kanan jalan (mala quia prohibita). Delik-delik semacam ini
disebut “pelanggaran”. Perbedaan secara kwalitatif ini tidak dapat diterima, sebab ada
kejahatan yang baru disadari sebagai delik karena tercantum dalam undang-undang pidana,
jadi sebenarnya tidak segera dirasakan sebagai bertentangan dengan rasa keadilan. Dan
sebaliknya ada “pelanggaran”, yang benar-benar dirasakan bertentangan dengan rasa
keadilan. Oleh karena perbedaan secara demikian itu tidak memuaskan maka dicari ukuran
lain.
b. Ada yang mengatakan bahwa antara kedua jenis delik itu ada perbedaan yang bersifat
kwantitatif. Pendirian ini hanya meletakkan kriterium pada perbedaan yang dilihat dari segi
kriminologi, ialah “pelanggaran” itu lebih ringan dari pada “kejahatan”.
Mengenai pembagian delik dalam kejahatan dan pelanggaran itu terdapat suara-suara yang
menentang. Seminar Hukum Nasional 1963 tersebut di atas juga berpendapat, bahwa penggolonganpenggolongan
dalam dua macam delik itu harus ditiadakan.
Kejahatan ringan: Dalam KUHP juga terdapat delik yang digolongkan sebagai kejahatankejahatan
misalnya pasal 364, 373, 375, 379, 382, 384, 352, 302 (1), 315, 407.
2. Delik formil dan delik materiil (delik dengan perumusan secara formil dan delik dengan
perumusan secara materiil)
Delik formil itu adalah delik yang perumusannya dititikberatkan kepada perbuatan yang
dilarang. Delik tersebut telah selesai dengan dilakukannya perbuatan seperti tercantum dalam
rumusan delik. Misal : penghasutan (pasal 160 KUHP), di muka umum menyatakan perasaan
kebencian, permusuhan atau penghinaan kepada salah satu atau lebih golongan rakyat di Indonesia
(pasal 156 KUHP); penyuapan (pasal 209, 210 KUHP); sumpah palsu (pasal 242 KUHP); pemalsuan
surat (pasal 263 KUHP); pencurian (pasal 362 KUHP).
Delik materiil adalah delik yang perumusannya dititikberatkan kepada akibat yang tidak
dikehendaki (dilarang). Delik ini baru selesai apabila akibat yang tidak dikehendaki itu telah terjadi.
Kalau belum maka paling banyak hanya ada percobaan. Misal : pembakaran (pasal 187 KUHP),
penipuan (pasal 378 KUHP), pembunuhan (pasal 338 KUHP). Batas antara delik formil dan materiil
tidak tajam misalnya pasal 362.
Asas-asas Hukum Pidana
9
3. Delik commisionis, delik ommisionis dan delik commisionis per ommisionen commissa
Delik commisionis : delik yang berupa pelanggaran terhadap larangan, ialah berbuat sesuatu
yang dilarang, pencurian, penggelapan, penipuan.
Delik ommisionis : delik yang berupa pelanggaran terhadap perintah, ialah tidak melakukan
sesuatu yang diperintahkan / yang diharuskan, misal : tidak menghadap sebagai saksi di muka
pengadilan (pasal 522 KUHP), tidak menolong orang yang memerlukan pertolongan (pasal 531
KUHP).
Delik commisionis per ommisionen commissa : delik yang berupa pelanggaan larangan (dus
delik commissionis), akan tetapi dapa dilakukan dengan cara tidak berbuat. Misal : seorang ibu yang
membunuh anaknya dengan tidak memberi air susu (pasal 338, 340 KUHP), seorang penjaga wissel
yang menyebabkan kecelakaan kereta api dengan sengaja tidak memindahkan wissel (pasal 194
KUHP).
4. Delik dolus dan delik culpa (doleuse en culpose delicten)
Delik dolus : delik yang memuat unsur kesengajaan, misal : pasal-pasal 187, 197, 245, 263, 310,
338 KUHP
Delik culpa : delik yang memuat kealpaan sebagai salah satu unsur misal : pasal 195, 197, 201,
203, 231 ayat 4 dan pasal 359, 360 KUHP.
5. Delik tunggal dan delik berangkai (enkelvoudige en samenge-stelde delicten)
Delik tunggal : delik yang cukup dilakukan dengan perbuatan satu kali. Sedangkan delik
berangkai : delik yang baru merupakan delik, apabila dilakukan beberapa kali perbuatan, misal :
pasal 481 (penadahan sebagai kebiasaan)
6. Delik yang berlangsung terus dan delik selesai (voordurende en aflopende delicten)
Delik yang berlangsung terus : delik yang mempunyai ciri bahwa keadaan terlarang itu
berlangsung terus, misal : merampas kemerdekaan seseorang (pasal 333 KUHP).
7. Delik aduan dan delik laporan (klachtdelicten en niet klacht delicten)
Delik aduan : delik yang penuntutannya hanya dilakukan apabila ada pengaduan dari pihak
yang terkena (gelaedeerde partij) misal : penghinaan (pasal 310 dst. jo 319 KUHP) perzinahan (pasal
284 KUHP), chantage (pemerasan dengan ancaman pencemaran, ps. 335 ayat 1 sub 2 KUHP jo. ayat 2).
Delik aduan dibedakan menurut sifatnya, sebagai :
a. Delik aduan yang absolut, ialah mis. : pasal 284, 310, 332. Delik-delik ini menurut sifatnya hanya
dapat dituntut berdasarkan pengaduan.
b. Delik aduan yang relative ialah mis. : pasal 367, disebut relatif karena dalam delik-delik ini ada
hubungan istimewa antara si pembuat dan orang yang terkena.
Catatan : perlu dibedakan antara aduan den gugatan dan laporan. Gugatan dipakai dalam
acara perdata, misal : A menggugat B di muka pengadilan, karena B tidak membayar hutangnya
kepada A. Laporan hanya pemberitahuan belaka tentang adanya sesuatu tindak pidana kepada Polisi
atau Jaksa.
8. Delik sederhana dan delik yang ada pemberatannya / peringannya (eenvoudige dan
gequalificeerde / geprevisilierde delicten)
Delik yang ada pemberatannya, misal : penganiayaan yang menyebabkan luka berat atau
matinya orang (pasal 351 ayat 2, 3 KUHP), pencurian pada waktu malam hari dsb. (pasal 363). Ada
delik yang ancaman pidananya diperingan karena dilakukan dalam keadaan tertentu, misal :
pembunuhan kanak-kanak (pasal 341 KUHP). Delik ini disebut “geprivelegeerd delict”. Delik
sederhana; misal : penganiayaan (pasal 351 KUHP), pencurian (pasal 362 KUHP).
9. Delik ekonomi (biasanya disebut tindak pidana ekonomi) dan bukan delik ekonomi
Apa yang disebut tindak pidana ekonomi itu terdapat dalam pasal 1 UU Darurat No. 7 tahun
1955, UU darurat tentang tindak pidana ekonomi.
D. SUBYEK TINDAK PIDANA
Sebagaimana diuraika terdahulu, bahwa unsur pertama tindak pidana itu adalah perbuatan
orang, pada dasarnya yang dapat melakukan tindak pidana itu manusia (naturlijke personen). Ini
dapat disimpulkan berdasarkan hal-hal sebagai berikut :
1. Rumusan delik dalam undang-undang lazim dimulai dengan kata-kata : “barang siapa yang
…….”. Kata “barang siapa” ini tidak dapat diartikan lain dari pada “orang”.
2. Dalam pasal 10 KUHP disebutkan jenis-jenis pidana yang dapat dikenakan kepada tindak
pidana, yaitu :
http://www.kejaksaan.go.id/pusdiklat/uplimg/File/Asas-asas%20Hukum%20Pidana.doc
10
a. pidana pokok :
1) pidana mati
2) pidana penjara
3) pidana kurungan
4) pidana denda, yang dapat diganti dengan pidana kurungan
b. pidana tambahan :
1) pencabutan hak-hak tertentu
2) perampasan barang-barang tertentu
3) dimumkannya keputusan hakim
3. Sifat dari pidana tersebut adalah sedemikian rupa, sehingga pada dasarnya hanya dapat
dikenakan pada manusia.
a. Dalam pemeriksaan perkara dan juga sifat dari hukum pidana yang dilihat ada/tidaknya
kesalahan pada terdakwa, memberi petunjuk bahwa yang dapat dipertanggungjawabkan itu
adalah manusia.
b. Pengertian kesalahan yang dapat berupa kesengajaan dan kealpaan itu merupakan sikap
dalam batin manusia.
Dalam perkembangannya apakah kecuali manusia tidak ada sesuatu yang dapat melakukan
tindak pidana misalnya badan hukum ? dalam KUHP terdapat pasal yang seakan-akan
menyinggung soal ini, ialah pasal 59. Pasal ini tidak menunjuk ke arah dapat dipidana suatu
badan hukum, suatu perkumpulan atau badan (korporasi) lain. Menurut pasal ini yang dapat
dipidana adalah orang yang melakukan sesuatu fungsi dalam sesuatu korporasi. Seorang
anggota pengurus dapat membebaskan diri, apabila dapat membuktikan bahwa pelanggaran itu
dilakukan tanpa ikut campurnya.
Keterangan : di dalam hukum acara, ini disebut “pembalikan beban pembuktian” (omkering
van bewijslast).
Dalam KUHP juga ada pasal lain yang kelihatannya juga menyangkut korporasi sebagai
subyek hukum, akan tetapi disinipun yang diancam pidana adalah orang, buka korporasinya. Vide
pasal 169 : “ikut serta dalam perkumpulan yang terlarang”, dan juga pasal 398 dan 399, mengenai
pengurus atau komisaris perseroan terbatas dan sebagainya yang dalam keadaan pailit merugikan
perseroannya.
Bahwasanya yang menjadi subyek tindak pidana itu adalah manusia, sesuai dengan
penjelasan (M.v.T) terhadap pasal 59 KUHP, yang berbunyi : “suatu tindak pidana hanya dapat
dilakukan oleh manusia”. Akan tetapi ajaran ini sudah ditinggalkan. Dalam hukum positip Indonesia,
misalnya dalam “ordonansi barang-barang yang diawasi” (S.1948-144) dan “Ordonansi pengendalian
harga” (S.1948-295) terdapat ketentuan yang mengatur apabila suatu badan (hukum) melakuka tindak
pidana yang disebut dalam ordonansi-ordonansi itu. Ordonansi obat bius S. 27-278 jo. 33-368 pasal 25
ayat 7. Atau dalam UU Darurat tentang pengusutan, penuntutan dan peradilan tindak pidana
ekonomi (UU Darurat No. 7 tahun 1955 pasal 15 dimana dalam ayat 1 dan 2 dengan tegas
menyebutkan bahwa badan hukum dapat menjadi subyek hukum pidana.
Pompe (hal. 83) menyatakan mengenai persoalan ini (terjemahan) “Untuk sebagian peradilan
dengan dibantu oleh ilmu pengetahuan hukum harus menemukan sendiri penyelesaian untuk
problem dalam materi baru ini”.
Van Hattum (hal. 147) : “agaknya perlu untuk menggambarkan pertumbuhan ajaran ini agak
lebih luas dari pada biasanya dalam buku pelajaran, sebab peradilan terhadap badan hukum kiranya
akan menduduki tempat yang penting dalam hukum pidana kita. Persoalan mengenai penyertaan
dan kesalahan dalam pada itu akan kerap kali menjadi sumber perbedaan pendapat”.
Dalam pada itu sekarang suda pasti, bahwa menurut Hoge Raad, korporasi dapat melakukan
tindak pidana, ya bahkan kadang-kadang korporasi sajalah yang dapat menjadi pembuat, bahwa
korporasi dapat mempunyai kesalahan dan bahkan mereka itu dapat mengemukakan alasan tidak
adanya kesalahan sama sekali”. Dan dalam hal. 477 van Hattum menulis a.l. : (terjemahan) ………….
sebaiknya pembentuk undang-undang membuat ketentuan-ketentuan umum dalam hal suatu tindak
pidana dilakukan oleh suatu korporasi.
Asas-asas Hukum Pidana
11
BAB IV
HUBUNGAN SEBAB AKIBAT (CAUSALITEIT, CAUSALITAT)
A. Kausalitas
Didalam delik-delik yang dirumuskan secara materiil (selanjutnya disebut delik materiil),
terdapat unsur akibat sebagai suatu keadaan yang dilarang dan merupakan unsur yang menentukan
(essentialia dari delik tersebut). Berbeda dengan dengan delik formil terjadinya akibat itu hanya
merupakan accidentalia, bukan suatu essentialia, sebab jika disini tidak terjadi akibat yang dilarang
dalam delik itu, maka delik (materiil) itu tidak ada, paling banyak ada percobaan.
Misalnya :
Pasal 338 KUHP : Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain dihukum karena
pembunuhan.
Keadaan yang menentukan di sini adalah terampasnya nyawa seseorang. Contoh : matinya si
A.
Oleh karenanya untuk dapat menuntut seseorang (misalnya X) yang dilakukan melakukan
suatu perbuatan yang menyebabkan matinya seseorang, maka harus dapat dibuktikan bahwa karena
perbuatan X itu maka timbul akibat matinya A. “akibat” ini artinya “perubahan atas suatu keadaan”
dimana dapat berupa suatu pembahayaan atau perkosaan terhadap kepentingan hukum.
Hubungan sebab akibat (causaliteitsvraagstuk) ini penting dalam delik materiil. Selain itu
juga merupakan persoalan pada delik-delik yang dikualifikasi oleh akibatnya (door het gevolg
gequafili ceerde delicten) misal pasal-pasal : 187, 188, 194 ayat 2, 195 ayat 2, pasal 333 ayat 2 dan 3, 334
ayat 2 dan 3, 351 ayat 2 dan 3, 355 ayat 2 dan 3 KUHP.
Persoalan kausalias ini terjadi karena kesulitan untuk menetapkan apa yang menjadi sebab
dari suatu akibat. Perlu diketahui bahwa persoalan ini tidak hanya terdapat dalam lingkungan
hukum pidana saja, akan tetapi juga dalam lapangan hukum lainnya. Misalnya hukum perdata dalam
penentuan ganti rugi dan dalam hukum dagang misalnya dalam persoalan asuransi.
Persoalan ini pun terdapat dalam lapangan ilmu pengetahuan lainnya, misalnya dalam
filsafat. Dalam menetapkan apakah yang dapat dianggap sebagai sebab dari suatu kejadian, maka
terjadilah beberapa teori kausalita. Teori-teori hendak menetapkan hubungan obyektif antara
perbuatan (manusia) dan akibat, yang tidak dikehendaki oleh undang-undang. Akibat kongkrit harus
bisa ditelusuri sampai ke sebab.
Akan tetapi sebenarnya tidak boleh dipandang terlampau sederhana. Dalam filsafat terdapat
“peringatan”, bahwa kejadian “B” yang terjadi sesudah kejadian “A”, belum tentu disebabkan karena
kejadian “A” (post hoc non propter hoc).
B. Teori-teori Kausalitas (ajaran-ajaran kausalitas)
1. Teori Ekivalensi (aquivalenz-theorie) atau Bedingungs theorie atau teori condition sine qua
non dari von Buri
Teori ini mengatakan : tiap syarat adalah sebab, dan semua syarat itu nilainya sama, sebab
kalau satu syarat tidak ada maka akibatnya akan lain pula. Tiap syarat, baik positif maupun negatif
untuk timbulnya suatu akibat itu adalah sebab, dan mempunyai nilai yang sama. Kalau satu syarat
dihilangkan, maka tidak akan terjadi akibat kongkrit, seperti yang senyata-nyatanya, menurut waktu,
tempat dan keadaannya. Tidak ada syarat yang dapat dihilangkan (lazim dirumuskan “nicht hiin
weggedacht warden kann dan seterusnya) tanpa menyebabkan berubahnya akibat.
Contoh : A dilukai ringan, kemudian dibawa ke dokter. Di tengah jalan ia kejatuhan genting,
lalu mati. Penganiayaan ringan terhadap A itu juga merupakan sebab dari matinya A.
Teori ekivalensi ini memakai pengertian “sebab” sejalan dengan pengertian yang dipakai
dalam logika. Dalam hubungan ini baik dikemukakan, bahwa terlepas satu sama lain, John Stuart Mill
(di Inggris) dalam bukunya : Sistem of Logic berpendapat, “bahwa “sebab itu adalah “the whole of
antecedents” (1843).
Van Hamel, seorang penganut teori ekivalensi berpendapat bahwa “untuk hukum pidana
teori ini boleh digunakan, apabila diperbaiki dan diatur oleh teori kesalahan yang harus diterapkan
dengan sebaik-baiknya”. Di sini dijelaskan, bahwa harus dibedakan antara hubungan kausal dan
pertanggung jawaban pidana.
Kritik / keberatan terhadap teori ini : hubungan kausal membentang ke belakang tanpa akhir,
sebab tiap-tiap “sebab” sebenarnya merupakan “akibat” dari “sebab” yang terjadi sebelumnya.
Jadi misal : B ditikam oleh A sampai mati. Yang merupakan sebab bukan hanya ditikam A,
tetapi juga penjualan pisau itu kepada A dan penjualan pisau itu tidak ada, apabila tidak ada
pembuatan pisau.
Jadi pembuatan pisau itu juga “sebab” dan begitu seterusnya. Berhubungan dengan
keberatan itu, maka ada teori-teori lain yang hendak membatasi teori tersebut teori-teori yang akan
http://www.kejaksaan.go.id/pusdiklat/uplimg/File/Asas-asas%20Hukum%20Pidana.doc
12
disebutkan di bawah ini, mengambil dari sekian faktor yang menimbulkan akibat itu beberapa faktor
yang kuat (dominant), sedang faktor-faktor lainnya dipisahkan sebagai faktor-faktor yang irrelevant
(yang tidak perlu / penting).
Kebaikan teori ini : mudah diterapkan, sehingga tidak banyak menimbulkan persoalan, dan
juga karena tori ini menarik secara luas sekali dalam membatasi lingkungan berlakunya
pertanggungjawaban pidana. Teori ekivalensi ini dapat dipandang sebagai pangkal dari teori-teori
lain.
2. Teori-teori Individualisasi
Teori-teori ini memilih secara post actum (inconcreto), artinya setelah peristiwa kongkrit
terjadi, dari serentetan faktor yang aktif dan pasif dipilih sebab yang paling menentukan dari
peristiwa tersebut; sedang faktor-faktor lainnya hanya merupakan syarat belaka. Penganutpenganutnya
tidak banyak antara lain :
a. Birkmayer (1885) mengemukakan : sebab adalah syarat yang paling kuat (Ursache ist die
wirksamste Bedingung)
b. Binding. Teorinya disebut “Ubergewichtstheorie)”
Dikatakan : sebab dari sesuatu perubahan adalah identik dengan perubahan dalam
keseimbangan antara faktor yang menahan (negatif) dan faktor yang positif, dimana faktor yang
positif itu lebih unggul. Yang disebut “sebab” adalah syarat-syarat positif dalam keunggulannya (in
ihrem Ubergerwicht-bobot yang melebihi) terhadap syarat-syarat yang negatif. Satu-satunya sebab
ialah faktor atau syarat terakhir yang menghilangkan keseimbangan dan memenangkan faktor positif
itu.
3. Teori-teori generalisasi
Teori-teori ini melihat secara ante factum (sebelum kejadian/in abstracto) apakah diantara
serentetan syarat itu ada perbuatan manusia yang pada umumnya dapat menimbulkan akibat
semacam itu, artinya menurut pengalaman hidup biasa, atau menurut perhitungan yang layak,
mempunyai kadar (kans) untuk itu. Dalam teori ini dicari sebab yang adequate untuk timbulnya
akibat yang bersangkutan (ad-aequare artinya dibuat sama). Oleh karena itu teori ini disebut teori
adequat (teori adequate, Ada-quanzttheorie). Contoh-contoh tentang ada atau tidaknya hubungan
sebab akibat yang adequat :
a. Suatu jotosan ang mengenai hidung, biasanya dapat mengakibatkan hidung keluar darah. Akan
tetapi apabila orang yang pukul itu menjadi buta itu bukan akibat yang adequate. Ini suatu
akibat yang abnormal, yang tidak biasa.
b. Seorang yang menyetir mobil terpaksa mengerem sekonyong-konyong, oleh karena ada
pengendara sepeda hendak menyebrang jalan yang membelok, sedang ini tidak disangka-sangka
oleh pengendara mobil. Pengendara mobil ini mendapat penyakit trauma karena menekan urat.
Dianipun dapat dikatakan bahwa perbuatan pengendara sepeda itu tidak merupakan penyebab
yang adequate untuk timbulnya penyakit trauma tersebut.
c. Seorang petani membakar tumpukan rumput kering (hooi), dimana secara kebetulan
bersembunyi / tidur seorang penjahat hingga ikut mati terbakar. Adakah pen-sebab-an yang
adequate ? Jawabannya tergantung dari keadaan. Jika biasanya menurut pengalaman sehari-hari,
tidak timbul akibat semacam itu maka perbuatan petani itu bukanlah sebab. Akan tetapi apabila
di daerah itu merupakan kebiasaan orang untuk bersembunyi atau menginap dalam tumpukan
rumput, maka perbuatan petani itu benar-benar mempunyai kadar untuk matinya seseorang.
Hal yang merupakan persoalan dalam teori ini ialah : bagaimanakah penentuannya, bahwa
suatu sebab itu pada umumnya cocok untuk menimbulkan akibat tertentu itu ? Mengenai hal ini ada
beberapa pendirian. Disini disebut antara lain :
a. Penentuan subyektif (subjective ursprungliche Prognose). Disini yang dianggap sebab ialah apa
yang oleh sipembuat dapat diketahui / diperkirakan bahwa apa yang dilakukan itu pada
umumnya dapat menimbulkan akibat semacam itu (Von Kries jadi pandangan atau pengetahuan
si pembuatlah yang menentukan).
b. Penentuan obyektif. Dasar penentuan apakah suatu perbuatan itu dapat menimbulkan akibat
ialah keadaan atau hal-hal yang secara obyektif kemudian diketahui atau pada umumnya
diketahui. Jadi bukan yang diketahui atau yang dapat diketahui oleh sipembuat, melainkan
pengetahuan dari hakim. Dasar penentuan (Beurteilungs standpunkte) ini disebut “objektive
nachtragliche Prognose” (Rumelin).
Sebenarnya dalam teori kausal adequat subyektif (Von Kries) itu tersimpul unsur penentuan
tentang kesalahan); oleh karena itu dapat dikatakan bahwa teori adequate subyektif dari von Kries ini
bukan teori kausalitas yang murni. Sebab suatu perbuatan baru dianggap sebagai sebab yang
adequate apabila sipembuat dapat mengira-ngirakan atau membayangkan (voor zien) akan terjadinya
akibat atau kalau orang umumnya membayangkan terjadinya akibat itu; jadi sipembuat dapat
membayangkan dan seharusnya dapat membayangkan. Oleh karena dalam ajaran tersebut tersimpul
Asas-asas Hukum Pidana
13
unsur kesalahan, maka ia juga menentukan pertanggunganjawab (pidana), jadi bukan teori kausalitas
dalam arti yang sesungguhnya.
Contoh : seorang majikan, yang sangat membenci pekerjanya, tetapi tidak berani melepasnya,
ingin sekali agar pekerja itu mati. Pada waktu hujan yang disertai petir ia menyuruh pekerjanya itu
pergi ke suatu tempat dengan harapan agar orang itu disambar petir. Harapan itu terkabul dan
pekerjanya itu mati disambar petir.
Menurut teori ekivalensi : ya, sebab seandainya pekerja itu tidak disuruh keluar oleh majikan,
maka ia tidak mati. Konsekwensi ini umumnya dipandang terlalu jauh. Oleh karena itu lebih
memuaskan apabila dipakai teori adequate. Menurut teori ini : perbuatan menyuruh orang ke tempat
lain pada umumnya tidak mempunyai kadar untuk kematian seseorang karena disambar petir.
Penyambaran petir adalah hal yang kebetulan. Dengan ini maka tidak ada hubungan kausal, sehingga
juga tidak ada pemidanaan.
Beberapa penganut teori adequat yang lain :
a. Simons :
Dikatakan olehnya : “suatu perbuatan dapat disebut sebagai sebab dari suatu akibat, apabila
menuntut pengalaman manusia pada umumnya harus diperhitungkan kemungkinan, bahwa
dari perbuatan sendiri akan terjadi akibat itu”.
b. Kami (Ringkasan Hukum Pidana hal. 47) berpendirian senada dengan Simons. Beliau katakan :
“Kehidupan hukum dan perhubungan hukum itu terdiri atas persangkaan, (presumptie), bahwa
alur peristiwa di dunia ini ada biasa dan normal. Ini kesimpulan pengalaman kita sebagai
manusia. Syarat yang pada umumnya, biasanya, dengan mengikuti hal ikhwal yang berada dan
menurut pengalaman kita, dengan kadarnya memadai sesuatu akibat, itulah yang dianggap
sebagai suatu sebab”.
c. Pompe : yang disebut sebab ialah perbuatan-perbuatan yang dalam keadaan tertentu itu
mempunyai strekking untuk menimbulkan akibat yang bersangkutan.
Tinjauan terhadap teori-teori kausalitas tersebut di atas: teori ekuivalentie dapat dikatakan
teori kausalitas yang benar, akan tetapi selalu diberi suatu penambahan. Teori ini ditambah dengan
penentuan ada dan tidaknya unsur kesalahan pada sipembuat, dan memberi keterangan yang cukup
memuaskan apakah sesuatu perbuatan itu merupakan sebab dari sesuatu akibat yang dimaksudkan
dalam rumusan delik yang bersangkutan.
Mengenai teori adequat dari von Kries, itu dapat juga dikatakan, bahwa teori tersebut sesuai
dengan jiwa hukum pidana. Hukum Pidana itu mempunyai tugas untuk melindungi kepentingan
hukum terhadap perkosaan dan perbuatan yang membahayakan. Berhubung dengan tugas tersebut
maka hukum pidana harus membuat “pagar” terhadap perbuatan-perbuatan yang agaknya
mendatangkan kerugian. Dalam hal ini teori adequat dapat menunjukkan perbuatan-perbuatan
tersebut. Akan tetapi kelemahan teori ini tidak mudah dalam kenyataan, ia menggunakan istilahistilah
yang tidak terang misalnya biasanya, kadar, pengalaman manusia pada umumnya dan
sebagainya.
Dalam yurisprudensi Hindia Belanda, yang sesuai dengan asas konkordantie pada waktu itu,
mengikuti yurisprudensi Negeri Belanda, tidak terlihat dengan nyata teori mana yang dipakai.
Hooggerechtshof condong ke teori adequate. Akan tetapi dalam pada itu di dalam berbagai putusan
pengadilan dapat ditunjukkan adanya persyaratan, bahwa antara perbuatan dan akibat harus ada
hubungan yang langsung dan seketika (onmiddellijk en rechtsreeks)
a. Putusan Raad van Justitie Batavia 23 Juli 1937 (. 147 hal 115) sebuah mobil menabrak sepeda
motor. Pengendara sepeda motor terpental ke atas rel dan seketika itu dilindas oleh kereta api.
Terlindasnya pengendara sepeda motor oleh kereta api itu dipandang oleh pengadilan sebagai
akibat langsung dan segera dari penabrakan sepeda motor oleh mobil. Maka matinya si korban
dapat dipertanggungjawabkan atas kesalahan si terdakwa (pengendara mobil).
b. Putusan Politierechter Bandung 5 April 1933
Seorang ayah yang membiarkan anaknya yang berumur 14 tahun mengendarai sepeda
motornya. Anak tersebut menabrak orang. Disini memang perbuatan si ayah dapat disebut
syarat (voorwaarde) dari tabrakan itu, akan tetapi tidak boleh disebut sebab dari tabrakan itu,
oleh karena antara perbuatan ayah dan tabrakan itu tidak ada hubungan kausal yang langsung.
c. Putusan Politierechter Palembang 8 Nopember 1936 diperkuat oleh Hooggerechtshof 2 Pebruari
1937.
Perbuatan terdakwa yang tidak menarik seorang pengemudi mobil yang sembrono dari tempat
kemudi (stuur) dan membiarkan pengemudi tersebut terus menyopir tidak dianggap sebagai
sebab dari kecelakaan yang terjadi, oleh karena antara perbuatan terdakwa dan terjadinya
kecelakaan itu tidak terdapat hubungan yang langsung. Perbuatan terdakwa, yang membiarkan
pengemudi itu tetap menyopir, hanya dipandang sebagai suatu syarat dan bukan sebab.
d. Putusan Penagadilan Negeri Pontianak 7 Mei 1951, dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta
http://www.kejaksaan.go.id/pusdiklat/uplimg/File/Asas-asas%20Hukum%20Pidana.doc
14
Terdakwa sebagai kerani bertanggung jawab atas tenggelamnya satu kapal yang disebabkan oleh
terlalu berat muatannya dan yang mengakibatkan 7 orang meninggal dunia, oleh karena
terdakwa sebagai orang yang mengatur pemasukan barang-barang angkutan dalam kapal in
casu tidak mempedulikan peringatan-peringatan dari berbagai pihak tentang terlalu beratnya
muatan pada waktu kapal akan berangkat.
Di dalam pertimbangan juga disebut bahwa perbuatan terdakwa mempunyai “hubungan
erat” dengan “kecelakaan itu”.
C. Kausalitas dalam hal tidak berbuat
Persoalan ini timbul dalam delik-delik omissi dan dalam delik comisionis per ommisionem
commissa (delik omissi yang tak sesungguhnya). Jenis kedua ini sebenarnya delik commissi yang
dilakukan dengan “tidak berbuat”. Pada delik omissi persoalannya mudah, karena delik omissi itu
adalah delik formil, sehingga tidak ada persoalan tentang kausalitas.
Yang ada persoalan ialah pada delik commisionis per omission commissa. Pada delik ini ada
pelanggaran larangan dengan “tidak berbuat”. Dalam persoalan ini ada beberapa pendirian :
1. Tidak mungkin orang tidak berbuat bisa menimbulkan akibat. Pendirian ini didasarkan kepada
dalil ilmu pengetahuan alam yang berbunyi bahwa dari keadaan negatif tidak mungkin timbul
kedaan positif. Pendirian ini tidak bisa diterima, karena dalil pengetahuan alam tidak tepat
untuk dipakai dalam ilmu pengetahuan rokhani (seperti hukum pidana ini).
2. Yang disebut sebab ialah perbuatan yang positif yang dilakukan oleh sipembuat pada saat akibat
itu timbul. Misal : dalam hal seorang ibu membunuh anaknya dengan tidak memberi susu, yang
disebut sebagai sebab ialah “sesuatu yang dilakukan ibu itu pada saat ia tidak memberi susu itu,
misal pergi ke toko. Teori ini dinamakan “teori berbuat lain. Teori inipun tidak dapat diterima,
karena kepergian ibu itu tidak bisa dianggap ada perhubungan dengan akibat itu.
3. Yang disebut sebagai sebab ialah perbuatan yang mendahului akibat yang timbul. Teori ini
disebut “teori berbuat yang sebelumnya”, misal seorang penjaga wesel yang menyebabkan
kecelakaan kereta api karena tidak memindahkan wesel; menurut ajaran ini yang menjadi sebab
ialah apa yang dilakukan penjaga wesel. Teori inipun tidak memuaskan, sebab sulit dilihat
hubungannya antara penerimaan jabatan dengan akibat yang timbul.
4. Seseorang yang tidak berbuat dapat dikatakan sebab dari sesuatu akibat, apabila ia mempunyai
kewajiban hukum untuk berbuat. Kewajiban itu timbul dari hukum, tidak hanya yang nyatanyata
tertulis dalam suatu peraturan tetapi juga dari peraturan-peraturan yang tidak tertulis,
ialah norma-norma lainyang berlaku dalam masyarakat yang teratur. Di bawah ini diberi contohcontoh
apakah ada kewajiban berbuat atau tidak:
a. Ada anak yang dibunuh; orang tuanya mengetahui hal ini, tetapi tidak berbuat apa-apa.
Apakah orang tua bertanggung jawab sebagai ikut berbuat dalam pembunuhan?
Jawab (Hof Amsterdam 23 Oktober 1883): tidak, tetapi memang sikap semacam itu sangat
tercela (laakbaar) dan tidak patut.
b. Seorang penjaga gudang membiarkan pencuri melakukan aksinya, ia dapat
dipertanggungjawabkan, sebab sebagai penjaga ia berkewajiban untuk menjaga dan berbuat
sesuatu.
Kesimpulan mengenai kausalitas dalam hal tidak berbuat : sekarang tidak ada persoalan lagi,
bahwa tidak berbuat itu dapat menjadi sebab dari suatu akibat. “Tidak berbuat” sebenarnya
juga merupakan “perbuatan”. Dalam delik commisionis per omissionem commissa (delik
omissi yang tidak sesungguhnya) “tidak berbuat” itu bukannya “tidak berbuat sama sekali”
akan tetapi “tidak berbuat sesuatu”, yang diharapkan untuk diperbuat/dilakukan. Maka
dengan pengertian ini hal “tidak berbuat” pada hakekatnya sama dengan “berbuat sesuatu”,
dalam arti dapat menjadi syarat untuk terjadinya suatu akibat. Sedang menurut teori
adequate, mengingat keadaan yang kongkrit, dapat juga mempunyai kadar untuk terjadinya
akibat, jadi juga dapat menjadi “sebab”.
Akhirnya perlu diperhatiakn bahwa soal hubungan kausal ini terletak dalam segi obyektif
(yang menyangkut perbuatan) dari keseluruhan syarat pemidanaan, jadi harus dibedakan dari
persoalan kesalahan atau pertanggungan jawab pidana yang merupakan segi subyektifnya, ialah yang
menyangkut orangnya.
Asas-asas Hukum Pidana
15
BAB IV
SIFAT MELAWAN HUKUM
(Rechtswdrig, Unrecht, Wederrechtelijk, Onrechmatig)
A. Istilah dan Pengertian
KUHP memakai istilah bermacam-macam :
1. tegas dipakai istilah “melawan hukum”, (wederrechtelijk) dalam pasal 167, 168, 335 (1), 522;
2. dengan istilah lain misalnya : “tanpa mempunyai hak untuk itu” (pasal 303, 548, 549); “tanpa
izin” (zonder verlof) (pasal 496, 510); “dengan melampaui kewenangannya” (pasal 430); “tanpa
mengindahkan cara-cara yang ditentukan oleh peraturan umum” (pasal 429).
Alasan pembentuk undang-undang itu mencantumkan unsur sifat melawan hukum itu tegastegas
dalam sesuatu rumusan delik karena pembentuk undang-undang khawatir apalagi unsur
melawan hukum itu tak dicantumkan dengan tegas, yang berhak atau berwenang untuk melakukan
perbuatan-perbuatan sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang itu, mungkin dipidana pula.
Arti istilah bersifat melawan hukum itu terdapat tiga pendirian:
1. bertentangan dengan hukum (Simons)
2. bertentangan dengan hak (subyektief recht) orang lain (Noyon)
3. tanpa kewenangan atau tanpa hak, hal ini tidak perlu bertentangan dengan hukum (H.R).
Salah satu unsur dari tindak pidana adalah unsur sifat melawan hukum. Unsur ini
merupakan suatu penilaian obyektif terhadap perbuatan, dan bukan terhadap si Pembuat. Bilamana
sesuatu perbuatan itu dikatakan melawan hukum ? Orang akan menjawab : “apabila perbuatan itu
masuk dalam rumusan delik sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang”. Dalam bahasa
Jerman ini disebut “tatbestandsmaszig”. Tasbestand disini dalam arti sempit, ialah unsur seluruhnya
dari delik sebagaimana dirumuskan dalam peraturan pidana. Tasbestand dalam arti sempit ini terdiri
atas tasbestand mer male, ialah masing-masing unsur dari rumusan delik.
Pengecualian atas tasbestand mer male, dapat dikecualikan atas perbuatan yang memenuhi
rumusan delik (tatbestandsmaszig) itu tidak senantiasa bersifat melawan hukum, sebab mungkin ada
hal yang menghilangkan sifat melawan hukumnya perbuatan tersebut. Misalnya dalam
melaksanakan perintah undang-undang (ps. 50 KUHP) :
1. regu penembak, yang menembak mati seorang terhukum yang telah dijatuhi hukuman pidana
mati, memenuhi unsur-unsur delik tersebut pasal 338 KUHP. Perbuatan mereka tidak melawan
hukum.
2. Jaksa menahan orang yang sangat dicurigai telah melakukan kejahatan. Ia tidak dapat dikatakan
melakukan kejahatan tersebut pasal 333 KUHP, karena ia melaksanakan undang-undang
(terdapat dalam peraturan hukum acara pidana) sehingga tidak ada unsur melawan hukum.
Di dalam kedua contoh tersebut hal yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan
terdapat di dalam undang-undang. Namun dalam kasus :
 seorang ayah memukul seorang pemuda yang memperkosa anak-anaknya
 seorang menembak mati temannya atas permintaan sendiri, karena ia luka-luka berat dan tidak
mungkin hidup terus, apalagi jauh dari dokter, karena dalam ekspedisi di Kutub Selatan
 seorang bioloog membedah binatang-binatang (vivisectie) untuk penyelidikan ilmiah.
Maka timbul persoalan ada tidaknya sifat melawan hukumnya perbuatan. Contoh lain yang
mempermasalahkan unsur melawan hukum adalah :
 Putusan PN Sawahlunto 10 Setember 1936
Seorang perempuan Minangkabau hidup bersama dengan seorang laki-laki dengan siapa ia
menurut hukum adat dilarang kawin. Berhubung dengan pelanggaran adat ini, maka Mamak
dari perempuan ini bersama-sama dengan orang lain mendatangi orang tersebut untuk dimintai
pertanggungjawaban dan untuk membawa laki-laki itu ke Wali Negeri. Oleh karena perempuan
itu tidak mau membuka pintu rumahnya pintu didobrak.
Pengadilan Negeri berpendapat perbuatan Mamak cs melanggar pasal KUHP (merusak
ketentraman rumah), dan memidana Mamak 3 bulan penjara dan lain-lainnya masing-masing 2
bulan. Alasan
 Arrest Hoge Raad 20 Pebruari 1933
Seorang dokter hewan di kota Huizen dengan sengaja memasukkan sapi-sapi yang sehat ke
dalam kandang yang berisi sapi-sapi yang sudah sakit mulut dan kuku, sehingga
membahayakan sapi-sapi yang sehat itu. Perbuatan dokter hewan itu tegas-tegas masuk dalam
rumusan delik tesebut dalam pasal 82 undang-undang ternak, ialah dengan sengaja
menempatkan ternak dalam keadaan yang membahayakan / mengkhawatirkan. Ketika dituntut,
dokter hewan mengemukakan pada pokoknya, bahwa perbuatan itu dilakukan untuk
kepentingan peternakan. Putusan Mahkamah Agung Belanda : Pasal 82 Undang-undang ternak
tidak dapat diterapkan kepada dokter hewan itu. Pertimbangannya antara lain : “tidak dapat
http://www.kejaksaan.go.id/pusdiklat/uplimg/File/Asas-asas%20Hukum%20Pidana.doc
16
dikatakan, bahwa seseorang yang melakukan perbuatan yang diancam pidana itu mesti
dipidana, apabila undang-undang sendiri tidak dengan tegas-tegas menyebut adanya alasanalasan
penghapus pidana, mungkin sekali dapat terjadi, bahwa unsur sifat melawan hukum
tidak dicantumkan di dalam rumusan delik dan meskipun demikian tidak ada pemidanaan,
karena dalam hal ini sifat melawan hukumnya perbuatan ternyata tidak ada, sehingga oleh
karenanya pasal yang bersangkutan tidak berlaku terhadap perbuatan yang secara letterlijk
memenuhi rumusan delik”.
B. Pembagian Ajaran Sifat Melawan Hukum
Menjawab persoalan tersebut maka hukum pidana membagi ajaran sifat melawan hukum
dalam dua sudut pandang yaitu :
1. Menurut ajaran sifat melawan hukum yang formil, suatu perbuatan itu bersifat melawan hukum,
apabila perbuatan diancam pidana dan dirumuskan sebagai suatu delik dalam undang-undang;
sedang sifat melawan hukumnya perbuatan itu dapat hapus, hanya berdasarkan suatu ketentuan
undang-undang. Jadi menurut ajaran ini melawan hukum sama dengan melawan atau
bertentangan dengan undang-undang (hukum tertulis).
Menurut Simons, “Memang boleh diakui, bahwa suatu perbuatan, yang masuk larangan
dalam sesuatu undang-undang itu tidaklah mutlak bersifat melawan hukum, akan tetapi tidak
adanya sifat melawan hukum itu hanyalah bisa diterima, jika di dalam hukum positif terdapat
alasan untuk suatu pengecualian berlakunya ketentuan / larangan itu. Alasan untuk
menghapuskan sifat melawan hukum tidak boleh diambil di luar hukum positif dan juga alasan
yang disebut dalam undang-undang tidak boleh diartikan lain daripada secara limitatief.
2. Menurut ajaran sifat melawan hukum yang materiil
Suatu perbuatan itu melawan hukum atau tidak, tidak hanya yang terdapat dalam undangundang
(yang tertulis) saja, akan tetapis harus dilihat berlakunya azas-azas hukum yang tidak
tertulis. Sifat melawan hukumnya perbuatan yang nyata-nyata masuk dalam rumusan delik itu
dapat hapus berdasarkan ketentuan undang-undang dan juga berdasarkan aturan-aturan yang
tidak tertulis (uber gezetzlich).
Jadi menurut ajaran ini melawan hukum sama dengan bertentangan dengan undang-undang
(hukum tertulis) dan juga bertentangan dengan hukum yang tidak tertulis termasuk tata susila
dan sebagainya sebagaimana para sarjana yang menganut ajaran sifat melawan hukum yang
meteriil ialah :
a. Von Liszt : perkosaan atau pembahayaan terhadap kepentingan hukum hanyalah bersifat
melawan hukum materiil (materiel rechts widrig), jika perbuatan itu bertentangan dengan
tujuan ketertiban hukum (den Zwecken der das Zusammenleben regelnden Recht sordnung
widerspricht); kalau tidak bertentangan dengan tujuan itu, maka tidak bersifat melawan
hukum.
b. Zu Dohna mengatakan: “Suatu perbuatan itu tidak melawan hukum jika perbuatan itu
merupakan upaya yang haq untuk tujuan yang haq (richtiges Mittel zum techten zwecke).
Contohnya ialah seorang yang memukulpemuda yang memperkosa anak perempuannya. Di
sini menurut Zu Dohna perbuatan ayahnya tidak bersifat melawan hukum.
c. M.E. Mayer mengatakan: “Perbuatan itu melawan hukum materiil atau tidak, ditentukan oleh
norma kebudayaan (kulturnorm). Sifat melawan hukum itu, berarti bertentangan dengan
kulturnorm yang diakui oleh negara. Kalau perbuatan itu sesuai dengan kulturnorm itu maka
sifat melawan hukumnya hapus.
d. Zevenbergen: “Onrechtmatigheid adalah syarat yang umum, obyektif yang berdiri sendiri,
yang biasanya ada jika suatu perbuatan memenuhi rumusan delik dalam undang-undang,
tetapi mengenai hal itu harus diselidiki untuk tiap-tiap kejadian yang kongkrit, apakah yang
diharapkan oleh ketertiban hukum. Dalam hal ada keraguan mengenai sifat melawan hukum
maka tidak boleh ada penjatuhan pidana.
e. Van Hattum: “Dengan adanya keputusan Hoge Raad tentang dokter hewan Huizen itu, ia
katakan : dengan itu menurut hemat saya (mer van Hattum) telah diterima ajaran sifat
melawan hukum yang materiil oleh Hoge Raad dan telah dipecahkan persoalan mer azas-azas
yang boleh dikatakan benar dalam ajaran “penentuan hukum” dewasa ini (in de hedendaagse
leer Her rechtsvir onbetwist).
Persaksian terhadap sifat melawan hukum yang materiil itu harus dilakukan secara hati-hati,
dan istimewa hakim harus membuka diri pada peristiwa-peristiwa yang kongkrit. Misal abortus
protus (ps. 348 KUHP) bisa tidak melanggar hukum berdasarkan petunjuk eugenetisch atau sosial.
(Eugenetiek adalah ajaran yang mempelajari perbaikan ras / keturunan).
Kesimpulan mengenai persoalan melawan hukumnya perbuatan, bila suatu perbuatan itu
memenuhi rumusan delik, maka itu menjadikan tanda / indikasi bahwa perbuatan itu bersifat
melawan hukum. Akan tetapi sifat itu hapus apabila diterobos dengan adanya alat pembenar
(rechtvaardigingsgrond). Bagi mereka yang menganut ajaran sifat melawan hukum yang formil
Asas-asas Hukum Pidana
17
alasan pembenar itu hanya boleh diambil dan hukum yang tertulis, sedang penganut ajaran sifat
melawan hukum yang materiil alasan itu boleh diambil dan luar hukum yang tertulis.
Berkaitan dengan hukum tertulis maka hakim dalam perkara kongkrit yang sedang dihadapi
harus mempertimbangkan :
1. Apabila ada persoalan mengenai hukum yang tidak tertulis yang bertentangan dengan hukum
yang tertulis, maka perlu dipertimbangkan betul-betul sampai dimanakah hukum tak tertulis itu
dapat menyisihkan peraturan yang tertulis, yang dibuat dengan sah. Benarkah yang dipandang
adil oleh suatu golongan dalam masyarakat biasa, juga dipandang adil / benar oleh seluruh
masyarakat pada umumnya.
2. Apabila ada persoalan mengenai hukum yang tidak tertulis yang bertentangan dengan hukum
yang tertulis, maka perlu dipertimbangkan betul-betul sampai dimanakah hukum tak tertulis itu
dapat menghapuskan kekuatan berlakunya peraturan yang tertulis dsb.
3. Sampai dimanakah rasa keadilan dan keyakinan masyarakat dapat menyisihkan peraturan yang
tertulis, yang dibuat dengan sah.
Ini adalah beban yang berat bagi hakim, sebab tiap-tiap keputusan harus memuat alasan yang
mendasari keputusan itu. Maka hakim harus benar-benar mengetahui bagaimanakah keadaan
masyarakat lebih-lebih keadaan masyarakat Indonesia yang dinamis yang bergerak menuju suatu
masyarakat yang dicita-citakan, ialah masyarakat Pancasila mata, pikiran dan perasaan hakim harus
tajam untuk dapat menangkap apa yang sedang terjadi dalam masyarakat, agar supaya putusannya
tidak kedengaran sumbang. Hakim dengan seluruh kepribadiannya harus bertanggung jawab atas
kebenaran keputusannya, baik secara formil maupun secara materiil.
Mengenai pengertian melawan hukum yang materiil itu perlu dibedakan :
 dalam fungsinya yang negatif
Ajaran sifat melawan hukum yang materiil dalam fungsinya yang negatif mengakui
kemungkinan adanya hal-hal yang ada di luar undang-undang melawan hukumnya perbuatan
yang memenuhi rumusan undang-undang, jadi hal tersebut sebagai alasan penghapus sifat
melawan hukum.
 dalam fungsinya yang positif
Pengertian sifat melawan hukum yang materiil dalam fungsinya yang positif menganggap
sesuatu perbuatan tetap sebagai sesuatu delik, meskipun tidak nyata diancam dengan pidana
dalam undang-undang, apabila bertentangan dengan hukum atau ukuran-ukuran lain yang ada
di luar undang-undang. Jadi disini diakui hukum yang tak tertulis sebagai sumber hukum yang
positif.
Kalau Seminar Hukum Nasional tersebut di atas menganut ajaran sifat melawan hukum yang
materiil tentunya hal tersebut dalam fungsinya yang negatif. Ini adalah konsekwensi dari diterimanya
azas legalitas untuk KUHP. Nasional nanti dan masih berlakunya KUHP yang sekarang ini dimana
juga masih tercantum azas seperti tersebut dalam pasal 1. Suatu negara yang mengakui azas nullum
delictum dalam arti yang sebenarnya tidak mungkin menganut ajaran sifat melawan hukum yang
materiil dalam fungsinya yang positif. Misal A membunuh B dengan alasan bahwa B telah
membunuh C kakak dari A. Memang di daerah yang bersangkutan ada anggapan bahwa hutang
nyawa harus disaur dengan nyawa.
C. Pembuktian Unsur Sifat Melawan Hukum
Unsur sifat melawan hukum itu ada dalam rumusan delik :
1. ada yang tercantum dengan tegas, maka dalam hal ini adanya unsur tersebut harus dibuktikan
2. ada pula yang tidak tercantum. Terhadap delik-delik semacam itu ada perbedaan paham :
a. Jika unsur sifat melawan hukum dianggap mempunyai fungsi yang positif untuk sesuatu
delik (artinya ada delik kalau perbuatan itu bersifat melawan hukum), maka harus
dibuktikan. Sifat melawan hukum disini sebagai unsur konstitutif.
b. Jika unsur sifat melawan hukum dianggap mempunyai fungsi yang negatif (artinya : tidak
ada unsur sifat melawan hukum pada perbuatan merupakan pengecualian untuk adanya
suatu delik), maka tidak perlu dibuktikan.
Yang menganggap sifat melawan hukum itu mempunyai fungsi yang positif (merupakan
unsur konstitutif) a.l. van Hamel dan Zevenbergen. Yang menganggap sifat melawan hukum
mempunyai fungsi yang negatif adalah Simons. Pendapat Simons, “ajaran sifat melawan hukum
untuk hukum pidana pada umumnya hanyalah mempunyai hubungan dengan pertanyaan apakah
ada pengecualian yang menyebabkan hapusnya sifat melawan hukum”.
Prof. Muljatno yang meskipun menganggap unsur sifat melawan hukum adalah syarat
mutlak yang tak dapat ditinggalkan”, namun berpendirian, bahwa itu tidak berarti bahwa dalam
lapangan procesueel (acara pemeriksaan perkara) sifat itu harus dibebankan pembuktiannya kepada
penuntut umum. Beliau setuju, jika tak disebut dalam rumusan delik, unsur dianggap dengan diamhttp://
www.kejaksaan.go.id/pusdiklat/uplimg/File/Asas-asas%20Hukum%20Pidana.doc
18
diam ada, kecuali jika dibuktikan sebaliknya oleh terdakwa, karena pada umumnya dengan
mencocoki rumusan undang-undang sifat melawan hukumnya perbuatan sudah ternyata pula.
Hazewinkel-Suringa memandang sifat melawan hukum hanya sebagai tanda ciri dari tindak pidana.
D. Putatif Delik
Dalam pembicaraan unsur sifat melawan hukum ini ada delik disebut wahn delict atau
putativ delict. Ini terjadi jika seorang mengira telah melakukan delict, padahal perbuatannya itu sama
sekali bukan suatu delik, sebab perbuatannya itu tidak bersifat melawan hukum.
Asas-asas Hukum Pidana
19
BAB V
KESALAHAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
A. Pengertian Kemampuan Bertanggungjawab (Zurechnungsfahigkeit – Toerekeningsvatbaarheid)
Telah disebutkan, bahwa untuk adanya pertanggung-jawab pidana diperlukan syarat bahwa
pelaku mampu bertanggung jawab. Tidaklah mungkin seseorang dapat dipertanggungjawabkan
apabila ia tidak mampu bertanggung jawab.
Bilamana seseorang itu dikatakan mampu bertanggung-jawab? Apakah ukurannya untuk
menyatakan adanya kemampuan bertanggung jawab itu ? KUHP tidak memberikan rumusannya.
Dalam literatur hukum pidana Belanda dijumpai beberapa definisi untuk “kemampuan bertanggung
jawab”.
Simons : “kemampuan bertanggung jawab dapat diartikan sebagai suatu keadaan psychis
sedemikian, yang membenarkan adanya penerapan sesuatu upaya pemidanaan, baik dilihat dari
sudut umum maupun dari orangnya”.
Dikatakan selanjutnya, bahwa seseorang mampu bertanggung jawab, jika jiwanya sehat,
yakni apabila :
1. Ia mampu untuk mengetahui atau menyadari bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum
2. Ia dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan kesadaran tersebut.
Van Hamel : kemampuan bertanggung jawab adalah suatu keadaan normalitas psychis dan
kematangan (kecerdasan) yang membawa 3 kemampuan :
1. Mampu untuk mengerti nilai dari akibat-akibat perbuatannya sendiri
2. Mampu untuk menyadari, bahwa perbuatannya itu menurut pandangan masyarakat tidak
dibolehkan
3. Mampu untuk menentukan kehendaknya atas perbuatannya-perbuatannya itu
Van Bemmelen : seseorang yang dapat dipertanggung-jawabkan ialah orang yang dapat
mempertahankan hidupnya dengan cara yang patut.
Definisi van Bemmelen ini singkat, akan tetapi juga kurang jelas, sebab masih dapat
ditanyakan kapankah seseorang itu dikatakan “dapat mempertahankan hidupnya dengan cara yang
patut” ?
Adapun Memorie van Toelichting (memori penjelasan) secara negative menyebutkan
mengenai kemampuan bertanggung jawab itu, antara lain demikian:
Tidak ada kemampuan bertanggung jawab pada sipelaku :
a. Dalam hal ia tidak ada kebebasan untuk memilih antara berbuat dan tidak berbuat mengenai apa
yang dilarang atau diperintahkan oleh undang-undang.
b. Dalam hal ia ada dalam suatu keadaan yang sedemikian rupa, sehingga tidak dapat menginsyafi
bahwa perbuatannya itu bertentangan dengan hukum dan tidak dapat menentukan akibat
perbuatannya.
Definisi-definisi tersebut memang ada manfaatnya, tetapi untuk setiap kali dalam kejadian
yang kongkrit dalam praktek peradilan menilai jiwa seorang terdakwa dengan ukuran-ukuran tadi
tidaklah mudah. Sebagai dasar untuk mengukur hal tersebut, apabila orang yang normal jiwanya itu
mampu bertanggung jawab, ia mampu untuk menilai dengan pikiran atau perasaannya bahwa
perbuatannya itu dilarang oleh undang-undang dan berbuat sesuai dengan pikiran atau perasaannya
itu.
Dalam persoalan kemampuan bertanggung jawab itu ditanyakan apakah seseorang itu
merupakan “norm-adressat” (sasaran norma), yang mampu. Seorang terdakwa pada dasarnya
dianggap (supposed) mampu bertanggung jawab, kecuali dinyatakan sebaliknya (lihat pembahasan
tentang dasar-dasar penghapus pidana).
B. Kesalahan
A. Pengertian Kesalahan
Dipidananya seseorang tidaklah cukup dengan membuktikan bahwa orang itu telah
melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi
meskipun perbuatannya memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan (an
objective breach of a penal provision), namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan
pidana. Untuk dapat dipertanggungjawabkannya orang tersebut masih perlu adanya syarat, bahwa
orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective guilt). Dengan
perkataan lain, orang tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya atau jika
dilihat dari sudut perbuatnnya, perbuatannya harus dapat dipertanggungjawabkan kepada orang
tersebut. Dalam hal ini berlaku asas “TIADA PIDANA TANPA KESALAHAN” atau Keine Strafe
ohne Schuld atau Geen straf zonder Schuld atau Nulla Poena Sine Culpa (“culpa” disini dalam arti
luas, meliputi juga kesengajaan).
http://www.kejaksaan.go.id/pusdiklat/uplimg/File/Asas-asas%20Hukum%20Pidana.doc
20
Asas ini tidak tercantum dalam KUHP Indonesia atau dlam peraturan lain, namun
berlakunya asas tersebut sekarang tidak diragukan. Akan bertentangan dengan rasa keadilan, apabila
ada orang yang dijatuhi pidana padahal ia sama sekali tidak bersalah, Pasal 6 ayat 2 Undang-undang
Kekuasaan Kehakiman (UU No. 4 / 2004) berbunyi : Tiada seorang juapun dapat dijatuhi pidana,
kecuali apabila pengadilan, karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat
keyakinan, bahwa seorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan
yang dituduhkan atas dirinya. Bahwa unsur kesalahan itu, sangat menentukan akibat dari perbuatan
seseorang, dapat juga dikenal dari pepatah (Jawa) “sing salah, seleh” (yang bersalah pasti salah).
Untuk adany pemidanaan harus ada kesalahan pada sipelaku. Asas “tiada pidana tanpa kesalahan”
yang telah disebutkan di atas mempunyai sejarahnya sendiri.
Dalam ilmu hukum pidana dapat dilihat pertumbuhan dari hukum pidana yang
menitikberatkan kepada perbuatan orang beserta akibatnya (Tatstrafrecht atau Erfolgstrafrecht) ke
arah hukum pidana yang berpijak pada orang yang melakukan tindak pidana (taterstrafrecht), tanpa
meninggalkan sama sekali sifat dari Tatstrafrecht. Dengan demikian hukum pidana yang ada dewasa
ini dapat disebut sebagai Sculdstrafrecht, artinya bahwa, penjatuhan pidana disyaratkan adanya
kesalahan pada si pelaku.
Tidak berbeda dengan konsep yang berlaku dalam sistem hukum di Negara Eropa
Kontinental, unsur kesalahan sebagai syarat untuk penjatuhan pidana di Negara Anglo Saxon tampak
dengan adanya maxim (asas) “Actus non facit reum nisi mens sit rea” atau disingkat dengan asas
“mens rea”. Arti aslinya ialah “evil will” “guilty mind”. Mens rea merupakan subjective guilt melekat
pada sipelaku subjective gilt ini berupa intent (kesengajaan setidak-tidaknya negligence (kealpaan).
B. Dasar Pemikiran
Filosofi dasar yang mempersoalkan kesalahan sebagai unsur yang menjadi persyaratan untuk
dapat dipertanggungjawabkannya pelaku berpangkal pada pemikiran tentang hubungan antara
perbuatan dengan kebebasan kehendak. Mengenai hubungan antara kebebasan kehendak dengan ada
atau tidak adanya kesalahan ada 3 pendapat dari:
a. Aliran klasik yang melahirkan pandangan indeterminisme, yang pada dasarnya berpendapat,
bahwa manusia mempunyai kehendak bebas (free will) dan ini merupakan sebab dan segala
keputusan kehendak. Tanpa ada kebebasan kehendak maka tidak ada kesalahan dan apabila
tidak ada kesalahan, maka tidak ada pencelaan, sehingga tidak ada pemidanaan.
b. Aliran positivist yang melahirkan pandangan determinisme mengatakan, bahwa manusia tidak
mempunyai kehendak bebas. Keputusan kehendak ditentukan sepenuhnya oleh watak (dalam
arti naPasalu-naPasalu manusia dalam hubungan kekuatan satu sama lain) dan motif-motif ialah
perangsang-perangsang yang datang dari dalam atau dari luar yang mengakibatkan watak
tersebut. Ini berarti bahwa seseorang, tidak dapat dicela atas perbuatannya atau dinyatakan
mempunyai kesalahan, sebab ia tidak punya kehendak bebas. Namun meskipun diakui bahwa
tidak punya kehendak bebas, itu tak berarti bahwa orang yang melakukan tindak pidana tidak
dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya.
Justru karena tidak adanya kebebasan kehendak itu maka ada pertanggungan-jawab dari
seseorang atas perbuatannya. Tetapi reaksi terhadap perbuatan yang dilakukan itu berupa
tindakan (maatregel) untuk ketertiban masyarakat, dan bukannya pidana dalam arti penderitaan
sebagai buah hasil kesalahan oleh si pelaku.
c. Dalam pandangan ketiga melihat bahwa ada dan tidak adanya kebebasan kehendak itu untuk
hukum pidana tidak menjadi soal (irrelevant). Kesalahan seseorang tidak dihubungkan dengan
ada dan tidak adanya kehendak bebas
3. Kesalahan Menurut Beberapa Sarjana
Guna memberi pengertian lebih lanjut tentang kesalahan dalam arti yang seluas-luasnya, di
bawah ini disebutkan pendapat-pendapat dari berbagai penulis.
a. MEZGER mengatakan : kesalahan adalah keseluruhan syarat yang memberi dasar untuk adanya
pencelaan pribadi terhadap si pelaku tindak pidana (Schuldist der Erbegriiffder
Vcrraussetzungen, die aus der Strafcat einen personlichen Verwurf gegen den Tater begrunden).
b. SIMONS mengartikan kesalahan itu sebagai pengertian yang “sociaal ethisch” dan mengatakan
antara lain:
“Sebagai dasar untuk pertanggungan jawab dalam hukum pidana ia berupa keadaan psychisch
dari si pelaku dan hubungannya terhadap perbuatannya,” dan dalam arti bahwa berdasarkan
keadaan psychisch (jiwa) itu perbuatannya dapat dicelakakan kepada si pelaku”.
c. VAN HAMEL mengatakan, bahwa “kesalahan dalam suatu delik merupakan pengertian
psychologis, perhubungan antara keadaan jiwa si pelaku dan terwujudnya unsur-unsur delik
karena perbuatannya. Kesalahan adalah pertanggungan jawab dalam hukum (Schuld is de
verant woordelijkheid rechtens)”.
Asas-asas Hukum Pidana
21
d. VAN HATTUM berpendapat : “Pengertian kesalahan yang paling luas memuat semua unsur
dalam mana seseorang dipertanggungjawabkan menurut hukum pidana terhadap perbuatan
yang melawan hukum, meliputi semua hal, yang bersifat psychisch yang terdapat dapat
keseluruhan yang berupa strafbaarfeit termasuk si pelakunya (al het geen psychisch is aan dat
complex, dat bestaat uit een strafbaar feit en deswege een strafbare dader).
e. KARNI yang mempergunakan istilah “salah dosa” mengatakan : “Pengertian salah dosa
mengandung celaan. Celaan ini menjadi dasarnya tanggungan jawab terhadap hukum pidana”.
Selanjutnya ia katakan : “Salah dosa berada, jika perbuatan dapat dan patut dipertanggungkan
atas si perbuat; harus boleh dicela karena perbuatan itu; perbuatan itu mengandung perlawanan
hak; perbuatan itu harus dilakukan, baik dengan sengaja, maupun dengan salah”.
f. POMPE mengatakan antara lain : “Pada pelanggaran norma yang dilakukan karena
kesalahannya, biasanya sifat melawan hukum itu merupakan segi luarnya. Yang bersifat
melawan hukum itu adalah perbuatannya. Segi dalamnya, yang bertalian dengan kehendak si
pelaku adalah kesalahan. Pengertian kesalahan psychologisch. Dalam arti ini kesalahan hanya
dipandang sebagai hubungan psychologis (batin) antara pelaku dan perbuatannya. Hubungan
batin tersebut bisa berupa kesengajaan atau kealpaan, pada kesengajaan hubungan batin itu
berupa menghendaki perbuatan (beserta akibatnya) dan pada kealpaan tidak ada kehendak
demikian. Jadi di sini hanya digambarkan (deskriptif) keadaan batin berupa kehendak terhadap
perbuatan atau akibat perbuatan.
Dari pengertian-pengertian kesalahan dari beberapa sarjana di atas maka pengertian
kesalahan dapat dibagi dalam pengertian sebagai berikut :
 Pandangan yang normatif tentang kesalahan ini menentukan kesalahan seseorang tidak hanya
berdasar sikap batin atau hubungan batin antara pelaku dengan perbuatannya, tetapi di samping
itu harus ada unsur penilaian atau unsur normatif terhadap perbuatannya. Penilaian normatif
artinya penilaian (dari luar) mengenai hubungan antara sipelaku dengan perbuatannya.
 “Penilaian dari luar” ini merupakan pencelaan dengan memakai ukuran-ukuran yang terdapat
dalam masyarakat, ialah apa yang seharusnya diperbuat oleh sipelaku secara extreem dikatakan
bahwa “kesalahan seseorang tidaklah terdapat dalam kepala sipelaku, melainkan di dalam
kepala orang-orang lain”, ialah di dalam kepala dari mereka yang memberi penilaian terhadap
sipelaku itu. Yang memberi penilaian pada instansi terakhir adalah hakim.
Di dalam pengertian ini sikap batin si pelaku ialah, yang berupa kesengajaan dan kealpaan
tetap diperhatikan, akan tetapi hanya merupakan unsur dari kesalahan atau unsur dari
pertanggung-jawaban pidana. Di samping itu ada unsur lain ialah penilaian mengenai keadaan
jiwa sipelaku, ialah kemampuan bertanggungjawab dan tidak adanya alasan penghapus
kesalahan.
4. Kesalahan dalam Hukum Pidana
Kesalahan ini dapat dilihat dari dua sudut:
a. menurut akibatnya ia ada hal yang dapat dicelakakan (verwijtbaarheid)
b. menurut hakekatnya ia adalah hal dapat dihindarkannya (vermijdbaar-heid) perbuatan yang
melawan hukum
Dari pendapat-pendapat tersebut di atas maka dapatlah dimengerti bahwa kesalahan itu
mengandung unsur pencelaan terhadap seseorang yang telah melakukan tindak pidana. Jadi orang
yang bersalah melakukan sesuatu perbuatan, itu berarti bahwa perbuatan itu dapat dicelakakan
kepadanya, pencelaan disini bukannya pencelaan berdasarkan kesusilaan, melainkan pencelaan
berdasarkan hukum yang berlaku. Bukan “ethische schuld”, melainkan “veranwoordelijkheid
rechtens, seperti dikatakan oleh van Hamel. Namun demikian, untuk adanya kesalahan hemat kami
harus ada pencelaan ethis, betapapun kecilnya. Ini sejalan dengan pendapat, bahwa “das Recht ist das
ethische Minimum”. Setidak-tidaknya pelaku dapat dicela karena tidak menghormati tata dalam
masyarakat, yang terdiri dari sesama hidupnya, dan yang memuat segala syarat untuk hidup
bersama.
a. Arti “kesalahan” dalam hukum Pidana
Dalam hukum pidana kesalahan memiliki 3 pengertian yaitu:
1) kesalahan dalam arti yang seluas-luasnya, yang dapat disamakan dengan pengertian
“pertanggungjawaban dalam hukum pidana”; di dalamnya terkandung makna dapat
dicelanya (verwijtbaarheid) sipelaku atas perbuatannya. Jadi apabila dikatakan, bahwa orang
bersalah melakukan sesuatu tindak pidana, maka itu berarti bahwa ia dapat dicela atas
perbuatannya.
2) kesalahan dalam arti bentuk kesalahan (sculdvorm) yang berupa :
a) kesengajaan (dolus, opzet, vorzatz atau intention) atau
http://www.kejaksaan.go.id/pusdiklat/uplimg/File/Asas-asas%20Hukum%20Pidana.doc
22
b) kealpaan (culpa, onachtzaamheid, fahrlassigkeit atau negligence).
3) kesalahan dalam arti sempit, ialah kealpaan (culpa) seperti yang disebutkan dalam b.2 di atas.
Pemakaian istilah “kesalahan” dalam arti ini sebaiknya dihindarkan dan digunakan saja
istilah “kealpaan”.
Dengan diterimanya pengertian kesalahan (dalam arti luas) sebagai dapat dicelanya si
pelaku atas perbuatannya, maka berubahlah pengertian kesalahan yang psychologis menjadi
pengertian kesalahan yang normatif (normativer schuldbegriff).
b. Unsur-unsur dari kesalahan (dalam arti yang seluas-luasnya)
Kesalahan dalam arti seluas-luasnya amat berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana
dimana meliputi :
1) adanya kemampuan bertanggungjawab pada sipelaku (schuldfahigkeit atau
zurechnungsfahigkeit); artinya keadaan jiwa sipelaku harus normal. Disini dipersoalkan
apakah orang tertentu menjadi “normadressat” yang mampu.
2) hubungan batin antara sipelaku dengan perbuatannya, yang berupa kesengajaan (dolus) atau
kealpaan (culpa), ini disebut bentuk-bentuk kesalahan. Dalam hal ini dipersoalkan sikap batin
seseorang pelaku terhadap perbuatannya.
3) tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf meskipun apa
yang disebut dalam a dan b ada, ada kemungkinan bahwa ada keadaan yang mempengaruhi
sipelaku sehingga kesalahannya hapus, misalnya dengan adanya kelampauan batas
pembelaan terpaksa (ps. 49 KUHP)
Kalau ketiga-tiga unsur ada maka orang yang bersangkutan bisa dinyatakan bersalah atau
mempunyai pertanggungan jawab pidana, sehingga bisa dipidana.
Dalam pada itu harus diingat bahwa untuk adanya kesalahan dalam arti yang seluas-luasnya
(pertanggungan jawab pidana) orang yang bersangkutan harus pula dibuktikan terlebih dahulu
bahwa perbuatannya bersifat melawan hukum.
Kalau ini tidak ada, artinya, kalau perbuatannya tidak melawan hukum maka tidak ada
perlunya untuk menerapkan kesalahan sipelaku.
Sebaliknya seseorang yang melakukan perbuatan yang melawan hukum tidak dengan
sendirinya mempunyai kesalahan, artinya tidak dengan sendirinya dapat dicela atas perbuatan itu.
Itulah sebabnya, maka kita harus senantiasa menyadari akan dua pasangan dalam syaratsyarat
pemidaan ialah adanya :
a. dapat dipidananya perbuatan (strafbaarheid van het feit)
b. dapat dipidananya orangnya atau pelakunya (strafbaarheid van de persoon).
Asas-asas Hukum Pidana
23
BAB VI
KESENGAJAAN
(DOLUS, INTENT, OPZET, VORSATZ)
Unsur kedua dari kesalahan dalam arti yang seluas-luasnya (pertanggungjawaban pidana)
adalah hubungan batin antara si pelaku terhadap perbuatan, yang dicelakakan kepada sipelaku itu.
Hubungan batin ini bisa berupa kesengajaan atau kealpaan.
Apakah yang diartikan dengan sengaja ? KUHP kita tidak memberi definisi. Petunjuk untuk
dapat mengetahui arti kesengajaan, dapat diambil dari M.v.T. (Memorie van Toelichting), yang
mengartikan “kesengajaan” (opzet) sebagai: “menghendaki dan mengetahui” (willens en wetens).
(Pompe: 166). Jadi dapatlah dikatakan, bahwa sengaja berarti menghendaki dan mengetahui apa yang
dilakukan. Orang yang melakukan perbuatan dengan sengaja menghendaki perbuatan itu dan
disamping itu mengetahui atau menyadari tentang apa yang dilakukan itu. Misal : seorang Ibu, yang
sengaja tidak memberi susu kepada anaknya, menghendaki dan sadar akan perbuatannya.
A. Teori-teori Kesengajaan
Berhubung dengan keadaan batin orang yang berbuat dengan sengaja, yang berisi
menghendaki dan mengetahui itu, maka dalam ilmu pengetahuan hukum pidana dapat disebut dua
teori sebagai berikut:
1. Teori kehendak (wilstheorie)
Inti kesengajaan adalah kehendak untuk mewujudkan unsur-unsur delik dalam rumusan
undang-undang (Simons, Zevenbergen)
2. Teori pengetahuan / membayangkan (voorstelling-theorie)
Sengaja berarti membayangkan akan akibat timbulnya akibat perbuatannya; orang tak bisa
menghendaki akibat, melainkan hanya dapat membayangkannya. Teori ini menitikberatkan
pada apa yang diketahui atau dibayangkan oleh sipelaku ialah apa yang akan terjadi pada waktu
ia akan berbuat. (Frank).
Terhadap perbuatan yang dilakukan sipelaku kedua teori itu tak ada perbedaan, keduaduanya
mengakui bahwa dalam kesengajaan harus ada kehendak untuk berbuat. Dalam praktek
penggunaannya, kedua teori adalah sama. Perbedaannya adalah dalam istilahnya saja.
B. Bentuk Kesengajaan
Dalam hal seseorang melakukan sesuatu dengan sengaja dapat dibedakan 3 bentuk sikap batin,
yang menunjukkan tingkatan atau bentuk dari kesengajaan sebagai berikut :
1. kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk) untuk mencapai suatu tujuan (yang dekat);
dolus directus
2. kesengajaan dengan sadar kepastian (opzet met zekerheidsbewustzijn atau
noodzakkelijkheidbewustzijn
3. kesengajaan dengan sadar kemungkinan (dolus eventualis atau voorwaardelijk-opzet)
Bentuk kesengajaan ini merupakan bentuk kesengajaan yang biasa dan sederhana. Perbuatan
sipelaku bertujuan untuk menimbulkan akibat yang dilarang. Kalau akibat ini tidak akan ada, maka ia
tidak akan berbuat demikian. Ia menghendaki perbuatan beserta akibatnya.
Misal : A menempeleng B. Amenghendaki sakitnya B agar B tidak membohong.
Perhatikan : haruslah ditoh:bedakan antara tujuan dan motif. Motif suatu perbuatan adalah
alasan yang mendorong untuk berbuat misalnya cemburu, jengkel dsb.
Dalam hal delik materiil harus dihubungkan faktor kausa yang menghubungkan perbuatan
dengan akibat (kausalitas) dimana :
1. akibat yang memang dituju sipelaku. Ini dapat merupakan delik tersendiri atau tidak.
2. akibat yang tidak didinginkan tetapi merupakan suatu keharusan untuk mencapai tujuan dalam
no. 1 tadi, akibat ini pasti timbul atau terjadi.
Contoh 1 :
A hendak membunuh B dengan tembakan pistol. B duduk di balik kaca jendela restoran. Penembakan
terhadap B pasti akan memecahkan kaca pemilik restoran itu.
Terhadap terbunuhnya B kesengajaan merupakan tujuan sedangkan terhadap rusaknya kaca (ps. 406
KUHP) ada kesengajaan dengan keinsyafan kepastian atau keharusan sebagai syarat tercapainya
tujuan.
Dalam hal ini ada keadaan tertentu yang semula merupakan diperkirakan sipelaku sebagai
kemungkinan terjadi kemudian ternyata benar-benar terjadi merupakan resiko yang harus diemban
sipelaku.
Contoh 2 :
http://www.kejaksaan.go.id/pusdiklat/uplimg/File/Asas-asas%20Hukum%20Pidana.doc
24
A hendak membalas dendam B yang bertempat tinggal di Hoorn. A mengirim kue taart yang beracun
dengan maksud untuk membunuhnya. A tahu bahwa ada kemungkinan istri B, yang tidak berdosa
itu juga akan makan kue tersebut dan meninggal karenanya, meskipun A tahu akan hal terakhir ini
namun ia tetap mengirim kue tersebut, oleh karena itu kesengajaan dianggap tertuju pula pada
matinya istri B. Dalam batin si A, kematian tersebut tidak menjadi persoalan baginya.
Jadi dalam kasus ini :
Ada kesengajaan sebagai tujuan terhadap matinya B dan kesengajaan dengan keinsyafan
kemungkinan terhadap kematian istri B (Arrest H.R. 9 Maret 1911)
Contoh 3 :
Seorang yang melakukan penggelapan, merasa bahwa akhirnya ia akan ketahuan. Ia ingin
menghindarkan diri dari peradilan dunia dan hendak membunuh dirinya dengan merencanakan
sustu kecelakaan lalu – lintas, Ia menabrakkan mobil yang dikendarainya kepada otobis yang berisi
penumpang. Tujuannya agar uang asuransinya yang sangat tinggi (1 ton) itu dapat dibayarkan
kepada soprnya.
Tetapi ini gagal, ia tidak mati, hanya luka-luka. Beberapa penumpang bis mengalami luka dan
seorang diantaranya luka yang membahayakan jiwa. R.v.J (Raad van Justitie) Semarang yang
diperkuat oleh Hoogerechtshof dalam tingkat banding menyatakan terdakwa bersalah telah
melakukan penganiayaan berat. Pertimbangannya antara lain sebagai berikut:
Meskipun terdakwa tidak mengharapkan penumpang-penumpang bis mendapat luka-luka, namun
akibat ini ada dalam kesengajaanya, sebab iatetap melakukan perbuatan itu, meskipun ia sadr akan
akibat yang mungkin terjadi. Kasus ini adalah pengalaman Jokers, ketika menjadi Jaksa Tinggi
(Officier van Justitie) pada R.v.J di Semarang.
C. Dolus Eventualis
Dolus eventualis lahir karena suatu keadaan dimana sikap batin pelaku dimana pelaku tidak
menghendaki suatu tujuan untuk mewujudkan suatu tindak pidana, akan tetapi keadaan
menyebabkan ia tidak dapat mengelak dari suatu keadaan tertentu.
Contoh:
Seorang mengendarai mobil angkutan umum dengan lajunya di jalan dalam kota. Dimuka ia lihat
sekelompok anak yang sedang bermain-main. Apabila ia tetap dalam kecepatan yang sama tanpa
menghiraukan nasib anak-anak dan tanpa mengambil tindakan pencegahan, dan apabila akibat
perbuatanya itu beberapa anak luka atau mati, maka disini ada kesengajaan unuk menganiaya atau
membunuh, meskipun tidak dapat dikatakan bahwa ia mengiginkan akibat tadi, namun jelas ia
menghendaki hal itu, dalam arti, meskipun ia sadar akan kemungkinan tentang luka dan matinya
anak ia mendesak kesadaran itu kebelakang dan menerima apa boleh buat kemungkinan itu, dengan
melampiaskan naPasalunya untuk menegar kudanya.
Di atas telah disebutkan 2 teori yang menerangkan bagaimana sikap batin seseorang yang
melakukan perbuatan dengan sengaja. Bagaimanakah menerangkan adanya kesengajaan dengan
sadar kemungkinan (dolus eventualis)?
Berdasarkan teori kehendak, jika sipelaku menetapkan dalam batinnya, bahwa ia lebih
menghendaki perbuatan yang dilakukan itu, meskipun nanti akan ada akibat yang ia tidak harapkan,
dari pada tidak berbuat, maka kesengajaan orang tersebut juga ditujukan kepada akibat yang tidak
diharapkan itu.
Berdasarkan teori pengetahuan, pelaku mengetahui / membayangkan akan kemungkinan
terjadinyan akibat yang tak dikehendaki, tetapi bayangkan itu tidak mencegah dia untuk tidak
berbuat; maka dapat dikatakan, bahwa kesengajaan diarahkan kepada akibat yang mungkin terjadi
itu.
Dalam kedua teori itu digambarkan, bahwa dalam batin si – pelaku terjadi suatu proses,
bahwa ia lebih baik berbuat dari pada tidak berbuat. Disini ada suatu yang tidak jelas, oleh karena itu
disamping kedua teori itu ada teori yang disebut teori apa boleh buat (“In Kauf nehmen theorie”atau”
op de koop toe nemen theorie”).
Menurut teori apa boleh buat (“In Kauf nehmen theorie “atau”op de koop toe nemen theorie”)
keadaan batin si pelaku terhadap perbuatannya adalah sebagai berikut:
1. akibat itu sebenarnya tidak dikehendaki, bahkan ia benci atau takut akan kemungkinan
timbulnya akibat itu
2. akan tetapi meskipun ia tidak menghendakinya, namun apabila toh keadaan/akibat itu timbul,
apa boleh buat hak itu diterima juga, ini berarti ia berani memikul resiko.”
Dalam perdebatan di Eerste Kamsr mengenai W.v.S. Menteri Modderman mengatakan,
bahwa “voorwaardelijkk opzet” (dolus eventualis) itu ada, apabila kehendak kita langsung ditujukan
pada kejahatan tersebut, tetapi meskipun telah mengetahui bahwa keadaan tertentu masih akan
terjadi, namun kita berbuat dengan tiada tercegah oleh kemungkinan terjadinya hal yang telah kita
ketahui itu.
Asas-asas Hukum Pidana
25
Dengan teori apa boleh buat ini maka sebenarnya tidak perlu lagi untuk membedakan
kesengajaan dengan sadar kepastian dan kesengajaan dengan sadar kemungkinan.
Dalam uraian-uraian diatas penentuan tentang kesengajaan si-pelaku adalah dengan melihat
bagaimana sikap batinnya perbuatan ataupun akibat perbuatannya. Demikian itu karena kesengajaan
dipandang sebagai sikap batin pelaku terhadap perbuatannya.
Dengan teori-teori itu diusahakan untuk menetapkan kesengajaan sipelaku Dalam kejadian
konkret tidaklah mudah bagi Hakim untuk menentukan bahwa sikap batin yang berupa kesengajaan
(atau kealpaan) itu benar-benar ada pada pelaku. Orang tidak dapat secara pasti mengetahui
mengetahui batin orang lain, lebih-lebih bagaimana keadaan batinnya pada waktu orang ini berbuat.
Apabila orang ini dengan jujur menerangkan keadaan batinnya yang sebenarnya maka tidak
ada kesukaran. Kalau tidak, maka sikap batinnya harus disimpulkan dari keadaan lahir, yang tampak
dari luar. Jadi dalam banyak hal hakim baru mengobyektifkan adanya kesengajaan itu.
Contoh Van Bemmelen:
A melepaskan tembakan kepada B dalam jarak 2 meter.
Meskipun A mungkin, bahwa ia mempunyai kesengajaan untuk membunuh B, namun Hakim tetap
akan menentukan adanya kesengajaan tersebut, kecuali apabila dapat diterima alasan-alasan yang
sangat masuk akal bahwa A tidak tahu pistol itu berisi atau bahwa matinya B itu disebabkan karena
kekhilafan dari A.
Dalam hal ini diragukan adanya kesenjajaan, sehingga ada pembebasan. Hakim harus sangat
berhati-hati. Kesengajaan berwarna (gekleurd) dan tidak berwarna (kleurloos). Persoalan ini
berhubungan dengan masalah: apakah untuk adanya kesengajaan itu sipelaku harus menyadari
bahwa perbuatannya itu dilarang (bersifat melawan hukum)?
Mengenai hal ini ada 2 pendapat, ialah yang mengatakan bahwa:
1. sifat kesengajaan itu berwarna dan kesengajaan melakukan sesuatu perbuatan mencakup
pengetahuan sipelaku bahwa perbuatanya melawan hukum (dilarang); harus ada hubungan
antara keadaan batin si-pelaku dengan melawan hukumnya perbuatan. Dikatakan, bahwa
sengaja disini berarti dolus malus, artinya sengaja untuk berbuat jahat (boos opzet). Jadi menurut
pendirian yang pertama, untuk adanya kesengajaan perlu bahwa sipelaku menyadari bahwa
perbuatannya dilarang. Penganutnya antara lain Zevenbergen, yang mengatakan (dalam
bukunya leerboek van het Nederlandsch Strafrecht, tahun 1924, halaman 169), bahwa:
Kesengajaan senantiasa ada hubungannya dengan dolus molus, dengan perkataan lain dalam
kesengajaan tersimpul adanya kesadaran mengenai sifat melawan hukumnya perbuatan.” Untuk
adanya kesengajaan, di perlukan syarat, bahwa pada sipelaku ada kesadaran, bahwa
perbuatannya dilarang dan/atau dapat dipidana
2. Kesengajaan tidak berwarna
Kalau dikatakan bahwa kesengajaan itu tak berwarna, maka itu berarti, bahwa untuk adanya
kesengajaan cukuplah bahwa sipelaku itu menghendaki perbuatan yang dilarang itu. Ia tak perlu
tahu bahwa perbuatannya terlarang / sifat melawan hukum.
Dapat saja sipelaku dikatakan berbuat dengan sengaja, sedang ia tidak mengetahui bahwa
perbuatannya itu dilarang atau bertentangan dengan hukum.
Penganut-penganutnya antara lain : Simons, Pompe, Jonkers. Menurut M.v.T. tidak perlu ada
“boos opzet”. M.v.T. mengatakan demikian :
“Akan tetapi untuk berbuat dengan sengaja itu apakah sipelaku tidak harus menyadari,
bahwa ia melakukan suatu perbuatan yang menurut tata susila tidak dibenarkan (zadelijk
ongeoorlooid) ? Cukupkah dengan adanya kesengajaan saja atau perlukah adanya “kesengajaanj
jahat” (boos opzet)?
Jawabnya tidak akan lain dari pada itu. Keberatan terhadap pendirian bahwa kesengajaan itu
berwarna ialah akan merupakan beban yan berat bagi jaksa apabila untuk membuktikan adanya
kesengajaan, tiap kali ia harus membuktikan bahwa pada terdakwa ada kesadaran atau pengetahuan
tentang dilarangnya perbuatan itu. Sebaliknya, alasan bahwa kesengajaan itu berwarna ialah
kesalahan itu, jadi termasuk kesengajaan, berisi bahwa sipelaku harus sadar bahwa perbuatan itu
keliru.
Apabila ia sama sekali tidak sadar akan itu, meskipun pada kenyataannya ia melakukan
perbuatan yang dilarang, yang melawan hukum, ia tidak dapat dipidana.
D. Perumusan Unsur Sengaja dalam KUHP
M.v.T. memuat suatu asas yang mengatakan antara lain, bahwa “unsur-unsur delik yang
terletak dibelakang perkataan opzettelijk (dengan sengaja) dikuasai atau diliputi olehnya”.
Oleh karena itu pembentuk undang-undang menetapkan dengan seksama dimana letak
perkataan “opzettelijk” itu. (bacalah ps. 151 dan 152 dan bandingkan letak perkataan sengaja dalam
kedua pasal tersebut). Unsur yang terletak di muka perkataan “opzettelijk” disebut “diobjektip-kan”
http://www.kejaksaan.go.id/pusdiklat/uplimg/File/Asas-asas%20Hukum%20Pidana.doc
26
(geobjektiveerd), artinya dilepaskan dari kekuasaan kesengajaan. Jadi tidak perlu dibuktikan bahwa
kesengajaan sipelaku ditujukan kepada hal tersebut, seperti halnya ps. 152. Lihat ps. 303 KUHP.
Kesengajaan disini harus ditujukan kepada hal-hal apa saja ? Pecahkanlah sendiri !
Dalam hal itu asas yang dianut M.v.T. itu tidak berlaku untuk semua delik. Ada
pengecualiannya. Lihat ps. 187 KUHP. Di sini ada keadaan-keadaan, yang disebut di belakang
perkataan sengaja, diobjektipkan, sehingga tak perlu dibuktian bahwa kesengajaan pelaku ditujukan
kepada hal tersebut yang diobjektipkan, artinya yang tidak perlu ditanyakan apakah sipelaku
mengetahui atau menghendakinya, ialah “dapat terjadinya bahaya umum atau bahaya maut
tersebut”.
Demikianlah teknik perundang-undangan yang diikuti oleh KUHP dalam teks Belanda. Yang
menjadi masalah ialah apabila kita menghadapi KUHP dalam teks Bahasa Indonesia, yang
sebenarnya bukan teks resmi. Tata bahasa kedua bahasa itu tidak sama, oleh karena itu teknik
perundang-undangan dalam menyusun kalimat tentunya tidak dapat atau tidak perlu mengikuti
KUHP sepenuhnya. Menghadapi teks terjemahan yang diusahakan oleh beberapa penulis sekarang
ini tidak ada jalan lain bagi pelaksana hukum misalnya hakim, untu melihat teks aslinya ialah teks
Bahasa Belanda dan mendasarkan penafsiran pada teks tersebut.
Pada delik-delik yang memuat unsur-unsur “met het oogmerk om ........ (dengan tujuan
untuk), misalnya pada delik pencurian (ps. 362), pemalsuan surat (ps. 263), ialah yang disebut
“Tendenz-delikte” atau Absicht-delikte”, ada pendapat bahwa unsur tersebut bukannya unsur
kesengajaan, melainkan unsur melawan hukum subjektif. Unsur ini memberi.sifat atau arah dari
perbuatan yang dimaksud dalam rumusan delik yang bersangkutan.
Pada delik-delik yang memuat unsur-unsur ”met het oogmerk om..............(dengan tujuan
untuk.........), misalnya dalam delik pencurian (pasal 362), pemalsuan surat (pasal 263), ialah apa yang
disebut “Tendenz-delikte” atau “Absicht-delikte”, ada pendapat bahwa unsur tersebut bukannya
unsur kesengajaan, melainkan unsur melawan hukum yang subjektif. Unsur ini memberi sifat atau
arah dari perbuatan yang dimaksud dalam rumusan delik yang bersangkutan.
1. Kata “dan”
Dalam KUHP (teks Belanda), dalam merumuskan sesuatu delik, terdapat bentuk rumusan:
 Sengaja tanpa ada rumusan unsur melawan hukum (wederrechtelijk)
 Sengaja melawan hukum (wederrechtelijk) tanpa kata dan
 Meyisipkan kata “dan” diantara perkataan “sengaja” dan perkataan “melawan hukum”, jadi
merumuskan sebagai “sengaja dan melawan hukum” (opzettelijk en wederrechtelijk).
Contoh:
Pasal 333: Hij die opzettelijk iemand wederrechtelijk van devrijhiid berooft of berooft houdt..............
Dalam pasal ini jelas bahwa kesengajaan meliputi melawan hukumnya perbuatan dengan perkatan
lain pelaku harus tahu, bahwa perbuatan yang dilakukan itu bertentangan dengan hukum, disamping
ia berbuat dengan sengaja. Apabila ia dengan iktikad baik (te goeder trouw) mengira, bahwa ia dalam
keadaan tertentu boleh merampas kemerdekaan seseorang, maka ia tak dapat dipidana. Disini ada
kesesatan yang bisa membebaskan.
Pasal 406: Hij die opzettelijk en wederrechitelijk enig goed dat geheel of ten deele aan een onder toebe
hoort, vernielt, beschadigt, onbruik baar maakt of wegmaakt, wordt.....................
Dalam rumusan (dalam bahasa Belanda) yang demikian ini menjadi persoalan apakah sifat
melawan hukumnya perbuatan juga harus diliputi oleh kesengajaan. Mengenai hal ini terdapat tiga
pandangan:
a. Perkataan “en” (dan) menunjukkan kedudukan yang sejajar. Kesengajaan pelaku tidak perlu
ditujukan kepada sifat melawan hukumnya perbuatan, dengan perkataan lain sifat melawan
hukum ini diobjektipkan. Sipelaku tidak perlu tahu bahwa perbuatannya melawan hukum.
Contoh pasal 406 : Seorang pekerja yang mendapat perintah dari pemilik rumah untuk
membongkar rumahnya, tetapi sebelum melaksanakan perintah tersebut, tanpa diketahui
olehnya rumah itu ganti pemilik. Ia terus saja membongkar. Ia merusak dengan sengaja dan
dengan melawan hukum. Ia dapat dipidana.
b. Perkataan “en” (dan) tidak ada artinya.
Semua delik yang menurut unsur “sengaja melawan hukum” dapat dibaca “sengaja dan melawan
hukum”, yang berarti dua hal yang terpisah dan tidak berpengaruh satu sama lain, meskipun
tidak ada perkataan “en” (dan) tersebut : Dalam hukum, pendapat ini diragukan.
c. Perkataan “en” (dan) tidak ada artinya
Berbeda dengan pendapat ke 2 tersebut, pendapat ini justru mengartikan sengaja dan melawan
hukum “sebagai” sengaja melawan hukum. Jadi meskipun ada perkataan dan, kesengajaan
sipelaku harus ditujukan kepada melawan hukumnya perbuatan, sesuai dengan asas, bahwa
semua unsur yang terletak di belakang perkataan sengaja dikuasai olehnya. Jadi menurut
pendapat ini dalam contoh tersebut di atas, si-pekerja tidak dapat dipidana karena ia sama sekali
tidak mengetahui sifat melawan hukumya perbuatan yang ia lakukan.
Asas-asas Hukum Pidana
27
Van Hamel, Simons, Pompe menganut pendapat yang pertama, sedang Vos, Zevenbergen,
Langemeyer mengikuti pendapat yang ketiga. Hoge Raad mengikuti pendapat pertama. Dalam arrest
tgl. 21 Desember 1914 dimuat antara lain : karena antara unsur kesengajaan dan unsur melawan
hukum ada perkataan “en”, maka unsur melawan hukum tidak diliputi oleh kesengajaan.
Bagi Prof. Muljatno perkataan “dan” diantara perkataan “sengaja” dan perkataan “melawan
hukum” tidak mempunyai arti. Unsur sifat melawan hukum itu harus dikuasai oleh unsur
kesengajaan. Pelaku harus tahu bahwa yang dilakukan itu bersifat melawan hukum.
E. Kesengajaan Menurut Doktrin
Dalam ilmu pengetahuan dikenal beberapa macam kesengajaan:
1. Dolus premeditatus
Bentuk ini mengacu pada rumusan delik yang mensyaratkan unsur “dengan rencana lebih
dahulu” (met voorbedachte rade) sebagai unsur yang menentukan dalam pasal. Ini terdapat
dalam delik-delik yang dirumuskan dalam pasal 363, 340, 342 KUHP.
Istilah tersebut meliputi bagaimana terbentuknya “kesengajaan” dan bukan merupakan
bentuk atau tingkat kesengajaan. Menurut M.v.T. untuk “voorbedachte rade” diperlukan “saat
memikirkan dengan tenang” (een tijdstip van kalm overleg, van bedaard nedenken). Untuk
dapat dikatakan “ada rencana lebih dulu”, si pelaku sebelum atau ketika melakukan tindak
pidana tersebut, memikirkan secara wajar apa yang ia lakukan atau yang akan ia lakukan.
2. Dolus determinatus dan indeterminatus
Unsurnya ialah pendirian bahwa kesengajaan dapat lebih pasti atau tidak. Pada dolus
determinatus, pelaku misalnya menghendaki matinya orang tertentu, sedang pada dolus
indeterminatus pelaku misalnya menembak ke arah gerombolan orang atau menembak
penumpang-penumpang dalam mobil yang tidak mau disuruh berhenti, atau meracun reservoir
air minum, dan sebagainya.
3. Dolus alternativus
Dalam hal ini, sipelaku menghendaki atau A atau B, akibat yang satu atau yang lain
4. Dolus indirectus, Versari in re illicita
Ajaran tentang “dolus indirectus” mengatakan, bahwa semua akibat dari perbuatan yang
disengaja, dituju atau tidak dituju, diduga atau tidak diduga, itu dianggap sebagai hal yang
ditimbulkan dengan sengaja. Ajaran ini dengan tegas ditolak oleh pembentuk undang-undang.
Macam dolus ini masih dikenal oleh Code Penal Perancis. Dolus ini ada, apabila dari suatu
perbuatan yang dilarang dan dilakukan dengan sengaja timbul akibat yang tidak diinginkan.
Misalnya A dan B berkelahi, A memukul B, B jatuh dan dilindas mobil. Ini oleh Code Penal
dipandang sebagai “meutre”. Hazewinkel-Suringa menganggap hal ini sebagai suatu pengertian
yang tidak baik.
Ajaran dolus indirectus ini mengingatkan orang kepada ajaran kuno (hukum kanonik)
tentang pertanggung-jawab, ialah versari in re illicita.menurut ajaran ini seseorang yang
melakukan perbuatan terlarang juga dipertanggung-jawabkan atas semua akibatnya.
Dipertanggung-jawabkan dalam hukum pidana, meskipun akibat itu tidak dapat dibayangkan
sama sekali olehnya dan timbul secara kebetulan. Di Inggris dan Spanyol pengertian dolus
indirectus adalah sama dengan apa yang kita sebut “dolus eventualis”.
5. Dolus directus
Ini berarti, bahwa kesengajaan sipelaku tidak hanya ditukaun kepada perbuatannya,
melainkan juga kepada akibat perbuatannya.
6. Dolus generalis
Pada delik materiil harus ada hubungan kausal antara perbuatan terdakwa dan akibat yang
tidak dikehendaki undang-undang.
Misalkan seseorang yang bermaksud untuk membunuh orang lain, telah melakukan
serangkaian perbuatan misalnya mencekik dan kemudian melemparnya ke dalam sungai.
Menurut otopsi (pemeriksaan mayat) matinya orang ini disebabkan karena tenggelam, jadi pada
waktu dilempar ke air ia belum mati.
Menurut ajaran kuno disini ada dolus generalis, ialah harapan dari terdakwa secara umum
agar orang yang dituju itu mati, bagaimanapun telah tercapai. Simons menyetujui jenis dolus ini.
Hazewinkel-Suringa menganggap hal tersebut secara dogmatis tidak tepat. Perbuatan pertama
(mencekik) dikualifikasikan sebagai “percobaan pembunuhan”, sedang perbuatan kedua
(melempar ke kali) merupakan perbuatan yang terletak / di luar lapangan hukum pidana atau
“menyebabkan matinya orang karena kealpaannya”.
Contoh :
Seorang Ibu yang ingin melepaskan diri dari bayinya, menaruh bayi itu di pantai dengan
harapan agar dibawa oleh arus pasang. Akan tetapi air pasangnya tidak setinggi yang
diharapkan; namun bayinya mati karena kelaparan dan kedinginan. Meskipun jalannya
http://www.kejaksaan.go.id/pusdiklat/uplimg/File/Asas-asas%20Hukum%20Pidana.doc
28
peristiwa tidak tepat seperti yang dibayangkan oleh sipelaku, namun karena akibat yang
dikenhendaki telah terjadi, maka disini menurut von Hippel ada pembunuhan yang
direncanakan. Pendirian von Hippel ada pembunuhan yang direncanakan. Pendirian Von Hippel
ini sama dengan pendapat H.R. dalam arrestnya tanggal 26 Juni 1962.
Asas-asas Hukum Pidana
29
BAB VII
KEALPAAN (CULPA)
(CULPA dalam arti sempit), SCHULD, NALATIGHEID, RECKLESSNESS,NEGLIGENCE,
FAHRLASSIGKEIT, SEMBRONO, TELEDOR).
Disamping sikap batin berupa kesengajaan ada pula sikap batin yang berupa kealpaan. Hal
ini terdapat dalam beberapa delik. Akibat ini timbul karena ia alpa, ia sembrono, teledor, ia berbuat
kurang hati-hati atau kurang penduga-duga.
Dalam buku II KUHP terdapat beberapa pasal yang memuat unsur kealpaan. Ini adalah delikdelik
culpa (culpose delicten). Delik-delik itu dimuat antara lain dalam :
Pasal 188 : Karena kealpaannya menimbulkan peletusan,
kebakaran dst
Pasal 231 (4) : Karena kealpaannya sipenyimpan menyebabkan
hilangnya dan sebagainnya barang yang disita
Pasal 359 : Karena kealpaannya menyebabkan matinya orang
Pasal 360 : Karena kealpaannya menyebabkan orang luka
berat dsb.
Pasal 409 : Karena kealpaannya menyebabkan alat-alat
perlengkapan (jalan api dsb) hancur dsb.
Perkataan culpa dalam arti luas berarti kesalahan pada umumnya, sedang dalam arti sempit
adalah bentuk kesalahan yang berupa kealpaan. Suatu keadaan, yang sedemikian membahayakan
keamanan orang atau barang, atau mendatangkan kerugian terhadap seseorang yang sedemikian
besarnya dan tidak dapat diperbaiki lagi, sehingga umdang-undang juga bertindak terhadap larangan
penghati-hati, sikap sembrono (teledor), pendek kata “ schuld” (kealpaan yang menyebabkan
keadaan tadi)”.(er zijn feiten, die de algemene vefligheid van onen of goederen zozeer in gevaar
brengen of zo groot en onherstelbaar nadeel bijzondere personen berokkenen, dat de wet ook de
onvoorzichtigheid, de tigheid, het gebrek aan voorzorg, in een woord, schuld, waar het feit prong
heeft, moet tekeer gaan”)
A. Pengertian kealpaan atau culpa (dalam arti sempit)
Menurut M.v.T kealpaan disatu pihak berlawanan benar-benar dengan kesengajaan dan
dipihal lain dengan hal yang kebetulan (toevel atau caous).kealpaan merupakan bentuk kesalahan
yang lebih ringan dari pada kesengajaan, akan tetapi bukannya kesengajaan yang ringan.
Beberapa penulis menyebut beberapa syarat untuk adanya kealpaan:
1. Hazenwinkel – Suringa
Ilmu pengetahuan hukum dan jurispruden mengartikan “schuld” (kealpaan) sebagai:
 kekurangan penduga – duga atau
 kekurangan penghati-hati.
2. Van hamel
Kealpaan mengandung dua syarat:
 tidak mengadakan penduga-duga sebagaimana diharuskan oleh hukum.
 tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum.
3. Simons:
Pada umumnya “schuld” (kealpaan) mempunyai dua unsur :
a. Tidak adanya penghati-hati, di samping
b. dapat diduganya akibat
4. Pompe.
Ada 3 macam yang masuk kealpaan (anachtzaamheid):
a. Dapat mengirakan (kunnen venvachten) timbulnya akibat
b. Mengetahui adanya kemungkinan (kennen der mogelijkheid)
c. Dapat mengetahui adanya kemungkinan (kunnen kennen van de mogelijkheid)
Tetapi nomor (b) dan (c) hanya apabila mengetahui atau dapat mengetahuinyaitu menyangkut
juga kewajiban untuk menghindarkan perbuatannya (=untuk tidak melakukan perbuatan).
Kealpaan orang tersebut harus ditentukan secara normatif, dan tidak secara fisik atau psychis.
Tidaklah mungkin diketahui bagaimana sikap batin seseorang yang sesungguh-sungguhnya maka
haruslah ditetapkan dari luar bagaimana seharusnya ia berbuat dengan mengambil ukuran sikap
batin orang pada umunya apabila ada dalam situasi yang sama dengan si-pelaku itu.
a. “Orang pada umunya” ini berarti bahwa tidak boleh orang yang paling cermat, paling hati-hati,
paling ahli dan sebagainya.
b. Untuk menentukan adanya kealpaan ini harus dilihat peristiwa demi peristiwa. Yang harus
memegang ukuran normatif dari kealpaan itu adalah Hakim. Undang-undang mewajibkan
http://www.kejaksaan.go.id/pusdiklat/uplimg/File/Asas-asas%20Hukum%20Pidana.doc
30
seseorang untuk melakukan sesuatu atau untuk tidak melakukan sesuatu. Misalnya, dalam
peraturan lalu-lintas ada ketentuan bahwa” di simpangan jalan, apabila datangnya bersamaan
waktu maka kendaraan dari kiri harus didahulukan”.
Apabila seorang pengendara dalam hal ini berbuat lain ini berbuat lain daripada apa yang
diatur itu, maka apabila perbuatannya itu mengakibatkan tabrakan. Sehingga orang lain luka
berat, maka ia dapat dikatakan karena kealpaannya mengakibatkan orang lain (Pasal. 360 (1)
K.U.H.P)
Dalam hubungan ini VOS mengemukakan, bahwa dalam delik-delik culpa sifat melawan
hukum telah tersimpul di dalam culpa itu sendiri.
Ia menyatakan antara lain “Memang culpa tidak mesti meliputi dapat dicelanya si-pelaku,
namun culpa menunjukkan kepada tidak patutnya perbuatan itu dan jika perbuatan itu tidak
bersifat melawan hukum, maka tidaklah mungkin perbuatan itu perbuatan yang abnormal, jadi
tidak mungkin ada culpa.
Dalam delik culpoos tidak mungkin diajukan alasan pembenar (rechtvaar digingsgrond).
c. Untuk adanya pemidanaan perlu adanya kekurangan hati-hati yang cukup besar, jadi harus
culpa lata dan bukanya culpa levis (kealpaan yang sangat ringan).
B. Bentuk kealpaan
Pada dasarnya orang berfikirdan berbuat secara sadar. Pada delik culpoos kesadaran sipelaku
tidak berjalan secara tepat. Karena Bentuk kealpaan dapat dibagi dalam 2 (dua bentuk) yaitu
1. Kealpaan yang disadari (bewuste schuld)
Disini sipelaku dapat menyadari tentang apa yang dilakukan beserta akibatnya, akan tetapi ia
percaya dan mengharap-harap bahwa akibatnya tidak akan terjadi
2. Kealpaan yang tidak disadari (onbewuste schuld).
Dalam hali ini si pelaku melakukan sesuatu yang tidak menyadari kemungkinan akan
timbulnya sesuatu akibat, padahal seharusnya ia dapat menduga sebelumnya.
Perbedaan itu bukanlah berarti bahwa kealpaan yang disadari itu sifatnya lebih berat dari
pada kealpaan yang tidak disadari. Kerapkali justru karena tanpa berfikir akan kemungkinan
timbulnya akibat malah terjadi akibat yang sangat berat. VAN HATTUM mengatakan, bahwa
“kealpaan yang disadari itu adalah suatu sebutan yang mudah untuk bagian kesadaran kemungkinan
(yang ada pada pelaku), yang tidak merupakan dolus eventualis”. Hemat kami perbedaan tersebut
tidak banyak artinya. Kealpaan merupakan pengertian yang normatif bukan suatu pengertian yang
menyatakan keadan (bukan feitelijk begrip). Penentuan kealpaan seseorang harus dilakukan dari luar,
harus disimpulkan dari situasi tertentu, bagaimana saharusnya si-pelaku itu berbuat.
C. Delik “pro parte dolus pro parte culpa”
Delik-delik yang di-rumuskan dalam pasal 359, 360, 188, 409 dapat disebut delik-delik
culpoos dalam arti yang sesungguhnya. Disamping itu ada delik-delik yang di dalam perumusanya
memuat unsur kesengajaan dan kealpaan sekaligus, sedang ancaman pidananya sama. Muljatno
menamakan delik-delik tersebut sebagai delik yang salah satu unsurnya diculpakan.
Misalnya:
 Pasal 480 (penadahan)
 Pasal 483, 484 (delik yang menyangkut pencetak dan penerbit).
 Pasal 287, 288, 292 (delik-delik kesusilaan).
Rumusan yang dipakai dalam delik-delik tersebut ialah “diketahui” atau “mengerti” bentuk
kesengajaan dan “sepatutnya harus di-duga” atau “seharusnya menduga bentuk kealpaan. Pada
delik-delik ini kesengajaan atau kealpaan hanya tertuju kepada salah tertuju kepada salah satu unsur
dari delik itu.
 Pada delik penadahan ditujukan kepada hal “bahwa barang yang bersangkutan diperoleh dari
kejahatan”.
 Pada delik-delik kesusilaan (pasal 287 dan pasal 288) ditujukan kepada “umur-wanita belum
lima belas tahun, atau kalau umurnya tak ternyata, bahwa belum mampu dikawin”.
 Pada delik Pasal 292 ditujukan kepada unsur “ belum cukup umur dari orang yang sama
kelamin itu”.
 Pada delik-delik Pasal 483 dan Pasal 484 ditujukan kepada unsur “pelaku/orang yang menyuruh
cetak pada saat penerbitan, tidak dapat dituntut, atau menetap diluar Indonesia.
Dalam surat dakwaan:
1. Cukup dicantumkan uraian kata-kata presis seperti apa yang dirumuskan dalam undangundang,
jadi misalnya untuk delik dalam pasal 480 : benda), yang diketahui atau sepatutnya
harus diduga, bahwa diperoleh dari kejahatan”.
2. Ada dan tidak adanya kealpaan itu harus dibuktikan dalam pemeriksaan pengadilan ditetapkan
oleh Hakim.
3. Pembuktiannya cukup secara normatif, jadi tidak dilihat apakah terdakwa mengetahui.
Asas-asas Hukum Pidana
31
Arrest Hooggerchtshof (dalam tingkat kasasi) yang membatalkan keputusan Raad van Justitie
Medan, yang membebaskan terdakwa yang dituduh melakukan “schuldheling” (pasal 480),
Hooggerechtshof (H.G.H) menyatakan bahwa wet tidak mengharuskan adanya dugaan pada
terdakwa sepatutnya harus menduga bahwa barang itu berasal dari kejahatan, dengan sama sekali
tidak menagnggap penting apakah terdakwa betul-betul mempunyai dugaan atau tidak.
Kelapaan orang lain tidak dapat meniadakan kealpaan dari terdakwa. Contoh :
1) terdakwa sebagai pengendara mobil tetap dipidana karena ia pada malam hari menabrak
gerobag yang tidak memakai lampu. Pengendara gerobag alpa, tetapi ini tidak meniadakan
kealpaan terdakwa.
2) Seorang pengemudi mobil pada pagi hari jam 03.00 melanggar sekaligus 4 orang yang sedang
tidur di tengah jalan raya. Dalam kasus inipun tidak boleh dilihat “kealpaan orang lain”, akan
tetapi tetap harus ditinjau ada dan tidak adanya kealpaan pada pengemudi mobil, apakah ia
kurang hati-hati dan kurang-menduga-duga ? bagaimana keadaan mobilnya ? kalau lampunya
kurang terang, maka ini merupakan indikasi dari kealpaannya. Apabila lampunya normal, maka
seharusnya ia dapat mengetahui orang yang tidur di jalan itu. Kalau tidak, maka ini merupakan
kealpaan.
http://www.kejaksaan.go.id/pusdiklat/uplimg/File/Asas-asas%20Hukum%20Pidana.doc
32
BAB VIII
KESALAHAN DALAM DELIK PELANGGARAN
Persoalan kesalalahan pada tindak pidana berupa pelanggaran. Pada tidak pidana berupa
kejahatan diperlukan adanya kesengajaan atau kealpaan. Dalam undang-undang unsur-unsur
dinyatakan dengan tegas atau dapat diambil dari kata kerja dalam rumusan tindak pidana itu. Dalam
rumusan tindak pidana berupa pelanggaran pada dasarnya tidak ada penyebutan tentang
kesengajaan atau kealpaan, artinya tidak disebut apakah perbuatan dilakukan dengan sengaja atau
alpa. Hal ini penting untuk hukum acara pidana, sebab kalau tidak tercantum dalam rumusan
Undang-undang, maka tidak perlu dicantumkan dalam surat tuduhan dan juga tidak perlu
dibuktikan.
Dalam hal ini berlakulah ajaran “fait materiel” (de leer an het matericle feit ajaran perbuatan
materiil) dimana menurut M.v.T. :
Pada pelanggaran hakim tidak perlu mengadakan pemeriksaan secara khusus tentang adanya
kesengajaan, bahkan adanya kealpaan juga tidak, lagi pula tidak perlu memberi keputusan tentang
hal tersebut. Soalnya apakah terdakwa berbuat/tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan
Undang-undang atau tidak.
Contoh : arrest H.R tanggal 14 Pebruari 1916 (arrest air dan susu).
Duduk perkara;
A.B., pengusaha (veehouder) menyuruh melever susu kepada para langganan. Yang mengedarkan
susu itu D, pelayan. Pada suatu ketika susu yang dilever oleh D itu ternyata tidak murni (dicampur
air). D tidak tahu menahu tentang hal itu. Pasal 303a dan 344 Peraturan Polisi Umum mengancam
dengan pidana Barang siapa melever susu dengan nama susu murni, padahal dicampur dengan
sesuatu (tidak murni). Ini merupakan tindak pidana berupa pelanggaran.
A.B. dituntut dan dalam tingkat banding dijatuhi pidana.
A.B. mengajukan kasasi, dengan alasan yang lebih kurang demikian:
a. Rechtbank Amsterdam salah menerapkan Pasal 47 W.v.S Belanda (Pasal 55 K.U.H.P), sebab telah
memutuskan secara tidak benar bahwa A.B. telah menyuruh lakukan perbuatan yang
dituduhkan, tanpa menyelidiki terlebih dahulu apakah pelaku materiil (ialah D) tidak
bertanggung-jawab atas perbuatan itu.
b. tidak terjadi persoalan apakah pelaku materiil (D) dianggap tidak berhak untuk menyelidiki
murni dan tidaknya susu yang disuruh melevernya.
c. lebih-lebih pasal 303a dan 344 tersebut mengancam dengan pidana barang siapa melever susu
yang tidak murni tanpa memandang ada kesalahan atau tidak.
Permohonan kasasi ini ditolak oleh Hooge Raad, dan terhadap alasan yang dikemukakan
oleh A.B. H.R. memberi pertimbangan antara lain sebagai berikut:
a. Telah dinyatakan terbukti bahwa penuntut kasasi (A B) telah menyuruh pelayannya (D) untuk
melever susu dengan sebutan “susu murni” padahal dicampur dengan air. Hal mana tidak
diketahui oleh D.
b. memang dalam pasal 303 tidak disebut dengan tegas bahwa orang yang melakukan perbuatan
itu harus mempunyai kesalahan (“enige schuld”), akan tetapi ini tidak dapat disimpulkan bahwa
orang yang tidak mempunyai kesalahan sama sekali (geheel gemis van schuld) peraturan ini
dapat diterapkan kepada.
c. tidak ada suatu alasanpun, terutama dalam riwayat W.v.S. yang memaksa untuk menganggap
dalam hal unsur kesalahan tidak dicantumkan dalam rumusan delik, khususnya dalam
pelanggaran, pembentuk Undang-undang menyetujui sistem, orang yang berbuat harus
dipidana yang terdapat dalam Undang-undang, sekalipun ternyata tidak ada kesalahan sama
sekali (asas : afwezigheid van alle schuld).
d. Untuk menerima sistim tersebut (dalam c), yang bertentangan dengan rasa keadilan dan asas
”tiada pidana tanpa kesalahan” yang juga dianut dalam hukum pidana kita, hal ini harus tegastegas
ternyata dalam rumusan delik.
Arrest air dan susu penting untuk perkembangan hukum pidana. Dengan arrest itu, maka:
a. ajaran “fait materiel” pada pelanggaran ditinggalkan.
b. Diakui untuk pertama kalinya oleh badan pengadilan yang tertinggi (Belanda) berlaku asas
”tiada pidana tanpa kesalahan” (geen straf zonder schuld).
Asas-asas Hukum Pidana
33
BAB IX
PIDANA DAN PEMIDANAAN (HUKUM PENITENSIER)
Sebelum membahas materi ini terlebih dahulu kita memahami apa yang dimaksud dengan
pidana dan pemidanaan. Pidana merupakan nestapa/derita yang dijatuhkan dengan sengaja oleh
negara (melalui pengadilan) dimana nestapa itu dikenakan pada seseorang yang secara sah telah
melanggar hukum pidana dan nestapa itu dijatuhkan melalui proses peradilan pidana. Adapun
Proses Peradilan Pidana (the criminal) justice process) merupakan struktur, fungsi, dan proses
pengambilan keputusan oleh sejumlah lembaga (kepolisian, kejaksaan,pengadilan & lembaga
pemasyarakatan) yang berkenaan dengan penanganan & pengadilan kejahatan dan pelaku kejahatan.
Pemidanaan merupakan penjatuhan pidana/sentencing sebagai upaya yang sah yang
dilandasi oleh hukum untuk mengenakan nestapa penderitaan pada seseorang yang melalui proses
peradilan pidana terbukti secara sah dn meyakinkan bersalah melakukan suatu tindak pidana. Jadi
pidana berbicara mengenai hukumannya dan pemidanaan berbicara mengenai proses penjatuhan
hukuman itu sendiri.
Pidana perlu dijatuhkan pada seseorang yang melakukan pelanggaran pidana karena pidana
juga berfungsi sebagai pranata sosial. Dalam hal ini pidana sebagai bagian dari reaksi sosial manakala
terjadi pelanggaran terhadap norma-norma yang berlaku, yakni norma yang mencerminkan nilai dan
struktur masyarakat yang merupakan reafirmasi simbolis atas pelanggaran terhadap “hati nurani
bersama“ sebagai bentuk ketidaksetujuan terhadap perilaku tertentu. Bentuknya berupa konsekwensi
yang menderitakan, atau setidaknya tidak menyenangkan.
Ilmu yang mempelajari pidana dan pemidanaan dinamakan Hukum Penitensier/Hukum
Sanksi. Hukum Penitensier adalah segala peraturan positif mengenai sistem hukuman (strafstelsel)
dan sistem tindakan (matregelstelsel), menurut Utrecht, hukum penitensier ini merupakan sebagaian
dari hukuman pidana positif yaitu bagian yang menentukan:
1. Jenis sanksi terhadap suatu pelanggaran dalam hal ini terhadap KUHP dan sumber-sumber
hukum pidana lainnya (UU pidana yang memuat sanksi pidana dan UU non pidana yang
memuat sanksi pidana);
2. Beratnya sanksi itu;
3. Lamanya sanksi itu dijalani;
4. Cara sanksi itu dijalankan;dan
5. Tempat sanksi itu dijalankan.
Sanksi berupa pidana maupun tindakan inilah yang akan dipelajari oleh hukum penitensier.
A. ISTILAH
Ada beberapa istilah yang digunakan untuk materi ini, al: Hukum Penitensier, Hukum
Sanksi, Straf, Hukuman, Punishment, dan Jinayah.
Menurut beberapa ahli hukum pidana lain, hukuman, menurut pendapat Moeljatno: lebih
tepat ”pidana” untuk menerjemahkan straf. Sudarto juga berpendapat demikian. Sedangkan R.
Soesilo mendefinisikan pidana / hukum sebagai perasaan tidak enak / sengsara yang dijatuhkan oleh
Hakim dengan vonis kepada orang yang telah melanggar UU Hukum Pidana.
Menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief, unsur-unsur atau ciri-ciri pidana meliputi:
1. Suatu pengenaan penderitaan/nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan;
2. Diberikan dengan sengaja oleh badan yang memiliki kekuasaan (berwenang);
3. Dikenakan pada seseorang penanggung jawab peristiwa pidana menurut UU ( orang memenuhi
rumusan delik/pasal).
B. SEJARAH PIDANA DAN PEMIDANAAN DI INDONESIA
Pidana dan pemidanaan di Indonesia dimulai sejak Wetboek van Strafrecht (Wvs)
diundangkan yaitu tahun 1915 dan berlaku di indonesia berdasarkan UU No. 1/1946 tentang KUHP
(berdasarkan atas konkordansi). Jenis-jenis hukuman yang dapat dijatuhkan oleh Pengadilan
berdasarkan plakat tgl. 22 April 1808, al:
1. Dibakar hidup, terikat pada suatu tiang (hanya untuk pelaku pembakar/pembunuh)
2. Dimatikan dengan suatu keris
3. Dicap bakar.
4. Dipukul, dipukul dengan rantai (pidana badan/corporal punishment)
5. Ditahan/dimasukkan dalam penjara
6. Kerja paksa pada pekerjaan-pekerjaan umum.
Menurut Utrecht dan R.Soesilo, hukum pidana merupakan suatu sanksi yang bersifat
istimewa: terkadang dikatakan melanggar HAM karena melakukan perampasan terhadap harta
kekayaan (pidana denda), pembatasan kebebasan bergerak/kemerdekaan orang (pidana
http://www.kejaksaan.go.id/pusdiklat/uplimg/File/Asas-asas%20Hukum%20Pidana.doc
34
kurungan/penjara) dan perampasan terhadap nyawa (hukuman mati). Di samping itu hukum pidana
merupakan ultimum remedium (senjata pamungkas, jalan terakhir, jalan satu-satunya/tiada jalan lain).
Selanjutnya kita akan membahas siapakah pihak yang berhak menuntut, menjatuhkan, dan
memaksa pelaku untuk menjalankan pidana. Beysens seperti dikutip oleh Utrecht menyatakan pada
dasarnya negaralah yang berhak, karena perbuatan tersebut bertentangan dengan tata tertib negara
(dilihat dari sudut obyektif), dalam hal ini KUHP merupakan peraturan yang dibentuk oleh negara
dan perbuatannya merupakan tindakan yang dapat dipertanggung jawabkan oleh pelaku (dilihat dari
sudut subyektif);
Utrecht juga menambahkan bahwa negaralah yang berhak melakukan hal tersebut,
mengingat;
1. Negara sebagai organisasi sosial tertinggi oleh karena itu sangat logis jika negara diberi tugas
mempertahankan tata tertib masyarakat;
2. Negara sebagai satu-satunya alat yang dapat menjamin kepastian hukum.
C. Teori-Teori yang berkaitan dengan Pemidanaan Tujuan Pemidanaan Menurut Doktrin
1. Teori Absolut/Retributif/Pembalasan (lex talionis), para penganutnya antara lain E. Kant,
Hegel,Leo Polak, Mereka berpandapat bahwa hukum adalah sesuatu yang harus ada sebagai
konsekwensi dilakukannya kejahatan dengan demikian orang yang salah harus dihukum.
Menurut Leo Polak (aliran retributif), hukuman harus memenuhi 3 syarat:
a. Perbuatan tersebut dapat dicela (melanggar etika)
b. Tidak bboleh dengan maksud prevensi (melanggar etika)
c. Beratnya hukuman seimbang dengan beratnya delik.
2. Teori relatif / tujuan (utilitarian), menyatakan bahwa penjatuhkan hukuman harus memiliki
tujuan tertentu, bukan hanya sekedar sebagai pembalasan. Hukuman pada umumnya bersifat
menakutkan, sehingga seyogyanya hukuman bersifat memperbaiki/merehabilitasi karena
pelaku kejahatan adalah orang yang “sakit moral” sehingga harus diobati. Jadi hukumanya lebih
ditekankan pada treatment dan pembinaan yang disebut juga dengan model medis.
Tujuan lain yang hendak dicapai dapat berupa upaya prevensi, jadi hukuman dijatuhkan untuk
pencegahan yakni ditujukan pada masyarakat luas sebagai contoh pada masyarakat agar tidak
meniru perbuatan atau kejahatan yang telah dilakukan (prevensi umum) dan ditujukan kepada
si pelaku sendiri, supaya jera/kapok, tidak mengulangi perbuatan/kejahatan serupa; atau
kejahatan lain (prevensi khusus). Tujuan yang lain adalah memberikan perlindungan agar orang
lain/masyarakat pada umumnya terlindung, tidak disakiti, tidak merasa takut dan tidak
mengalami kejahatan.
3. Teori Gabungan, merupakan gabungan dari teori-teori sebelumnya. Sehingga pidana bertujuan
untuk:
 Pembalasan, membuat pelaku menderita
 Upaya prevensi, mencegah terjadinya tindak pidana
 Merehabilitasi Pelaku
 Melindungi Masyarakat
Saat ini sedang berkembang apa yang disebut sebagai Restorative Justice sebagai koreksi atas
Retributive justice. Restorative Justice (keadilan yang merestorasi) secara umum bertujuan untuk
membuat pelaku mengembalikan keadaan kepada kondisi semula; Keadilan yang bukan saja
menjatuhkan sanksi yang seimbang bagi pelaku namun juga memperhatikan keadilan bagi korban.
Pemahaman ini telah diakomodir oleh R-KUHP tahun 2005.
D. Tujuan Pemidanaan berdasarkan Pasal 54 R-KUHP tahun 2005:
Pasal 54
(1) Pemidanaan bertujuan:
a. mencegah dilakukanya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman
masyarakat;
b. memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang
baik dan berguna;
c. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan,
dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;
d. membebaskan rasa bersalah pada terpidana dan;
e. memaafkan terpidana.
(2) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia .
Dalam pasal 55 R-KUHP juga terdapat pedoman pemidanaan yang belum diatur dalam UU kita.
Pasal 55;
(1) Dalam pemidanaan wajib dipertimbangkan:
a. Kesalahan pembuat tindak pidana;
b. Motif dan tujuan melakukan tindak pidana;
Asas-asas Hukum Pidana
35
c. Sikap batin pembuat tindak pidana;
d. Apakah tindak pidana dilakukan dengan berencana;
e. Cara melakukan tindak pidana;
f. Sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana;
g. Riwayat hidup dan keadaan sosial dan ekonomi pembuat tindak pidana
h. Pengaruh pidana terhadap massa depan pembuat tindak pidana;
i. Pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban;
j. Pemaafan dari korban dan/atau keluarganya dan /atau;
k. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan.
(2) Rintangan perbuatan, keadaan pribadi pembuat, atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan
atau yang terjadi kemudian, dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan
pidana atau mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan.
Dari aturan diatas dapat dicermati bahwa dalam R-KUHP menganut teori prevensi,
rehabilitasi dan restotaif dalam tujuan pemidanaannya. Teori prevensi umum tercermin dari tujuan
pemidanaan mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi
pengayoman kepada masyarakat. Teori rehabilitasi dan resosialisasi tergambar dari tujuan
pemidanaan untuk memasyarakatkan terpidana, dengan melakukan pembinaan sehingga menjadi
orang yang baik dan berguna. Dan restoratif terdapat dalam tujuan pemidanaan yang bertujuan
untuk menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan
mendatangkan rasa damai dalam damai dalam masyarakat; membebaskan rasa bersalah pada
terpidana; dan memaafkan terpidana.
E. Jenis-jenis Hukuman/Pidana Menurut Pasal 10 KUHP:
1. Hukuman Pokok:
a. Hukuman mati
b. Penjara (sementara waktu atau seumur hidup)
c. Kurungan
d. Denda (UU No. 1/1960, dikonversi: dikali 15)
e. Tutupan (UU No.20/1946)
2. Hukuman Tambahan:
a. Pencabutan beberapa hak tertentu
b. Perampasan barang tertentu
c. pengumuman keputusan hakim
F. Jenis-jenis Hukuman / Pidana Menurut R-KUHP:
Pasal 65
(1) Pidana pokok terdiri atas:
a. pidana penjara;
b. pidana tutupan
c. pidana pengawasan
d. pidana denda; dan
e. pidana kerja sosial.
(2) Urutan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menentukan berat ringannya pidana
Pasal 66
Pidana mati merupakan pidana pokok yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif.
Pasal 67
(1) Pidana tambahan terdiri atas:
a. pencabutan hak tertentu;
b. perampasan barang tertentu dan/atau tagihan;
c. pengumuman putusan hakim;
d. pembayaran ganti kerugian; dan
e. pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup
dalam masyarakat.
(2) Pidana tambahan dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok, sebagai pidana yang
berdiri sendiri atau dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana tambahan lain.
(3) Pidana tambahan dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok, sebagai pidana yang
berdiri sendiri atau dapat dijatuhkan walaupun tidak tercantum dalam perumusan tindak
pidana.
(4) Pidana tambahan untuk percobaan dan pembantuan adalah sama dengan pidana tambahan
untuk pidan pidananya.
http://www.kejaksaan.go.id/pusdiklat/uplimg/File/Asas-asas%20Hukum%20Pidana.doc
36
G. Uraian tentang jenis-jenis hukuman menurut KUHP:
1. Hukuman/pidana Mati (diatur dalam pasal 11 jo Pasal 10 KUHP)
Tindak Pidana yang diancam dengan hukuman mati :
a. Dalam KUHP :
1) Pembunuhan berencana
2) Kejahatan terhadap keamanan negara
3) Pencurian dengan pemberatan
4) Pemerasan dengan pemberatan
5) Pembajakan di laut dengan pemberatan.
b. Diluar KUHP;
1) Terorisme
2) Narkoba
3) Korupsi
4) Pelanggaran HAM Berat; Kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida yang dilakukan
secara meluas dan sistematis.
Hukuman mati dijalankan oleh algojo di tiang gantungan (ps.11 KUHP), tapi berdasarkan
Penpres no. 2/1964 : ditembak dibagian jantung dan/atau kepala dan tidak dilakukan di muka umum
(rahasia, baik waktu dan tempat eksekusinya).
Hukuman mati tidak dapat dijatuhkan pada anak; pidana mati tidak dapat dilakukan pada
orang yang setelah dihukum menjadi gila dan wanita hamil.
Eksekusi baru dapat dilakukan jika orang gila itu sembuh dan wanita tersebut telah
melahirkan.
2. Hukuman/Pidana Penjara (Menurut pasal-pasal dalam KUHP dan UU No. 12/1995 tentang
Pemasyarakatan)
Pasal 12 KUHP:
Hukuman penjara lamanya seumur hidup atau sementara/pidana penjara dilakukan dalam jangka
waktu tertentu (min 1 hari-selama-lamanya 15 tahun atau dapat dijatuhkan selama 20 thn, tapi tidak
boleh lebih dari 20 thn). Pidana penjara dilakukan di penjara (prison/jail), di indonesia disebut
sabagai Lembaga Pemasyarakatan (LP/lapas). Untuk pemulihan kembali hubungan antara
narapidana dan masyarakat, Penghuninya disebut narapaidana/napi (inmates): Warga Binaan
Pemasyarakatan (berdasarkan UU No.12/1995).
Pembagian Sistem Penjara – gevangenisstelsel, menurut Utrecht :
a. Sistem Pennsylvania, AS : para hukuman terus menerus ditutup sendiri-sendiri dalam satu
kamar sel. Terhukum hanya melakukan kontak dengan penjaga sel/sipir penjara. Dilakukan
peringatan: terhukum diperkenankan melakukan pekerjaan tangan dan secara terbatas dapat
menerima tamu, tapi ia tetap dilarang bergaul dengan terhukum lain
b. Sistem Auburn, New York, AS, disebut juga sebagai silent system, di mana para hukuman pada
siang hari disuruh bekerja bersama-sama tapi tidak boleh saling bicara, malam hari kembali ke
sel.
c. Sistem Irlandia (Irish System) yang berasal dr mark system, menggunakan penilaian. Para
hukuman mula-mula ditempatkan dalam ruang tertutup terus menerus, dalam hal ini diterapkan
hukum yang keras. Terhukum diberikan waktu untuk merenung, menyesali perbuatannya dan
diharapkan ia dapat memperbaiki diri. Kalau dibiarkan bergaul dengan napi lain dikhawatirkan
bisa saja menjadi bertambah jahat. Jika berkelakuan baik, maka hukumannya diperingan : mulai
dimasyarakatkan dan dapat diberikan the rise of feformatory (pelepasan bersyarat), publik work
prison, dan ticket to leave. Kemudian diperkenankan kerja sama-sama, lalu secara bertahap
diberi kelonggaran untuk bergaul satu sama lain. Pelepasan bersyarat dapat dilakukan jika telah
menjalani dari ¾ hukumannya.
d. Sistem Elmira (NY, AS), diperuntukan bagi terhukum yang berusia tidak lebih dari 30 thn.
Disebut sebagai penjara reformatory yakni tempat untuk memperbaiki orang menjadi warga
masyarakat yang berguna. Mirip dengan sistem Irlandia namun titik berat lebih pada usahausaha
untuk memperbaiki si pelaku, jadi terpidana diberikan pengajaran, pendidikan dan
pekerjaan yang nantinya bermanfaat bagi dirinya dan masyarakat.
e. Sistem Borstal (LONDON, UK). Dalam penerapannya ada ketentuan khusus dari Menteri
Kehakiman (Minister of justice). Khusus untuk pelaku yang masih muda yaitu mereka yang
berusia kurang dari 19 th. Seperti LP Pemuda dan LP Anak laki-laki di Tangerang, Banten.
f. Sistem Osborne (NY,US). Memilih ‘BOS’ – mandor dr kalangan napi sendiri untuk mengatur
napi : Tamping/building tender.
Di Indonesia diterapkan ke 5 nya :
 Beberapa hukuman dimasukkan dalam satu sel atau 1 orang/1 sel. Minimum
security/maximum security/Super Maximum Security (SMS)
Asas-asas Hukum Pidana
37
 Napi pada umumnya boleh keluar dari sel pada pagi dan/atau siang hari, sore masuk sel sampai
besok pagi. Ada jadwal kegiatannya.
 Jika melakukan pelanggaran berat atau berkelakuan tidak baik ataupun melanggar aturan maka
dimasukkan dalam sel sendirian, disebut juga dengan tutupan sunyi.
 Boleh bekerja di luar sel secara bersama-sama = kerja di kebon/taman, masak di dapur,
bersihkan kolam, kerja di bengkel LP untuk buat kerajinan/furniture, menjahit, menyulam,
merangkai bunga dsb. Boleh belajar/sekolah dlm LP, boleh membaca, dengar radio/nonton TV
olah raga dsb. Antara warga binaan boleh saling berinteraksi sesuai dengan jam yang telah
ditentukan.
 Dapat diberikan pelepasan bersyarat PB- reclassering), jika telah menempuh 2/3 dr hukumannya
(pasal 15 KUHP). Selain itu terdapat juga ketentuan tentang pidana percobaan seperti yang
diatur dalam Pasal 14a KUHP.
 Meskipun hukuman penjara dilakukan bersama-sama tapi tetap ada pemisahan mutlak :
 Laki-laki dan perempuan
 Orang dewasa dan anak di bawah umur
 Orang yang dihukum/ditahan – orang yang dihukum karena upaya preventif
 Orang militer dan orang sipil
3. Pidana kurungan
Dilaksanakan di penjara, tapi lebih bebas, ada hak pistole yaitu tersedia fasilitas yang lebih
dari terpidana penjara.
4. Pidana Denda (Pasal 30 ayat (1) KUHP dan UU No. 1/1960)
Dengan adanya pidana denda seringkali penerapan Hukum Pidana menjadi kabur karena
pidana denda dianggap bukan pidana karena pelaku tadi ada di LP.
5. Pidana Tutupan (UU No.20/1946)
Pidana yang dijatuhkan oleh Hakim dengan mempertimbangkan bahwa perbuatan yang
dilakukan didasari oleh suatu motivasi yang patut dihormati/dihargai. Tempatnya di penjara, namun
diberikan fasilitas yang lebih baik karena terpidana boleh membawa dan menikmati buku bacaan dan
radio/tape. Untuk hukuman ini terdapat 1 yurisprudensi di Jogja.
http://www.kejaksaan.go.id/pusdiklat/uplimg/File/Asas-asas%20Hukum%20Pidana.doc
38
BAB X
PERCOBAAN (POGING, ATTEMPT)
A. PENGERTIAN
Di dalam bab IX buku I KUHP (tentang arti beberapa istilah yang dipakai dalam kitab undangundang),
tidak dijumpai rumusan arti atau definisi mengenai apa yang dimaksud dengan istilah
“percobaan”. KUHP hanya merumuskan batasan mengenai kapan dikatakan adanya percobaan untuk
melakukan kejahatan yang dapat dipidana, yaitu pasal 53 (1) yang menyatakan:
“Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan,
dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri”.
Redaksi pasal ini jelas tidak merupakan suatu definisi, tetapi hanya merumuskan syaratsyarat
atau unsur-unsur yang menjadi batas antara percobaan yang dapat dipidana dan yang tidak
dapat dipidana.
Percobaan yang dapat dipidana menurut system KUHP bukanlah percobaan terhadap semua
jenis tindak pidana. Yang dapat dipidana hanyalah percobaan terhadap tindak pidana yang berupa
“kejahatan” saja, sedangkan percobaan terhadap pelanggaran tidak dipidana sebagimana ditentukan
dalam pasal 54 KUHP. Pada pasal 54 KUHP memperlihatkan adanya pemikiran dari para
perumusnya bahwa delik pelanggaran bersifat lebih ringan dari pada kejahatan. Oleh karena itu
percobaan pun terlalu rendah dari KUHP. Disamping itu perlu dicatat bahwa ketentuan umum dalam
pasal 53 (1) diatas tidak berarti bahwa percobaan terhadap semua kejahatan dapat dipidana.
Pengecualian tersebut misalnya :
 Percobaan duel / perkelahian tanding (pasal 184 ayat 5);
 Percobaan penganiayaan ringan terhadap hewan (pasal 302 ayat 4);
 Percobaan penganiayaan biasa (pasal 351 ayat 5);
 Percobaan penganiayaan ringan (pasal 352 ayat 2);
B. SIFAT LEMBAGA PERCOBAAN
Apakah percobaan itu merupakan suatu bentuk delik khusus yang berdiri sendiri ataukah
hanya merupakan suatu delik yang tidak sempurna? Mengenai sifat dari percobaan ini terdapat dua
pandangan :
1. Percobaan dipandang sebagai Strafausdehnungsgrund (dasar/alasan perluasan pertanggungjawaban
pidana).
Menurut pandangan ini, seseorang yang melakukan percobaan untuk melakukan suatu tindak
pidana meskipin tidak memenuhi semua unsur delik, tetap dapat dipidana apabila telah
memenuhi rumusan pasal 53 KUHP. Jadi sifat percobaan adalah untuk memperluas dapat
dipidananya orang, bukan memperluas rumusan-rumusan delik. Dengan demikian menurut
pandangan ini, percobaan tidak dipandang sebagai jenis atau bentuk delik yang tersendiri
(delictum sui generis) tetapi dipandang sebagai bentuk delik yang tidak sempurna (onvolkomen
dekictsvorm). Termasuk dalam pandangan pertama ini ialah : Prof. Ny. Hazewinkel-Suringa dan
Porf. Oemar Seno Adji.
2. Percobaan dipandang sebagai Tatbestandausdehnungsgrund (perluasan delik).
Menurut pandangan ini, percobaan melakukan sesuatu tindak pidana merupakan satu kesatuan
yang bulat dan lengkap. Percobaan bukanlah bentuk delik yang tidak sempurna, tetapi
merupakan delik yang sempurna hanya dalam bentuk yang khusus/istimewa. Jadi merupakan
delik tersendiri (delictum sui generis). Termasuk dalam pandangan kedua ini ialah Prof. Pompe
dan Prof. Moelyatno.
Alasan Prof. Moelyatno memasukkan percobaan sebagai delik tersendiri, ialah :
a. Pada dasarnya seseorang itu dipidana karena melakukan suatu delik;
b. Dalam konsep “perbuatan pidana” (pandangan dualistis) ukuran suatu delik didasarkan pada
pokok pikiran adanya sifat berbahayanya perbuatan itu sendiri bagi keselamatan masyarakat;
c. Dalam hukum adat tidak dikenal percobaan sebagai bentuk delik yang tidak sempurna
(onvolkomen delictsvorm), yang ada hanya delik selesai.
d. Dalam KUHP ada beberapa perbuatan yang dipandang sebagai delik yang berdiri sendiri dan
merupakan delik selesai, walaupun pelaksanaan dari perbuatan itu sebenarnya belum selesai,
jadi baru merupakan percobaan. Misalnya delik-delik maker (aanslagdelicten) dalam pasal 104,
106, dan 107 KUHP.
Mengenai contoh yang dikemukakan Prof Moelyatno terakhir ini, dapat pula misalnya
dikemukakan contoh adanya pasal 163 bis. Menurut pasal ini percobaan untuk melakukan
penganjuran (poging tot uitloking) atau yang biasa juga disebut penganjuran yang gagal (mislukte uitlokking)
tetap dapat dipidana, jadi pandangan sebagai delik yang berdiri sendiri.
Mengenai adanya dua pandangan tersebut diatas. Prof. Mulyatno berpendapat bahwa
pandangan pertama sesuai dengan alam atau masyarakat individual karena yang diutamakan adalah
strafbaarheid van de person (sifat dipidananya orang); sedangkan pandangan yang kedua sesuai dengan
Asas-asas Hukum Pidana
39
alam atau masyarakat kita sekarang karena yang diutamakan adalah perbuatan yang tak boleh
dilakukan.
C. DASAR PATUT DIPIDANANYA PERCOBAAN
Mengenai dasar pemidanaan terhadap percobaan ini, terdapat beberapa teori sbb:
1. Teori Subyektif
Menurut teori ini, dasar patut dipidananya percobaan terletak pada sikap batin atau watak
yang berbahaya dari si pembuat. Termasuk penganut teori ini ialah Van Hamel.
2. Teori Obyektif
Menurut teori ini, dasar patut dipidananya percobaan terletak pada sifat berbahayanya
perbuatan yang dilakukan oleh si pembuat. Teori ini terbagi dua, yaitu :
a. Teori obyektif-formil. Yang menitik beratkan sifat berbahayanya perbuatan itu terhadap tata
hukum.
b. Teori obyektif-materiil. Yang menitik beratkan sifat berbahayanya perbuatan itu terhadap
kepentingan / benda hukum. Penganut teori ini antara lain Simons.
3. Teori Campuran
Teori ini melihat dasar patut dipidananya percobaan dari dua segi, yaitu : sikap batin pembuat
yang berbahaya (segi subyektif) dan juga sifat berbahayanya perbuatan (segi obyektif). Termasuk
dalam teori ini ialah pendapat Langemeyer dan Jonkers.
Namun karena dalam kenyataanya, pelaksanaan dari teori ini tidak mudah, mereka nampaknya
lebih cendrung pada teori subyektif.
Prof. Moelyatno dapat dikategorikan sebagai penganut teori campuran. Menurut beliau rumusan
delik percobaan dalam pasal 53 KUHP mengandung dua inti yaitu : yang subyektif (niat untuk
melakukan kejahatan tertentu) dan yang obyektif (kejahatan tersebut telah mulai dilaksanakan tetapi
tidak selesai). Dengan demikian menurut beliau, dalam percobaan tidak mungkin dipilih salah
satu diantara teori obyektif dan teori subyektif karena jika demikian berarti menyalahi dua inti
dari delik percobaan itu; ukurannya harus mencakup dua criteria tersebut (subyektif dan
obyektif). Di samping itu beliau mengatakan bahwa baik teori subyektif maupun obyektif,
apabila dipakai secara murni akan membawa kepada ketidak adilan.
D. UNSUR-UNSUR PERCOBAAN
Dari rumusan pasal 53 (1) KUHP diatas jelas terlihat bahwa unsur-unsur percobaan ialah:
1. Niat
Kebanyakan para sarjana berpendapat bahwa unsur niat sama dengan sengaja dalam segala
tingkatan/coraknya. Catatan Prof. Moelyatno terhadap unsur niat:
a. Niat jangan disamakan dengan kesenjangan, tetapi niat secara potensiil dapat berubah menjadi
kesenjangan apabila sudah ditunaikan menjadi perbuatan yang dituju; dalam hal semua
perbuatan yang diperlukan untuk kejahatan telah dilakukan, tetapi akibat yang dilarang tidak
timbul (percobaan selesai/voltooidc poging), disitu niat 100% menjadi kesengajaan, sama kalau
mengahadapi delik selesai.
b. Tetapi kalau belum semua ditunaikan menjadi perbuatan maka niat masih ada dan merupakan
sikap batin yang membari arah kepada perbuatan, yaitu subjectieve onrechtselement.
c. Oleh karena itu niat tidak sama dan tidak bisa disamakan dengan kesengajaan, maka isinya
niat jangan diambilkan dari isinya kesengajaan apabila kejahatan timbul; untuk ini diperlukan
pembuktian tersendiri bahwa isi yang tertentu tadi sudah ada sejak niat belum ditunakan jadi
perbuatan.
Dari delik percobaan dapat mempunyai dua arti :
a. Dalam hal percobaan selesai (percobaan lengkap/voltoo-ide poging/completed attempt), niat sama
dengan kesengajaan;
b. Dalam hal percobaan tertunda (percobaan terhenti atau tidak lengkap/geschorste poging/incompleted
attempt), niat hanya merupakan unsur sifat melawan hukum yang subyektif (subyektif
onrechtselement).
Dikatakan ada “percobaan selesai” apabila terdakwa telah melakukan semua perbuatan yang
diperlukan untuk terjadinya kejahatan, tetapi akibat yang terlarang tidak terjadi;
Misal : A bermaksud membunuh B dengan pistol, Picu (trekker) pistol telah ditarik, tetapi
ternyata pistol tersebut tidak meletus atau tembakan tidak mengenai sasaran. Dalam hal ini, menurut
Moelyatno, niat sudah berubah menjadi kesengajaan karena telah diwujudkan dalam bentuk
perbuatan.
Tetapi apabila dalam contoh diatas, perbuatan yang diperlukan untuk terjadinya kejahatan
belum dilakukan (misal : picu belum ditarik) sehingga akibat yang terlarang juga belum ada maka
dalam hal demikian dikatakan ada “percobaan tidak selesai/tertunda”. Menurut Moelyatno, dalam hal ini
http://www.kejaksaan.go.id/pusdiklat/uplimg/File/Asas-asas%20Hukum%20Pidana.doc
40
maka niat yang belum diwujudkan sebagai perbuatan (belum ditunaikan keluar) masih tetap menjadi
niat yaitu baru merupakan sikap batin yang mengarah kepada suatu perbuatan yang melawan
hukum.
Dalam hal niat telah berubah menjadi kesengajaan, Prof. Moelyatno setuju dengan pendapat
yang luas bahwa hal itu meliputi juga kesenjangan sebagai keinsyafan kemungkinan.
2. Ada permulaan pelaksanaan
Unsur kedua ini, merupakan persoalan pokok dalam percobaan yang cukup sulit karena baik
secara teori maupun praktek selalu dipersoalkan batas antara perbuatan persiapan
(voorbereidingshandeling) dan perbuatan pelaksanaan (uitvoeringshandeling). Dalam memecahkan
masalah ini para sarjana menghubungkannya dengan teori atau dasar-dasar patut dipidananya
percobaan. Bertolak dari pandangan atau teori percobaan yang subyektif, VAN HAMEL berpendapat
bahwa dikatakan ada perbuatan pelaksanaan apabila dilihat dari perbuatan yang telah dilakukan
telah ternyata adanya kepastian niat untuk melakukan kejahatan. Jadi yang dipentingkan atau yang
dijadikan ukuran oleh VAN HAMEL ialah ternyata adanya sikap batin yang jahat dan berbahaya dari
si pembuat. Ukuran demikian menurut VAN HAMEL sesuai dengan ajaran hukum pidana yang lebih
baru yang bertujuan memberantas kejahatan sampai ke akar-akarnya.
Bertolak dari pandangan atau teori percobaan yang obyektif materiil, SIMIONS berpendapat
sbb :
a. Pada delik formil, perbuatan pelaksanaan ada apabila telah dimulai perbuatan yang disebut
dalam rumusan delik;
b. Pada delik materiil, perbuatan pelaksanaan ada pabila telah dimulai/dilakukan perbuatan yang
menurut sifatnya langsung dapat menimbulkan akibat yang dilarang oleh undang-undang tanpa
mensyaratkan adanya perbuatan lain.
Contoh untuk delik formil :
A bermaksud melakukan pencurian dirumah B untuk melaksanakan aksinya, A telah
mempersipkan segala sesuatu peralatan untuk mencuri, kemudian pada malam hari ia mendatangi
rumah B. Sesampainya di rumah B, ia mematikan lampu teras, melepas kaca jendela dan baru saja A
masuk rumah lewat jendela itu ia tertangkap.
Apabila digunakan ukuran Van Hamel, maka dalam hal ini dikatakan sudah ada perbuatan
pelaksanaan, tetapi menurut ukuran Simons baru merupakan perbuatan persiapan, karena belum
mulai melakukan perbuatan seperti yang disebut dalam rumusan delik (pencurian : pasal 362 KUHP)
yaitu “ mengambil barang “. Apabila A sudah mengambil barang dan pada saat itu ketahuan dan
tertangkap, barulah dikatakan pada saat itu A telah melakukan perbuatan pelaksanaan yang oleh
karenanya dapat dituntut telah melakukan percobaan pencurian.
Contoh untuk delik materiil :
A bermaksud membunuh B dengan meledakkan mobil yang dikendarainya dengan dinamit
di suatu tempat yang dilalui B. A telah mempersiapkan dinamit dengan segala peralatan yang
diperlukan dengan rapid an menunggu di samping saklar sampai B lewat ditempat itu. Apabila pada
saat menunggu itu, gerak gerik A dicurigai dan akhirnya ditangkap, maka menurut ukuran Simons
perbuatan A belum merupakan perbuatan pelaksanaan tetapi baru perbuatan persiapan, karena
untuk meledakkan dinamit itu masih diperlukan perbuatan lain yaitu mengotakkan/menekan
saklarnya.
Dalam menentukan adanya permulaan/perbuatan pelaksanaan dalam delik percobaan Prof
Moelyatno berpendapat bahwa ada dua factor yang harus diperhatikan, yaitu :
a. Sifat atau inti dari delik percobaan, dan
b. Sifat atau inti dari delik pada umumnya
Mengingat kedua factor tersebut, maka menurut beliau perbuatan pelaksanaan harus
memenuhi 3 syarat yaitu :
a. Secara Obyektif, apa yang telah dilakukan terdakwa harus mendekatkan kepada delik/kejahatn
yang dituju atau dengan kata lain, harus mengandung potensi untuk mewujudkan delik tersebut;
b. Secara Subyektif, dipandang dari sudut niat, harus tidak ada keraguan lagi bahwa yang telah
dilakukan oleh terdakwa itu ditujukan atau diarahkan pada delik/kejahatan yang tertentu tadi;
c. Bahwa apa yang telah dilakukan oleh terdakwa itu merupakan perbuatan yang bersifat melawan
hukum.
E. PERCOBAAN DALAM BEBERAPA YURISPRUDENSI
Yurispridensi yang terkenal ialah Arrest HR tahun 1934 tentang Eindhoven.
Kasus Posisi : H dituduh hendak membakar rumah R (dengan persetujuan R).
Pada malam yang telah ditentukan H masuk kerumah R, menaruh pakaian dan barang-barang yang
mudah terbakar di tiap kamar, yang semuanya dihubungkan satu sama lain dengan sumbu yang
akhirnya dihubungkan pada kompor gas yang mengeluarkan api jika ditembakkan. Trekker (penarik
pintol gas) diikatkan dengan tali dan melalui jendela, ujungnya digantungkan di luar rumah yang
terletak di pinggir jalan kecil. Pakaian-pakaian itu disiram bensin dan jika orang berjalan di tepi jalan
Asas-asas Hukum Pidana
41
menarik talinya maka pistol gas mengeluarkan api dan menyalakan kompor gas dan selanjutnya akan
merata keseluruh rumah. Setelah pemasangan pistol dan tali itu selesai, H menyingkirkan bendabenda
ke tempat lain. Sementara itu, karena tertarik bau bensin banyak orang berpendapat di dekat
tali itu, sehingga H tak mugkin menyelesaikan maksudnya.
Terhadap kasus tersebut peradilan (gerechtshop) di Her-togenbosch menyatakan bahwa
perbuatan H adalah perbuatan permulaan pelaksanaan dan dijatuhi pidana 4 tahun penjara karena
melanggar pasal 53 jo 187 KUHP.
H mengajukan kasasi dengan alasan bahwa Hof telah salah menafsirkan pasal 53 KUHP dan
mengatakan bahwa apa yang dilakukannya baru merupakan perbuatan persiapan. Jaksa Agung
Muda BEISER menyimpulkan bahwa perbuatan H baru merupakan perbuatan persiapan karena
belum nyata-nyata merupakan pelaksanaan untuk melakukan pembakaran.
Senada dengan konklusi Beiser, HOGE RAAD berpendapat bahwa perbuatan H baru
merupakan perbuatan persiapan, karena belum merupakan perbuatan yang sangat diperlukan untuk
pembakaran yang telah diniatkan, ialah yang tidak dapat tidak menuju kearah dan langsung
berhubungan dengan kejahatan yang dituju dan juga menurut pengalaman nyata-nyata menuju
pembakaran, tanpa sesuatu perbuatan lain dari si pembuat. Atas dasar alasan ini HR membatalkan
putusan Hof dan H dilepaskan dari segala tuntutan.
Apabila kasus dan putusan pengadilan di atas dihubungkan pendapat para Sarjana yang
telah dikemukakan di atas, maka terlihat bahwa :
 Konklusi Beiser dan terutama pendapat HR, lebih cocok dengan teori atau pendapat Simons
(Teori Obyektif Materiil);
 Putusan Hof, lebih sesuai dengan teori atau pendapat Duynstee (Teori Obyetif Formil)
Terhadap putusan HR tersebut, DUYNSTEE sendiri menulis bahwa menurut pendapatnya
terdakwa H telah mulai dengan perbuatan pelaksanaan pembakaran. Alasan yang dikemukakannya
ialah :
a. Semua perbuatan terdakwa (H) saling berhubungan dan memenuhi rumusan delik;
b. Jika HR menganggap perbuatan pelaksanaan yaitu perbuatan yang menimbulkan kejahatan
(akibat) tanpa adanya perbuatan lain, berarti jika tiap perbuatan pelaksanaan akan menimbulkan
akibat terlarang, maka perbuatan pelaksanaan hanya ada percobaan lengkap saja, ini tidak tepat
karena di dalam teori dikenal juga adanya percobaan yang tidak lengkap.
Mengenai kasus diatas, Prof. Moelyatno mengemukakan pendapatnya sbb :
“Kalau perkara pembakaran di Eindhoven ditinjau dengan ukuran yang saya sarankan, maka
mengenai syarat pertama tidak perlu diragukan adanya. Secara potensiil apa yang telah dilakukan
terdakwa mendekatkan kepada kejahatan yang dituju. Juga mengenai syarat yang kedua yaitu bahwa
yang dituju itu menimbulkan kebakaran, telah wajar. Tinggal syarat yang ketiga, yaitu apakah yang
telah dilakukan itu sudah bersifat melawan hukum ? Kalau diingat bahwa rumah itu di diami orang
lain di waktu orangnya tidak ada, hemat saya adalah perbuatan yang melanggar hukum. Jadi karena
tiga-tiganya syarat sudah dipenuhi, hemat saya putusan yang yang diberikan oleh Hof’s
Hertogenbosch adalah tepat. Terdakwa telah melakukan delik percobaan pembakaran seperti yang
ditentukan dalam pasal 53 juncto pasal 187 KUHP”.
3. Pelaksanaan tidak selesai bukan semata-mata karena kehendak pelaku sendiri.
Tidak selesainya pelaksanaan kejahatan yang dituju bukankarena kehendak sendiri, dapat
terjadi dalam hal-hal sbb :
a. Adanya penghalang fisik;
Misal : tidak matinya orang yang ditembak, karena tangannya disentakkan orang sehingga
tembakan menyimpang atau pistol terlepas. Termasuk dalam pengertian penghalang fisik ini
ialah apabila adanya kerusakan pada alat yang digunakan (misal : pelurunya macet / tidak
meletus, bom waktu yang jamnya rusak).
b. Walaupun tidak ada penghalang fisik, tetapi tidak selesainya itu disebabkan karena akan adanya
penghalang fisik.
Misal : takut segera ditangkap karena gerak geriknya untuk mencuri telah diketahui oleh orang
lain.
c. Adanya penghalang yang disebabkan oleh factor-faktor / keadaan-keadaan khusus pada obyek
yang menjadi sasaran.
Misal : daya tahan orang yang ditembak cukup kuat sehingga tidak mati atau yang tertembak
bagian yang tidak membahayakan, barang yang kan dicuri terlalu berat walaupun si pencuri
telah berusaha mengangkatnya sekuat tenaga.
Dalam hal tidak selesainya perbuatan itu karena kehendak sendiri, maka dalam hal ini
dikatakan ada pengunduran diri sukarela, sering dirumuskan bahwa ada pengnduran diri sukarela,
http://www.kejaksaan.go.id/pusdiklat/uplimg/File/Asas-asas%20Hukum%20Pidana.doc
42
apabila menurut pandangan terdakwa, ia masih dapat meneruskannya, tetapi ia tidak mau
meneruskannya.
Tidak selesainya perbuatan karena kehendak sendiri, secara teori dapat dibedakan antara :
 Pengunduran diri secara sukarela (Rucktritt) yaitu tidak menyelesaikan perbuatan pelaksanaan
yang diperlukan untuk delik yang bersangkutan;
 Tindakan penyesalan (Tatiger Reue) yaitu meskipun perbuatan pelaksanaan sudah diselesaikan,
tetapi dengan sukarela menghalau timbulnya akibat mutlak delik tersebut.
Misal : Orang member racun pada minuman si korban, tetapi setelah diminumnya, ia segera
memberikan obat penawar racun sehingga si korban tidak jadi meninggal.
Sehubungan dengan masalah pengunduran diri sukarela ini, maka menurut M.v.T maksud
dicantumkannya unsur ke-3 ini dalam pasal 53 KUHP ialah :
 Untuk menjamin supaya orang yang dengan kehendaknya sendiri secara sukarela mengrungkan
kejahatan yang telah dimulai tetapi belum terlaksana, tidak dipidana;
 Pertimbangan dari segi kemanfaatan (utilitas), bahwa usaha yang paling tepat (efektif) untuk
mencegah timbulnya kejahatan ialah menjamin tidak dipidananya orang yang telah mulai
melakukan kejahatan tetapi kemudian dengan sukarela mengurungkan pelaksanaannya.
Dengan adanya penjelasan MvT tersebut, maka ada pendapat bahwa unsur ketiga ini
merupakan :
 Alasan pengahpus pidana yang diformulir sebagai unsur (Pompe).
 Alasan pemaaf (van Hattum, Seno Adji).
 Alasan pengahpusan penuntutan (Vos, Moelyatno).
Prof. Moelyatno tidak setuju dengan pendapat yang menyatakan unsur ke-3 ini sebagai
alasan pemaaf (fait d’ex-cuse) maupun sebagai alasan pengahpus pidana, sebab perbuatannya tetap
tidak baik (yang baik adalah tidak mencoba sama sekali) sehingga tidak ada alasan untuk memaafkan
ataupun membenarkan. Menurut beliau dengan tidak dituntutnya terdakwa, diberi stimulans bagi
orang-orang lain yang mempunyai niat melakukan kejahatan, untuk ditengah-tengah mengundurkan
diri secara sukarela. Jadi ada pertimbangan utilitas. Dalam pengunduran sukarela (dan tindakan
penyesalan/Tatiger Reue), tidak ada fait d’excuxe karena sifat tak baik perbuatan maupun kesalahn
tetap ada, tetapi tidak dituntutnya itu karena dipandang lebuh berguna bagi masyarakat, seprti
halnya dirumuskan pada pasal 367 (1) KUHP (pencurian antara suami-istri). Pertimbangan utilitas
lain dikemukakan beliau ialah untuk menghemat tenaga dan biaya. Walaupun Prof. Moelyatno
memandang unsur ke-3 ini sebagai alasan penghapusan penuntutan, namun beliau tidak
berkeberatan untuk menuntut orang yang secara sukarela telah mengurngkan niatnya itu apabila
telah menimbulkan kerugian, dan pidananya dikurangi menurut kebijaksanaan Hakim.
Mengenai konsekwensi adanya unsur ke-3 dalam perumusan pasal 53 KUHP ini, ada dua
pendapat :
a. Mempunyai konsekuensi materiil
Artinya unsur ketiga ini merupakan unsur yang melekat pada percobaan, jadi bersifat
accessoir (tidak berdiri sendiri). Dengan perkataan lain, untuk adanya percobaan unsur ke-3 ini
(tidak selesainya pelaksanaan perbuatan bukan karena kehendak sendiri) harus ada. Ini berarti
apabila ada pengunduran diri secara sukarela, maka tidak ada percobaan. Pendapat serupa ini
terlihat dalam putusan Hoge Raad tanggal 17 Juni 1889 tentang kasus sumpah palsu.
Dalam kasus ini ada tanda-tanda bahwa saksi yang dihadapkan ke persidangan diatas
sumpah telah meberikan keterangan yang bertentangan dengan kenyataan (kesaksian palsu).
Setelah Jaksa dan Hakim memperingatkan bahwa ia akan dituntut sumpah palsu, maka saksi
tersebut mencabut kembali keterangan palsunya itu. Apakah saksi dapat dipidana karena
percobaan sumpah palsu?
HR dalam putusannya berpendapat bahwa saksi itu tidak dapat dipidana melakukan
percobaan sumpah palsu karena dalam hal ini ada pengunduran diri secara sukarela. Begitu pula
si penganjur tidak dapat dipidana karena adanya pengunduran diri itu perbuatannya (saksi)
tidak merupakan perbuatan terlarang.
b. Mempunyai konsekwensi formil (dibidang processuil)
Artinya unsur ke-3 itu dicantumkan dalam pasal 153 maka unsur tersebut harus disebutkan
didalam surat tuduhan dan dibuktikan. Menurut pendapat ini, unsur ke-3 ini tidak merupakan
unsur yang melekat pada percobaan, jadi tidak bersifat accessoir, ia merupakan unsur yang
berdiri sendiri. Dengan perkataan lain, walaupun unsur ini tidak ada (yaitu karena adanya
pengunduran diri secara sukarela) maka percobaan tetap dipandang ada. Jadi dalam kasus yang
dikemukakan diatas, meskipun ada pengunduran diri secara sukarela, perbuatannya tetap
dipandang sebagai perbuatan terlarang dan soal dipidana tidaknya si pembuat maupun si
penganjur adalah masalah pertanggunganjawab.
Dalam kasus diatas si pembuat (saksi) tidak dipidana karena (menurut HR) disitu ada
pengunduran diri secara sukarela, sedangkan sipenganjur tetap dapat dipidana karena telah
menganjurkan suatu perbuatan yang terlarang. Jadi pendapat kedua ini membedakan antara
Asas-asas Hukum Pidana
43
perbuatan yang dapat dipidana (criminal act) dan pertanggung jawaban pidana (criminal
responsibility).
F. PERCOBAAN MAMPU DAN TIDAK MAMPU
Masalah percobaan mampu dan tidak mampu ini timbul sehubungan dengan telah
dilakukannya perbuatan pelaksanaan tetapi delik yang dituju tidak selesai atau akibat yang terlarang
menurut undang-undang tidak timbul. Tidak selesainya delik atau tidak timbulnya akibat terlarang
itu dapat disebabkan karena tidak mempunyai obyek (misal : mencoba menggugurkan bayi yang
ternyata tidak hamil, mencoba membunuh orang yang sudah mati, mencuri uang dari sebuah peti
uang yang ternyata kosong, dsb) atau karena tidak mempunyai alat yang digunakan ( misal :
mencoba membunuh orang dengan gula yang dikiranya racun).
Pembeda antara percobaan mampu dan tidak mampu ini sebenarnya hanya pada mereka
yang menganut teori percobaan yang obyektif, karena hanya menitik beratkan pada sifat bahayanya
perbuatan. Para penganut teori yang subyektif tidak mengenal pembedaan tersebut, karena lebih
menitik beratkan pada sifat berbahayanya sikap batin atau watak si pembuat.
Mengenai percobaan yang tidak mampu karena obyeknya, M.v.T mengemukakan :
“Syarat-syarat umum percobaan menurut pasal 53 KUHP ialah syarat-syarat percobaan untuk
melakukan kejahatan yang tertentu didalam buku II KUHP. Jika untuk terwujudnya kejahatan
tertentu tersebut diperlukan adanya obyek, maka percobaan melakukan kejahatan itupun harus ada
obyeknya. Kalau tidak ada obyeknya, maka juga tidak ada percobaan”.
Jadi menurut M.V.T tidak mungkin ada percobaan pada obyek yang tidak mampu, yang ada
hanya percobaan yang tidak mampu pada alatnya saja.
Mengenai percobaan yang tidak mampu karena alatnya, M.v.T membedakan antara :
 Tidak mampu mutlak, yaitu bila dengan alat itu tidak pernah mungkin timbul delik selesai,
dalam hal ini tidak mungkin ada delik percobaan.
 Tidak mampu relative, yaitu bila dengan alat itu tidak ditimbulkan delik selesai karena justru hal
ikhwal yang tertentu dalam mana si pembuat melakukan perbuatan atau justru karena keadaan
tertentu dalam mana orang yang dituju itu berada. Dalam hal ini mungkin ada delik percobaan.
Dari apa yang dikemukakan M.v.T diatas terlihat bahwa ketidakmampuan relative dapat
dilihat dari dua segi :
 Keadaan tertentu dari alat pada waktu si pembuat melakukan perbuatan
 Keadaan tertentu dari orang yang dituju.
Ukuran yang dikemukakan M.v.T itu ternyata tidak mudah :
a. Alat itu dapat dilihat sebagai jenis tersendiri dan dapat dilihat dari keadaan konkritnya :
 Apabila dilihat sebagai jenis tersendiri, maka gula adalah alat yang tidak mampu digunakan
untuk membunuh, sedangkan warangan (arsenicum) adalah mampu;
 Apabila dilihat dari keadaan konkritnya, maka alat yang pada umumnya mampu untuk
membunuh (misal warangan) dapat menjadi alat yang tidak mampu apabila jumlahnya tidak
memenuhi dosis yang cukup mematikan (untuk arsenicum 5 mg).
b. Begitu pula orang yang dituju, dapat dilihat secara abstrak untuk rata-rata orang dan dapat
dilihat dari keadaan konkrit tertentu.
 Gula adalah alat yang tidak mampu digunakan untuk membunuh orang pada umunya, tetapi
dapat menjadi alat yang mampu mematikan untuk orang yang berpenyakit diabetes;
 Warangan yang memenuhi dosis 5 mg, merupakan alat yang mampu untuk membunuh,
tetapi untuk orang yang sudah biasa warangan sejumlah itu tidak merupakan alat yang
mematikan.
Berdasarkan hal-hal diatas, maka banyak sarjana yang menyatakan bahwa batas antara
absolute dan relative itu tergantung dari kehendak orang yang menggunakan (willekeurig), tergantung
dari cara berpikir seseorang mengenai sesuatu hal.
Misal : percobaan pembunuhan dengan pistol yang tidak berpeluru.
Orang dapat mengatakan bahwa pistol yang demikian adalah alat yang absolut tidak mampu, tetapi
dapat juga dikatakan bahwa pistol adalah alat yang mampu untuk membunuh, namun dalam hal
tertentu bersifat relative karena tidak ada pelurunya.
Sehubungan dengan tidak jelas dan tidak mudahnya ukuran yang diberikan oleh M.v.T itu,
maka para sarjana berusaha memberikan batas atau ukuran antara percobaan yang mampu dan tidak
mampu.
Karena pada hakekatnya masalah percobaan mampu dan tidak mampu ini dalah masalah
hubungan kausal yang ada dalam lapangan obyeltif, maka banyak sarjana (misal Simons, Pompe, Van
Hattum) yang berusaha menentukan garis pembatas tersebut dengan menggunakan ukuran-ukuran
dalam hubungan kausal.
http://www.kejaksaan.go.id/pusdiklat/uplimg/File/Asas-asas%20Hukum%20Pidana.doc
44
Ukuran-ukuran kausalitas yang digunakan adalah teori generalisasi (adekuat) yang melihat
secara ante factum (sebelum peristiwa/akibat) karena memang dalam hal percobaan, akibat yang
merupakan delik yang dituju justru belum terjadi, jadi tidak menggunakan teori individualisasi yang
melihat sesudah terjadinya akibat (post factum).
Ukuran atau batas percobaan mampu dan tidak mampu yang dikemukakan oleh para sarjana itu
adalah sbb :
1. SIMONS
Ada percobaan yang mampu, apabila perbuatan yang menggunakan alat yang tertentu itu
dapat membahayakan benda hukum.
Tidak perlu bahwa bahaya itu harus nyata-nyata ada dalam keadaan khusus dimana
perbuatan itu dilakukan. Jika menurut keadaan normal, dengan alat tersebut tidaklah akan
ditimbulkan delik maka dalam hal demikian tidak ada percobaan yang mampu. Sebaliknya jika
alat yang pada umumnya tidak berbahaya, tetapi dalam keadaan tertentu dapat membahayakan
dan dengan sengaja pula alat itu digunakan, maka persangkaan bahwa alat itu tidak berbahaya
akan lenyap dengan diajukan bukti-bukti sebaliknya. Perbuatan demikian lalu dapat dipidana.
2. POMPE
Ada percobaan mampu, jika perbuatan atau alat yang digunakan mempunyai kecendrungan
(strekking) atau menurut sifatnya mampu untuk menimbulkan delik selesai. Ini semisal:
 Mencoba membunuh orang dengan mendoakan terus menerus supaya mati, bukanlah
percobaan yang mampu sebaliknya pemberian warangan pada orang yang normal adalah
mampu jika jumlahnya memang dapat mematikan orang yang normal.
 Ada orang membeli warangan di apotik untuk melakukan pembunuhan, tetapi karena
kekeliruan apotik, bukan warangan yang diberikan tetapi gula sehingga tidak menimbulkan
kematian. Dalam hal demikian, tetap dikatakan ada percobaan karena meskipun sifat gula
adalah tidak mampu secara absolute, tetapi penting dilihat dari keseluruhan perbuatan yaitu
mencampurkan gula (yang diberikan oleh apotik) yang dikiranya warangan, kedalam
makanan orang lain.
3. VAN HATTUM
Dalam menentukan percobaan mampu dan tidakmampu, van Hattum seperti halnya Simons
dan Pompe jelas-jelas menggunakan hubungan kausal yang adekuat. Dikatakan ada percobaan
yang mampu, apabila perbuatan terdakwa ada hubungan kausal yang adekuat dengan akibat
yang dilarang oleh undang-undang.
Dalam menggunakan hubungankausal yang adekuat itu, menurut van Hattum yang penting
adalah bagaimana merumuskan (memformulir) perbuatan terdakwa yang bersangkutan. Dalam
memformulir perbuatan terdakwa secara adekuat kausal itu, van Hattum memberikan
ukuran/pedoman sbb :
a. Hal-hal yang terjadi secara kebetulan jangan dimasukan, karena rasa keadilan tidak
membenarkan hal demikian member keuntungan kepada si pembuat;
b. Hal-hal yang merintangi selesainya kejahatan yang dituju jangan dimasukkan, apabila pada
hakekatnya perbuatan terdakwa membahayakan benda/kepentingan hukum (rechtsgoed).
Misal : Dengan maksud menembak musuhnya, seseorang telah mengisi senapanya dengan
peluru dan kemudian meletakkannya di suatu tempat untuk menunggu saat yang baik.
Sementara itu dengan tidak diketahuinya ada orang lain mengososngkan senapanya itu,
sehingga pada saat ditembakkan tidak menimbulkan akibat amtinya orang lain (musuhnya itu).
Dalam hal yang demikian, menurut van Hattum janganlah perbuatan terdakwa diformulir
sebagai percobaan yang tidak mampu karena kenyataannya ia membunuh dengan alat yang
relative tidak mampu yaitu senapan yang kosong. Tetapi harus diformulirkan sbb :
“mengarahkan senapan yang semula sudah diisi dengan peluru dan kemudian
menembakkannya”. Perbuatan demikian merupakan yang pada umumnya dapat menimbulkan
akibat matinya orang lain (jadi mempunyai hubungan kausal yang adekuat untuk adanya
pembunuhan). Dengan demikian perbuatan terdakwa merupakan percobaan yang mampu.
Tidak berbeda dengan menembakkan senapan yang pelurunya macet. Dari pendapat van
Hattum diatas jelas terlihat bahwa “kosongnya pistol” merupakan hal yang kebetulan dan
mengisi senapandengan peluru dan menembakkannya” merupakan perbuatan yang
membahayakan benda hukum orang lain (berupa nyawa). Van Hattum menyatakan bahwa
makin banyak hal-hal konkrit yang dimasukkan dalam merumuskan perbuatan terdakwa, maka
ketidakmampuan yang relative akan menjadi ketidakmampuan yang absolut.
4. MOELYATNO
Dalam memecahkan masalah percobaan mampu dan tidak mampu ini, Prof. Moelyatno tidak
mendasarkan pada teori adekuat kausal karena kenyataanya dalam percobaan tidak sampai
menimbulkan kejahatan yang dituju (tidak timbul akibat terlarang). Ukuran yang dugunakan
beliau dikembalikan pada ukuran patut dipidananya suatu delik, yaitu adanya perbuatan yang
bersifat melawan hukum. Jadi ukurannya tidak ditetapkan secara kausatif, tetapi secara normatif.
Asas-asas Hukum Pidana
45
Dikatakan ada percobaan yang mampu apabila perbuatan terdakwa mendekatkan pada
terjadinya delik selesai sedemikian rupa sehingga merupakan perbuatan yang melawan hukum.
Perlu dicatat bahwa karena beliau menganut ajaran sifat melawan hukum yang materiil, maka
perbuatan itu harus menggelisahkan masyarakat atau tidak pantas dilakukan.
Ukuran yang digunakan Prof. Moelyatno itu didasarkan pada Eindrucks theorie (teori kesan)
yang berasal dari Von Bar, yang dikemukakan didalam bukunya Prof. Edmund Mezger (1952).
Menurut teori ini, sudah cukup dikatakan ada percobaan, yang mampu apabila dalam
keadaan tertentu ada perbuatan yang menimbulkan kesan keluar bahwa ada permulaan
perbuatan yang dapat dipidana. Apabila suatu perbuatan dipandang dari sudut masyarakat
telah menimbulkan kesan mengganggu atau melukai tata-hukum, dan oleh karena itu telah
menggincangkan kesadaran umum mengenai kepastian berlakunya tata hukum tadi, maka
perbuatan demikian sudah mengandung bahaya. Dengan demikian ternyata, menurut Mezger,
bahwa di dalam teori kesan terdapat azas general preventive. Misal : perbuatan orang yang
hendak membunuh dengan senjata yang ternyata kosong atau macet pelurunya, atau pencuri
yang merogoh kantong orang lain yang ternyata kosong.
Perbuatan-perbuatan demikian dilihat dari teori kesan sudah merupakan percobaan yang
mampu dan oleh karenanya dapat dipidana, karena ada kesan dari luar yaitu dari sudut
masyarakat bahwa perbuatan-perbuatan itu telah mengganggu/ melukai tata hukum.
Menurut Prof. Moelyatno, dengan memakai ukuran melawan hukumnya perbuatan dalam
menentukan mampu tidaknya suatu percobaan berdasar teori kesan, tidak berarti bahwa sifat
berbahaya tidaknya percobaan itu dilihat dari sudut hubungan kausal tidak perlu diperhatikan.
Pertimbangan segi kausalitas ini tetap penting, tetapi bukan untuk menentukan mampu tidaknya
suatu percobaan, melainkan untuk menentukan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan.
Dalam hubungan ini beliau membandingkan dengan pasal 23 KUHP Swiss yang menentukan.
“Jika alat yang dipakai untuk mencoba melakukan kejahatan, atau obyek/terhadap mana
dilakukan kejahatan, adalah sedemikian rupa hingga perbuatan memang tidak mungkin
dilaksanakan dengan alat atau terhadap obyek yang demikian itu, maka hakim boleh
mengurangi pidana menurut kebijaksanaanya sendiri. Jika si pembuat berbuat karena
kebodohan (unverstand) hakim boleh tidak menjatuhkan pidana”.
5. MANGEL AM TATBESTAND
Telah dilemukakan diatas bahwa secara teoritis percobaan mampu dan tidak mampu dapat
dibedakan mengenai obyeknya maupun mengenal alatnya dan dapat pula dibedakan antara
tidak mampu yang absolute dan relative.
Karena tidak jelasnya batas penetu antara tidak mampu absolute danrelatif, tergantung dari
kehendak/ cara berpikir seseorang (bersifat Willekeurig), maka ada pendapat seperti M.v.T yang
tidak memasukkan kedalam lapangan percobaan tidak mampu apabila objek tidak mampu.
Menurut pendapat aliran ini, percobaan tidak mampu karena obyeknya bukanlah delik
percobaan karena tidak cukupnya atau tidak terpenuhinya unsur-unsur delik. Misal dalam hal
membunuh orang yang sudah mati atau menggugurkan kandungan orang yang tidak hamil,
disitu tidak terpenuhi unsur delik dalam pasal 333 KUHP yaitu harus adanya nyawa orang
(hidup) yang dihilangkan dan unsur delik dalam pasal 346 KUHP (menggugurkan/mematikan
kandungan) yaitu harus adanya seorang wanita yang benar-benar mengandung.
Dalam ilmu hukum pidana Jerman, tidak adanya atau tidak lengkapnya/ tidak terpenuhinya
unsur-unsur delik itu, disebut Mangel am Tatbestand (Mangel =kekurangan; Tatbestand = keadaan yang
betul/sempurna atau mencocoki rumusan delik). Istilah ini dikemukakan oleh Graf zu Dohna (1910).
Yang setuju dengan pendapat ini ialah Simons dan Pompe. Menurut Pompe, dalam kedua
contoh yang dikemukakan diatas tidak mungkin lagi dikatakan ada percobaan karena
maksud/tujuan terdakwa sudah tercapai. Sedangkan van Hamel, tidak setuju dengan mereka yang
memandang tidak ada percobaan apabila obyeknya tidak mampu. Menurut beliau memang benar
bahwa membunuh bayi yang sudah mati atau menggugurkan kandungan orang yang tidak hamil
adalah tidak mungkin, tetapi hal yang demikian sebenarnya tidak berbeda dengan membunuh bayi
yang lahir hidup tetapi kemudian diganti dengan boneka atau mencuri uang dari sebuah kantong
yang ternyata kosong.
Demikian pula Jonkers tidak setuju bahwa dalam contoh-contoh di atas dikatakan tidak ada
percobaan, karena sifat khusu dari percobaan ialah :
a. Delik tidak selesai karena hal ikhwal yang tidak tergantung dari kehendak terdakwa;
b. Oleh karena dalam pikiran terdakwa (dalam kasus-kasus diatas) adalah mungkin sekali akan
melaksanakan delik yang dituju.
Dari alasan yang kedua (b) ini jelas terlihat pandangan yang subyektif tentang percobaan.
Sehubungan dengan masalah ini KARNI membedakan antara Mangel am Tatbestand dengan
percobaan tidak mampu (istilah beliau “percobaan tak terkenan”). Dalam hal menggugurkan
http://www.kejaksaan.go.id/pusdiklat/uplimg/File/Asas-asas%20Hukum%20Pidana.doc
46
kandungan orang yang tidak hamil, disini ada percobaan yang tidak mampu karena tujuan si
pembuat tidak tercapai (jadi berbeda dengan pendapat Pompe), jadi ini bukan Mangel am Tatbestand.
Sedangkan untuk mangel am Tatbestand dicontohkan sbb:
 Orang yang melarikan perempuan yang ternyata sudah cukup umur;
 Orang yang mencuri barang yang ternyata sudah menjadi miliknya.
Dalam kedua contoh ini menurut Karni tujuanya sudah tercapai, hanya saja unsur delik yang
bersangkutan (pasal 332 dan pasal 362 KUHP) tidak terpenuhi secara sempurna. Ketidak sempurnaan
dipenuhinya unsur delik inilah yang menurut Karni merupakan hakekat atau watak hukum dari
Mangel am Tatbestand. Dalam hal demikian, terdakwa tidak dapat dipidana karena memang tidak
ada pasal yang dilanggar dan kepastian hukum terancam (jadi berlainan dengan van Hamel).
Selanjutnya ditegaskan oleh Karni bahwa Mangel am Tatbestand ini merupakan “kekhilafan tentang
anasir delik” yang harus dibedakan dengan salah sangka tentang adanya undang-undang (putatief
delict).
Perbedaan ini terlihat pula dalam pendapat Utrecht, delik putatief merupakan
“rechtsdwaling” sedangkan Mangel am Tatbestand merupakan “feitelijke dwaling”.
G. PEMIDANAAN TERHADAP PERCOBAAN
Telah dikemukakan di muka bahwa menurut system KUHP, yang dapat dipidana hanyalah
percobaan terhadap kejahatan, sedangkan terhadap pelanggaran tidak dipidana.
Dalam hal percobaan terhadap kejahatan, maka menurut pasal 53 (2) KUHp maksimum
pidana yang dapat dijatuhkan ialah maksimum pidana untuk kejahatan (pasal) yang bersangkutan
dikurangi sepertiga. Jadi misalnya untuk percobaan pembunuhan (pasal 53 jo pasal 338 KUHP),
maksimumnya ialah 10 tahun penjara. Bagaimanakah apabila kejahatan yangbersangkutan diancam
pidana mati atau penajara seumur hidup, seperti halnya dalam pasal 340 KUHP (pembunuhan
berencana)? Menurut pasal 53 (3), maksimum pidana yang dapat dijatuhkan hanya 15 tahun penjara.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa menurut KUHP, maksimum pidana pokok untuk
percobaan adalah lebih rendah daripada apabila kejahatan itu telah selesai seluruhnya. Sedangkan
untuk pidana tambahannya, menurut pasal 53 (4) adalah sama dengan kejahatan selesai.
Asas-asas Hukum Pidana
47
BAB XI
PENYERTAAN
A. BEBERAPA ISTILAH
1. Turut campur dalam peristiwa pidana (Tresna).
2. Turut berbuat delik (Karni).
3. Turut serta (Utrecht).
4. Delneming (Belanda); Complicity (Inggris); Teilnahme/Tatermehrhaeit (Jerman); Participation
(Perancis).
B. BEBERAPA PANDANGAN TENTANG SIFAT PENYERTAAN
Filosofi dasar keberadaan lembaga penyertaan terdapat dua pandangan :
1. Sebagai Strafa sdehnungsgrund (dasar memperluas dapat dipidananya orang) :
 Penyertaan dipandang sebagai persoalan pertanggung jawaban pidana
 Penyertaan merupakan suatu delik, hanya bentuknya tidak sempurna.
 Penganut a.l : Simons, van Hattum, Hazewinkel Suringa.
2. Sebagai Tatbestandausdehnungsgrund (dasar memperluas dapat dipidananya perbuatan) :
 Penyertaan dipandang bentuk khusus dari tindak pidana.
 Penyertaan merupakan suatu delik, hanya bentuknya istimewa.
 Penganut a.l : Pompe, Moelyatno, Roeslsn Saleh.
Menurut Prof. Moelyatno pandangan yang pertama sesuai dengan alam/pandangan
individual karena yang diprimairkan adalah “strafbaarheid van de person” (hal dapat dipidananya
orang), pandangan yang kedua sesuai dengan alam Indonesia karena yang diutamakan adalah
perbuatan yang tidak boleh dilakukan, jadi lebih ditekankan pada strafbaarheid van het feit” (hal
dapat dipidananya perbuatan). Menurut Moelyatno, pandangan pertama tidak dikenal dalam hukum
adat.
C. PEMBAGIAN PENYERTAAN
1. Terbagi dua:
a. Von Feuerbach membagi penyertaan dalam dua bentuk
1) Urherber (pembuat)
2) Gehilfe (pembantu)
b. KUHP Belanda dan Indonesia :
1) Dader/Pembuat (pasal 47 Belanda/pasal 55 KUHP Indonesia).
2) Medeplichtige/pembantu (pasal 48 KUHP Belanda/ pasal 56 KUHP Indonesia).
c. Code Penal Perancis dan Belgia :
1) Autores.
2) Complices.
d. Di Inggris :
1) Principals (peserta baku).
2) Accessories (peserta pembantu).
2. Pembagian tiga :
a. Di Jerman:
1) Tater (pembuat)
2) Anstifter (penganjur)
3) Gehile (pembantu)
b. Di Jepang:
1) Co principals (pembuat)
2) Instigator (penganjur)
3) Accessories (pembantu)
3. Pembagian empat :
Di Uni Sovyet :
1) Executive of crime
2) Organizer
3) Instigator
4) Accessory
D. PENYERTAAN MENURUT KUHP INDONESIA
Pembagian penyertaan menurut KUHP Indonesia adalah:
a. Pembuat/dader (pasal 55) yang terdiri dari :
1) Pelaku (pleger)
http://www.kejaksaan.go.id/pusdiklat/uplimg/File/Asas-asas%20Hukum%20Pidana.doc
48
2) yang menyuruh lakukan (doenpleger)
3) yang turut serta (medepleger)
4) penganjur (uitlokker)
b. Pembantu / mendeplichtige (pasal 56) yang terdiri dari:
1) pembantu pada saat kejahatan dilakukan
2) pembantu pada saat kejahatan belum dilakukan.
Mengenai pengertian pembuat (dader), ada dua pandangan :
a. Pandangan yang luas (extensief) :
 Dengan demikian mereka yang disebut dalam pasal 55 diatas adalah pembuat.
 Penganut : M.v.T, Pompe, Hazewinkel-Suringa, van Hattum, Moelyatno.
b. Pandangan yang sempit (restrictief) :
 Pembuat hanyalah orang yang melakukan sendiri perbuatan yang sesuai dengan rumusan
delik, jadi hanya pembuat materiil saja (yaitu pada no.1 pada pasal 55 di atas).
 Menurut pandangan ini, mereka yang tersebut dalam pasal 55 hanya dipandang sebagai
pembuat, jadi hanya disamakan saja dengan dader.
 Penganut : HR, Simons, van Hamel, Jonkers.
1. Pleger (pelaku)
Batasan pleger adalah sebagai berikut:
a. Pelaku (pleger) ialah orang yang melakukan sendiri perbuatan yang memenuhi rumusan delik.
b. Dalam praktek sukar menentukannya, terutama dalam hal pembuat undang-undang tidak
menentukan secara pasti siapa yang menjadi pembuat.
Mengenai hal ini ada beberapa pedoman :
1) Peradilan Indonesia
Pembuat (dalam arti sempit yaitu pelaku) ialah orang yang menurut maksud pembuat
undang-undang harus dipandang yang bertanggung jawab.
2) Peradilan Belanda
Dader (dalam arti sempit) ialah orang yang mempunyai kekuasaan/kemampuan untuk
mengakhiri keadaan terlarang, tetapi tetap memberikan keadaan terlarang itu berlangsung
terus.
3) Pompe
Dader (dalam arti sempit) ialah orang yang mempunyai kewajiban untuk mengakhiri
keadaan terlarang itu.
c. Kedudukan “pleger” dalam pasal 55 sering dipermasalahkan. Mengenai hal ini ada dua
pendapat :
1) Janggal dan tidak pada tempatnya
Alasan : Karena pasal 55 berada dibawah bab V yang berjudul “Penyertaan tersangkut
beberapa pidana”, pada penyertaan apabila “mereka yang melakukan” (para pelaku) itu
diartikan pembuat tunggal.
2) Dapat dipahami
Alasan : Karena pasal 55 menyebut “mereka yang dipidana” sebagai pembuat”, jadi plegers
termasuk didalamnya “Pompe”. Karena pasal 55 menyebut “ siapa-siapa yang dinamakan
pembuat”, jadi plegers juga termasuk didalamnya (Hazewinkel-Suringa).
2. Doenpleger (yang menyuruh lakukan)
Ketentuan tentang doenpleger adalah sebagai berikut:
a. Doenpleger ialah orang yang melakukan perbuatan dengan perantaraan orang lain, sedang
perantara ini hanya diumpamakan sebagai alat.
Dengan demikian :
 Pembuat langsung (onmiddelijke dader, auctor physicus, manus ministra)
 Pembuat tidaklangsung (middelijke dader, doenpleger, auctor intellectuals, manus domina).
b. Pada Doenpleger terdapat unsur-unsur sbb :
 Alat yang dipakai adalah manusia;
 Alat yang dipakai itu “berbuat” (bukan alat yang mati)
 Alat yang dipakai itu “tidak dapat dipertanggungjawabkan” unsur ketiga inilah yang
merupakan tanda ciri dari doenpleger .
Hal yang menyebabkan alat (pembuat materiil) tidak dapat dipertanggungjawabkan ialah :
 Bila ia tidak sempuna pertumbuhan jiwanya atau rusak jiwanya (pasal 44);
 Bila ia berbuat karena daya paksa (pasal 48)
 Bila ia melakukannya atas perintah jabatan yang tidak sah seperti dimaksudkan dalam pasal
51 ayat (2);
Asas-asas Hukum Pidana
49
 Bila ia keliru (sesat) mengenai salah satu unsur delik, misalnya A menyuruh B untuk
menguangkan pos wesel yang tanda tangannya dipalsu oleh A, sedangkan B tidak
mengetahui pemalsuan tersebut;
 Bila ia tidak mempunyai maksud seperti yang diisyaratkan untuk kejahatan ybs. (dalam
undang-undang) misal A menyuruh B (seorang kuli) untuk mengambil barang dari suatu
tempat. B mengambilnya untuk diserahkan kepada A dan ia sama sekali tidak mempunyai
maksud untuk memiliki bagi dirinya sendiri.
c. Dalam hal pembuat materiil (alat) seseorang yang belum cukup umur, maka tidak ada menuruh
lakukan, karena pada dasarnya KUHP menganggap orang yang belum cukup unur itu tetap
mampu bertanggungjawab (lihat pasal 45 jo 47). Namun demikian, apabila yang disuruh itu anak
yang masih sangat muda sekali, yang belum begitu sadar akan perbuatannya, maka dalam hal ini
dimungkinkan ada menyuruh lakukan.
d. Apakah orang yang menyuruh lakukan (doenpleger) harus mempunyai kualitas sebagai pelaku ?
ada dua pendapat :
1) Pendapat pertama : “harus”.
Alasan, karena tidakmungkin seorang A menyuruh oarng lain B melakukan sesuatu yang A
sendiri tidak dapat melakukannya. Misalnya : A bukan pegawai negeri, maka ia tidak dapat
melakukan “delik jabatan”, jadi A tidak bisa menjadi pembuat langsung (onmiddelijke dader)
oleh karena itu ia juga tidak bisa menjadi pembuat tidak langsung, maka A tidak bisa menjadi
doenpleger. Jadi walaupun B (yang disuruh) adalah “ pegawai negeri, tetap dikatakan tidak
ada doenpleger.
2) Pendapat kedua : “tidak harus”.
“Menyuruh-lakukan sesuatu delik jabatan tidak hanya terdapat apabila pembuat materiilnya
adalah seorang pejabat, akan tetapi juga sebaliknya, ialah apabila pelaksanaanya bukan,
sedang yang menyuruh-lakukan itu adlah pejabat”.
Hazewinkel-Suringa :
“Seorang peserta itu bukannya dipidana karena ia melakukan perbuatan (pidana), akan tetapi
ia justru dipidana walaupun ia tidak melakukan perbuatan”. Misal : A membius B seorang
penjaga keamanan kereta api, sehingga lalai menjalankan tugasnya dan timbul kecelakaan.
Walaupun A tidak berkualitas seperti B (yaitu tidak mempunyai kewajiban seperti B), A tetap
dikatakan sebagai doenpleger dalam delik omissi yang dilakukan oleh B.
Arrest HR tgl. 21 April 1913 (kasus Walikota Zaan-dam) menyatakan :
“Pasal 55 tidak menyatakan bahwa mereka yang menyuruh lakukan adalah dader, tetapi
bahwa mereka dipidana sebagai dader, sehingga untuk menjadi middelijke dader
(doenpleger) tidak perlu ada kualitas pribadi seperti pembuat materiil”.
e. Mungkinkah ada menyuruh lakukan terhadap delik-colpoos?
Mungkin, dalam halo rang yang menyuruh-lakukan dapat menduga sebelumnya bahwa ka nada
sesuatu akibat yang tidak diharapkan. Misal :
A menyuruh seseorang pekerja B untuk melemparkan benda yang berat dari atap rumah ke
bawah, tanpa menghiraukan apakah benda itu akan menimpa orang yang kebetulan ada / lewat
di bawah atap rumah itu. B mengira bahwa A telah mengadakan pengamanan seperlunya. Jika
karena lemparan itu ada yang tertimpa dan mati, maka A dapat dituntu karena menyuruhlakukan
tindak pidana yang tersebut dalam pasal 359 KUHP.
3. Medepleger (orang yang turut serta)
Tentang pengertian medelpeger:
a. Undang-undang tidak memberikan definisi
b. Menurut M.v.T : Orang yang turut serta melakukan (medepleger) ialah orang yang dengan sengaja
turut berbuat atau turut mengerjakan terjadinya sesuatu.
c. Menurut Pompe, “turut mengerjakan terjadinya sesuatu tindak pidana itu ada dua kemungkinan
:
 Mereka masing-masing memenuhi semua unsur dalam rumusan delik.
 Misal : dua orang dengan bekerja sama melakukan pencurian disebuah gudang beras, salah
seorang memenuhi semua unsur delik, sedang yang lainnya tidak.
 Misal : dua orang pencopet (A dan B) saling bekerja sama, A yang menabrak orang yang
menjadi sasaran, sedang B yang mengambil dompet orang itu.
 Tidak seorangpun memenuhi unsur-unsur delik seluruhnya tetapi mereka bersama-sama
mewujudkan delik itu misalnya : dalam pencurian dengan merusak (pasal 363 ayat (1) ke-5)
salah seorang melakukan penggangsiran, sedang kawannya masuk rumah dan mengambil
barang-barang yang kemudian diterimakan kepada kawannya yang menggangsir tadi.
Syarat adanya medepleger :
http://www.kejaksaan.go.id/pusdiklat/uplimg/File/Asas-asas%20Hukum%20Pidana.doc
50
a. Ada kerjasama secara sadar (bewuste samenwerking).
Adanya kesadaran bersama tidak berarti ada permufakatan lebih dulu, cukup apabila ada
pengertian antara peserta pada saat perbuatan dilakukan dengan tujuan menacpai hasil yang
sama. Yang penting aialah harus ada kesenjangan secara sadar.
Tidak ada turut serta, bila orang yang satu hanya menghendaki untuk menganiaya, sedang
kawannya menghendaki matinya si korban. Penentuan kehendak atau kesenjangan masingmasing
peserta itu dilakukan secara normatif.
b. Ada pelaksanaan bersama secara fisik (gezamenlijke ultvoering/physieke samenwerking).
Persoalan kapan dikatakan ada perbuatan pelaksanaan merupakan persoalan yang sulit
(ingat/lihat Bab VI tentang “percobaan”), namun secara singkat dapat dikatakan bahwa
perbuatan pelaksanaan berarti perbuatan yang langsung menimbulkan selesainya delik ybs.
Yang penting disini harus ada kerjasama yang erat dan langsung. Batas antara perbuatan
pelaksanaan dan perbuatan pembantuan sangatlah sulit dan hal ini akan dibicarakan dalam
masalah pembantuan.
Apakah medepleger harus mempunyai kualitas sebagai pelaku? Mengenai hal ini ada dua
penadapat :
a. Pendapat pertama : “harus”.
Medepleger adalah suatu bentuk daderschap (keadaan /sifat pelaku pembuat), orang turut
serta melakukan adalah pembuat (dader) apabila ada beberapa orang bersama-sama melakukan
delik, maka mereka timbal balik terhadap satu sama lain disebut pembuat peserta (mededader).
Pembuat peserta sebagai pembuat harus mempunyai sifat yang oleh rumusan undang-undang
diisyaratkan untuk daderschap. Barang siapa tidak dapat menjadi pembuatan tunggal (alleendader)
juga tidak dapat dinamakan pembuat peserta (mededader). Sifat-sifat atau keadaan pribadi yang
menentukan dapat dipidananya perbuatan, hanya berlaku pada pembuat peserta yang
mempunyai sifat-sifat tersebut.
b. Pendapat kedua : “tidak harus”.
Yurisprudensi putusan pengadilan Negeri Tulunganggung tanggal 5 Januari 1932 yang kasusnya
sbb:
A memegang gelang milik orang lain untuk dijualkan. Suami A menggadaikan gelang tersebut
untuk kepentingannya sendiri, dengan persetujuan A. Dalam kasus A dinyatakan salah
melakukan penggelapan, sedang suaminya “turut serta melakukan penggelapan” meskipun
suaminya tidak memenuhi semua unsur yang terdapat dalam pasal 372.
Status A terhadap barang ialah “memiliki dengan melawan hukum barang yang ada padanya
bukan karena kejahatan “, sedang status suaminya terhadap barang itu ialah menggadaikan
barang milik orang lain yang ada dalam kekuasaannya karena kejahatan”. Yaitu ia dapat dari A
dan tahu bahwa barang itu bukan milik A.
Mungkinkah ada turut serta terhadap delik culpoos? Pada turut serta, kesengajaannya
ditujukan kepada:
a. Kerjasama dengan orang lain (ditujukan pada perbuatan).
b. Tercapainya hasil yangmerupakan delik (ditujukan pada akibat).
Dalam delik culpa orang tidak menghendaki terjadinya akibat. Kalau kesenjangan orang turut
serta juga harus ditujukan untuk timbulnya delik culpa tersebut, maka jelas tidak mungkin ada turut
serta melakukan secara culpa. Akan tetapi jika kesengajaan itu hanya ditujukan kepada adanya
kerjasama, ialah kepada perbuatan yang dilakukan bersama, maka mungkin ada turut serta
melakukan secara culpa. Misal:
A dan B bersama-sama melemparkan barang berat dari gedung bertingkat dan menimpa orang yang
ada di bawah sampai mati. Keduanya tidak menghendaki sampi matinya orang tersebut, akan tetapi
mereka bersama-sama secara sadar melakukan pelemparan barang dan merekapun kurang berhatihati
serta patut menduga akibat yang timbul. Oleh karena itu mereka dapat dituntut bersama-sama
melakukan perbuatan yang tersebut dalam pasal 55 jo pasal 359 KUHP.
4. Uitlokker (penganjur)
a. Pengertian
Pengajur ialah orang yang menggerakkan orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana
denganmenggunakan sarana-sarana yang ditentukan oleh undang-undang untuk melakukan
kejahatan.
Jadi hamper sama dengan menyuruh-lakukan (doen-pleger), pada penganjuran (uitlokking)
ini ada usaha untuk menggerakkan orang lain sebagai pembuat materiil / auctor physicus. Adapun
perbedaannya sbb:
Penganjuran Menyuruh-lakukan
Menggerakkannya dengan
sarana-sarana tertentu (limitatif)
Sarana menggerakkannya tidak
ditentukan (tidak limitatif)
Pembuat materiil dapat Pembuat materiil tidak dapat
Asas-asas Hukum Pidana
51
dipertanggungjawabkan
(tidakmerupakan manus
ministra)
dipertanggungjawabkan
(merupakan manus ministra)
b. Syarat penganjuran yang dapat dipidana
Berdasarkan pengertian diatas, maka syarat pengajuran yang dapat dipidana ialah :
1) Ada kesenjangan untuk menggerakkan orang lain melakukan perbuatan yang terlarang.
2) Menggerakkannya dengan menggunakan upaya-upaya (sarana-sarana) seperti tersebut dalam
undang-undang (bersifat limitatif).
3) Putusan kehendak dari si pembuat materiil ditimbulkan karena hal-hal tersebut pada a dan b
(jadi ada psychise causaliteit).
4) Si pembuat materiil tersebut melakukan tindak pidana yang dianjurkan atau percobaan
melakukan tindak pidana.
5) Pembuat materiil tersebut harus dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana.
Dari lima syarat yang disebutkan diatas, jelas bahwa syarat 1 dan 2 merupakan syarat yang
harus ada pada si penganjur, sedangkan syarat 3, 4 dan 5 merupakan syarat yang melekat pada orang
yang dianjurkan (pembuat materiil).
c. Mungkinkah ada penganjuran untuk melakukan delik culpa?
Mengenai hal ini ada beberapa pendapat :
1) Tidak mungkin.
Pendapat ini antara lain dikemukakan oleh van Hamel dengan mengemukakan alasan bahwa
sifat khas dari uitlokking ialah membujuk terjadinya perbuatan dengan sengaja.
2. Mungkin.
Simons menganggap bukannya mustahil dalam bentuk demikian seseorang dapat membujuk
terjadinya sesuatu perbuatan dengan pengetahuan bahwa orang yang akan melakukan
perbuatan itu dapat mengira-ngira kemungkinan terjadinya akibat yang tidak dikehendaki atau
dapat mengirakan kemungkinan terjadinya akibat tersebut. Menurut Pompe orang nyata-nyata
dapat sengaja menyuruh orang lain untuk melakukan delik culpa, dalam arti orang itu sebagai
pembujuk mempunyai kesengajaan untuk menggerakkan agar orang lain melakukan perbuatan
yang ternyata suatu delik culpa dan inklusif didalam perbuatan sengaja itu termasuk kealpaan,
dan pula dalam arti bahwa yang di bujuk dan pembujuk mempunyai kealpaan yang diisyaratkan
oleh undang-undang. Misal :
Seorang pemilik mobil sengaja meminjamkan mobilnya untuk dipakai orang lain dengan
mengetahui bahwa dengan pemberian pinjaman itu, orang lain tersebut akan mengendarainya.
Jadi, pada pembujuk ada kesengajaan yang ditujukanuntuk menggerakkan orang lain untuk
menyupir. Kalau orang lain itu tidak dapat menyupir hal mana diketahui oleh pembujuk, maka
jika pengendara tersebut melanggar seseorang yang mengakibatkan mati, ia dapat dikatakan
melakukan tindak pidana dalam pasal 359, sedang pemilik mobil dapat dikatakan melakukan
pembujukan untuk terjadinya pelanggaran pasal 359 itu.
d. Mungkinkah ada percobaan penganjuran atau penganjuran yang gagal?
Penganjuran yang gagal ini dapat terjadi dalam hal seseorang telah dengan sengaja
menggerakkan orang lain untuk melakukan sesuatu tindak pidana dengan menggunakan salah satu
sarana dalam pasal 55 (1) ke-2, akan tetapi orang lain itu tidak mau melakukan atau mau melakukan
akan tetapi tidak sampai dapat melaksanakan perbuatan yang dapat dipidana.
(catatan : Dengan kata lain, baru terpenuhi syarat 1 dan 2 atau syarat 1 s/d 3) seperti dikemukakan
pada no. b diatas.
Timbul masalah apakah terhadap percobaan untuk membujuk atau penganjuran yang gagal
dapat dipidana? mengenai hal ini sebelum adanya pasal 163 bis, ada dua pandangan:
1) Pendapat pertama: Penganjuran dipandang sebagai bentuk penyertaan yang bersifat accessoir
(tidak berdiri sendiri = onzelfstandig).
Menurut pandangan ini, pengajuran itu ada apabila ada tindak pidana yang dilakukan oleh
pembuat materiil. D.p.l si penganjur dipidana apabila orang yang dibujuk melakukan perbuatan
yang dapat dipidana. Karena dalam “percobaan untuk penganjuran” ini, tindak pidana itu tidak
terjadi maka si pengajur juga tidak dapat dipidana.
Penganutnya : Hazewinkel-Suring, Simons, van Heml, vos.
2) Pendapat kedua : Penganjuran dipandang sebagai bentuk penyertaan yang tidak accessoir
(berdiri sendiri = zelfstanding, tidak bergantung pada yang lain). Menurut pendapat ini, ada /
tidaknya penganjuran tidak tergantung pada ada tidaknya atau terjadi / tidaknya tindak pidana.
D.p.l sipenganjur tetap dapat dipidana walaupun tindak pidana yang dianjurkan kepada si
http://www.kejaksaan.go.id/pusdiklat/uplimg/File/Asas-asas%20Hukum%20Pidana.doc
52
pelaku tidak terjadi. Jadi menurut pandangan kedua ini, “percobaan untuk penganjuran” tetap
dapat dipidana. Penganutnya : Blok. Jomkers, Pompe, van Hattum.
Catatan :
 Dari uraian diatas jelas, bahwa menurut pendapat pertama (accessoir), strafbaarheid (sifat dapat
dipidananya si penganjur digantungkan dari apa yang dilakukan oleh orang lain). Jadi sudut
pandangnya tidak membedakan antara sifat dapat dipidananya perbuatan (tindak pidana) dan
sifat dapat dipidananya orang (pertanggungjawaban pidana). Jadi lebih mendekati pandangan
monistis.
 Sehubungan dengan pandangan yang pertama diatas, dalam KUHP Jerman (sebelum perubahan
tahun 1943), dikenal apa yang dinamakan extreme accessoiriteit yaitu bahwa untuk adanya
bentuk-bentuk penyertaan harus ada yang bertanggung jawab sebagai Tater (pelaku).
Menururt KUHP Jerman itu, untuk dapat memidana seseorang peserta sebagai Mittater (si
turut-serta melakukan / medepleger, anstifter / pengajur uitlokker, atau gehilfe / pembantu /
medeplichtige), maka si pembuat materiil harus melakukan strafbare handlung, yang diartikan
bukan saja melakukan perbuatan yang dilarang / diancam pidana, tetapi juga dapat dijatuhi
pidana. Dengan demikian apabila si pembuat materiil tidak dapat dijatuhi pidana (karena tidak
ada kesalahan), tidak mungkin ada penyertaan.
 Pertanggungjawaban peserta tidak lagi digantungkan pada pertanggungjawaban si pelaku atau
peserta lainnya, tetapi dipandang berdiri sendiri, asal saja pelaku atau peserta lainnya itu telah
melakukan sesuatu perbuatan yang dilarang.
Pandangan accessoiriteit yang terbatas ini sesuai dengan pandangan dualistis (a.l Prof. Ruslan
saleh) yang melihatnya dari dua sudut pandang:
1) Dari sudut perbuatan, pada umumnya tiap-tiap peserta tidak berdiri sendiri-sendiri, sifat
melawan hukumnya perbuatan dari si pembuat atau si pembantu baru timbul jika perbuatan
dari si pembuat atau si pembantu baru timbul jika perbuatannya di hubungkan dengan pelaku
atau peserta lainnya.
2) Dari sudut pertanggungjawaban, tiap-tiap peserta dipertanggungjawabkan sendiri-sendiri
menurut sikap batinya masing-masing berhubung dengan apa yang diperbuatnya.
Persoalan percobaan pengajuran atau penganjuran yang gagal ini sekarang sudah tidak
menjadi persolan lagi, setelah pada tahun 1925 (S. 1925 No. 197 / jo 273) ditambahkan pasal 163 bis
kedalam KUHP pasal ini berbunyi :
(1) Barang siapa dengan menggunakan salah satu sarana tersebut dalam pasal 55 ke-2, mencoba
menggerakkan orang lain supaya melakukan kejahatan, diancam pidana penjara paling lama 6
(enam) tahun atau denda paling banyak tiga ratus rupiah (sekarang menjadi Rp. 4.500,-), jika
tidak mengakibatkan kejahatan atau percobaan kejahatan yang dipidana, tetapi dengan
ketentuan, bahwa sekali-kali tidak dapat dijatuhkan pidana yang lebih berat dari pada yang
ditentukan terhadap percobaan kejahatan, atau jika percobaan itu tidak dipidana, tidak dapat
dijatuhkan pidana yang lebih berat dari yang ditentukan terhadap kejahatan itu sendiri.
(2) Aturan tersebut tidak berlaku, jika tidak mengakibatkannya kejahatan atau percobaan kejahatan
yang dipidana itu disebabakan karenakehendaknya sendiri.
Pasal diatas mengancam pidana terhadap pembujukan yang gagal dan juga yang tidak
menimbulkan akibat. Dengan demikian pasal ini menjadikan perbuatan “ pembujukan yang gagal”
sebagai delik yang berdiri sendiri (delictum suigeneris). Delik ini merupakan delik formil, artinya
perumusannya dititikberatkan pada perbuatan si pembuat, jadi jika seseorang dengan salah satu
sarana yang tersebut dalam pasal 55 ke-2 itu berusaha menggerakkan orang lain untuk melakukan
kejahatan, maka ia sudah dapat dipidana. Alasan penghapus pidananya tercantum dalam ayat (2).
Menurut Prof. Moelyatno, pasal 163 biss (2) merupakan alasan penghapus penuntutan.
Perlu diperhatikan bahwa dalam pasal 163 bis itu digunakan kata-kata “mencoba / berusaha
menggerakkan orang lain untuk…”. Jadi dapat juga dikenakan kepada “menyuruh lakukan /
doenplegen yang gagal”, asal saja sarana yang dipakai oleh si pembuat termasuk salah satu sarana
untuk pembujukan yang tersebut dalam pasal 55 ayat (1) ke-2.
e. Pertanggungjawaban si penganjur
Dalam pasal 55 ayat (2) dinyatakan bahwa penganjur dipertanggungjawabkan terhadap
perbuatan yang sengaja dianjurkannya beserta akibatnya. Misal :
A menganjurkan B untuk menganiaya C dan akibat penganiayaan itu C mati, Dalam hal ini
pertanggungjawaban A bukan terhadap perbuatan “menganjurkan orang lain melakukan
penganiayaan” (pasal 55 jo 351) tetapi “menganjurkan orang lain melakukan penganiayaan yang
berakibat mati” (pasal 55 jo 351 ayat (3)).
Bagaimanakah apabila B yang dianjuri langsung membunuh C. dalam hal ini matinya C tidak
dapat dipertanggungjawabkan pada A (Jadi tidak dapat dituduh berdasar pasal 55 jo 338), karena
pembunuhan itu bukan dimaksud (disengaja) oleh A. Namun demikian, A masih dapat
dipertanggungjawabkan berdasrkan pasal 163 bis, yaitu pembujukan yang gagal untuk penganiayaan.
Asas-asas Hukum Pidana
53
Maksimum pidana yang dapat dikenakan adalah maksimum pidana untuk penganiayaan yang
terbukti sengaja dianjurkan oleh A, yaitu kalau penganiayaan biasa pasal 351 (1), maksimumnya 2
tahun 7 bulan, kalau penganiayaan ringan pasal 352 maksimumnya 3 bulan, kalau penganiayaan yang
direncanakan pasal 351 (1) maksimumnya 4 tahun penjara dst. Jadi maksimumnya bukan 6 tahun
(perhatikan redaksi pasal 163 bis).
Ketentuan pasal 163 bis juga dapat dipertanggungjawabkan pada A dalam hal B (yang
dianjuri) tidak mau melaksanakan anjuran dari A walaupun mungkin ia sudah menerima sesuatu
pemberian / hadiah dari A. jadi gagalnya pengajuran A karena kehendak orang yang ditujuk (B).
Apabila tidak terjadi atau gagalnya pengajuran A itu karena kehendak A sendiri, maka pasal 163 bis
tidak dapat dikenakan pada A.
Bagaimanakah apabila dalam melaksanakan anjuran A untuk menganiaya C itu, B baru
melaksankannya sampai taraf percobaan penganiayaan tidak dipidana dan ini berarti “tidak terjadi
percobaan kejahatan yanmg dipidana” seperti disebutkan dalam pasal 163 bis.
Kalau A membujuk B untuk membunuh C dengan menggunakan pistol, tetapi karena
“penyimpangan sasaran” (aberretio ictus / afdwalirgsgevallen) tembakan B mengenai D, maka perbuatan
A tetap dapat disebut “membujuk untuk percobaan pembunuhan terhadap C” (pasal 55 jo 53 jo 338).
Bagaimanakah terhadap matinya D, apakah A dapat dipertanggungjawabkan ?
Ada pendapat bahwa dalam hal ini A tidak dapat dipertanggungjawabkan karena matinya D
bukan yang dikenhendaki (disengaja dianjurkan) oleh A, jadi karena tidak ada identitas (kesamaan)
antara perbuatan yang dibujukkan dengan perbuatan yang benar–benar dilakukan. Pendapat ini
menghendaki adanya hubungan langsung antara kesengajaan si pembujuk dengan terjadinya delik
yang dilakukan oleh orang yang dibujuk. Jadi masalah pokoknya berkisar pada sampai seberapa jauh
“kesengajaan” menurut pasal 55 (2) itu dapat dipertanggungjawabkan kepada di pembujuk, apakah
hanya bertanggung jawab terhadap “kesengajaan dengan maksud (yang langsung dituju)” atau
meliputi juga seluruh corak kesengajaan.
Apabila pengertian “sengaja yang dianjurkan” dalam pasal 55 (2) meliputi juga dolus
eventualis yang dilakukan oleh pembuat materiil, maka dlam kasus diatas A juga dapat
dipertanggungjawabkan terhadap matinya D apabila terbukti bahwa pada saat B (pembuat materiil)
menembak C dapat dibayangkan kemungkinan tertembaknya orang lain (b) yang berada di dekat C.
Penetuan hal ini dilakukan secara normative oleh Hakim.
5. Pembantuan (Medeplichtige)
a. Sifat : Dilihat dari perbuatannya.
Pembantuan ini bersifat accessoir artinya untuk adanya pembantuan harus ada orang yang
melakukan kejahatan (harus ada orang yang dibantu). Tetapi dilihat dari pertanggungjawaban tidak
accessoir. Artinya dipidananya pembantu tidak tergantung pada dapat tidaknya si pelaku dituntut
pidana.
b. Jenis
Menurut pasal 56 KUHP, ada dua jenis pembantu :
1) Jenis pertama :
a) Waktunya : Pada saat kejadian dilakukan;
b) Caranya : Tidak ditentukan secara limitatif dalam undang-undang
2) Jenis kedua:
a) Waktunya : sebelum kejahatan dilakukan;
b) Caranya : Ditentukan secara limitatif dalam undang-undang (yaitu dengan cara : memberi
kesempatan, sarana atau keterangan).
Pembantuan jenis pertama ini mirip dengan turut serta (medeplegen) perbedaannya sbb:
Pembantuan Turut Serta
Menurut ajaran penyertaan obyektif:
perbuatannya hanya membantu/menunjang
(ondersteuning shanling)
Menurut ajaran obyektif : perbuatan
merupakan perbuatan pelaksanaan
(uitvoering shandelling)
Menurut ajaran subyektif:
 Kesenjangan merupakan animus socii
(hanya untuk memberi bantuan saja pada
orang lain);
 Tidak harus ada kerja sama yang disadari
(beweste samenwerking)
 Tidak mempunyai kepentingan/tujuan
sendiri.
Menurut ajaran subyektif :
 Kesenjangan merupakan animus
coauctores (diarahkan untuk terwujudnya
delik);
 Harus ada kerja sama yang disadari
(bewuste samenworking)
 Mempunyai kepentingan /tujuan sendiri.
Terhadap pelanggaran tidak dipidana (pasal Terhadap kejahatan maupun pelanggaran
http://www.kejaksaan.go.id/pusdiklat/uplimg/File/Asas-asas%20Hukum%20Pidana.doc
54
60 KUHP). dapat dipidana.
Maksimum pidananya dikurangi sepertiga
(pasal 57-1).
Maksimum pidananya sam dengan si
pembuat.
Pembantuan jenis kedua ini mirip dengan penganjuran (uitlokking). Perbedaannya adalah
sebagai berikut:
Penganjuran Pembantuan
Kehendak untuk melakukan kejahatan pada
pembuat materiil ditimbulkan oleh si
pengajur (ada kausalitas psikhis)
Kehendak jahat pada pembuat materiil
sudah ada sejak semula (tidak ditimbulkan
oleh si pembantu).
Adanya ajaran/teori penyertaan yang obyektif dan subyektif, ditimbulkan oleh adanya
konsepsi yang saling bertentangan menganai batas-batas pertanggungjawaban para peserta, yaitu :
a. Sistem yang berasal dari hukm Romawi,
Menurut system ini tiap-tiap peserta sama nilainya (sama jahatnya) dengan orang yang
melakukan, tindak pidana itu sendiri, sehingga mereka masingt-masing juga
dipertanggungjawabkan sama dengan pelaku.
Karena tiap-tiap peserta dipertanggungjawabkan sama, maka batas antara bentuk-bentuk
penyertaan sama, maka batas antara bentuk-bentuk penyertaan tidaklah prinsip, yang dijadikan
titik berat untuk menentukan batas antara pelaku dengan para peserta diletakkan pada
perbuatannya dan saat bekerjanya masing-masing (jadi bersifat obyektif). Pendirian inilah yang
kemudian dikenal dengan teori atau jaran penyertaan obyektif.
Sistem yang pertama ini terdapat dalam Code Penal Prancis dan dianut juga di Inggris.
b. Sistem yang berasal dari para jurist Italia dalam abad pertengahan.
Menurut system ini tiap-tiap peserta tidak dipandang sama nilainya (tidak sama jahatnya),
tergantung dari perbuatan yang dilakukan. Oleh karena itu pertanggungjawabannya juga
berbeda, ada kalanya sama berat dan ada kalanya lebih ringan dari pelaku. Karena
pertanggungjawaban para peserta itu berbeda, maka batas antara masing-masing bentuk
penyertaan itu adalah prinsip sekali, artinya harus ditentukan secara tegas. Adapun yang
dijadikan batas antara masing-masing bentuk penyertaan dititik beratkan pada sikap batin
masing-masing peserta. Pendirian inilah yang dikenal dengan teori atau ajaran penyertaan yang
subyektif.
Sistem, kedua ini dianut dalam KUHP Jerman dan Swiss. Seperti telah dikemukakan, di
Jerman dibedakan antara Tater (pembuat), anstifter (penganjur) dan Gehilfe (pembantu).
Berdasar teori subyektif, maka jarang termasuk tater harus mempunyai tater-willen (niat untuk
menganjurkan) dan yang termasuk Gehilfe harus mempunyai Gehilfewiller (niat untuk
membantu orang lain).
Menurut Prof Moelyatno, KUHP kita dapat digolongkan kedalam kelompok teori campuran
karena :
a) Dalam pasal 55 disebutkan “dipidana sebagai pembuat” dan dalam pasal 56 disebutkan “
dipidana sebagai pembantu”. Dengan adanya dua bentuk penyertaan ini (yang dapat disamakan
dengan pembagian autors dan complices di Prancis atau principals dan accessoir di Inggris,
berarti menganut system yang pertama.
b) Akan tetapi apabila dilhat perbedaan pertanggungjawabannya yaitu pembantu dipidana lebih
ringan (dikurangi sepertiga) dari si pembuat, maka ini berarti dianut yang kedua.
Selanjutnya dikemukakan oleh beliau, bahwa apabila pada dasarnya KUHP kita menganut
system Code Penal (system pertama) dengan pengecualian untuk pembantuan dianut system KUHP
Jerman (system kedua), maka konsekuensinya ialah :
a) Perbedaan dalam pasal 55 antara pelaku orang yang menyuruh lakukan, yang turut serta dan
yang menganjurkan, dalah tidak prinsipil. Ini berarti batas antara mereka yang tergolong dalam
“daders” itu tidak perlu ditentukan secara subyetif menurut niatnya masing-masing peserta,
tetapi cukup secara obyektif menurut bunyinya peraturan saja.
Dalam hubungan ini yang penting adalah perbedaan antara orang yang menyuruh lakukan
dan penganjur. Perbedaan antara keduanya jangan dicari dalam sikap batin masing-masing,
tetapi cukup bahwa :
 Untuk menjadi orang yang menyuruh lakuka, apabila orang yang disuruh tidak dapat
dipidana sebagai pembuat karena dipandang tidak mempunyai kesalahan, dan
 Untuk menjadi pengajur sudah cukup, apabila cara-cara yang digunakan untuk
menganjurkan tersebut dalam pasal 55 (1) ke-2 dan si pembuat materiil dapat
dipertanggungjawabkan.
b) Perbedaan antara pembuat (dader) dan pembantu (megeplichtige)) adalah prinsipil, sehingga
batas antara keduanya ditentukan menurut sikap batinnya.
c. Pertanggungjawaban pembantu
Asas-asas Hukum Pidana
55
1) Pada prinsipnya KUHP menganut system bahwa pidana poko untuk pembantu lebih ringan dari
pembuat. Prinsip ini terlihat didalam pasal 57 (1) dan (2) yaitu : - Maksimum pidana poko untuk
pembantuan dikurangi sepertiga (ayat 1);
 Apabila kejahatan diancam pidana mati atau penjara seumur hidup, maka maksimum pidana
untuk pembantu ialah 15 tahun penjara (ayat 2).
 Pengecualian terhadap prinsip ini terlihat dalam :
a) Pasal 333 (4) : Pembantu dipidana sama berat dengan pembuat, (lihat juga pasal 415 dan
417).
b) Pasal 231 (3) : Pembantu dipidana lebih berat dari si pembuat, (lihat juga pasal 349).
2) Pidana tambahan untuk pembantu sama dengan ancaman terhadap kejahatannya itu sendiri, jadi
sama dengan si pembuat (pasal 57 : 3).
3) Dalam pertanggungjawaban seorang pembantu, KUHP mengamut system bahwa
pertanggungjawabannya berdiri sendiri (tidak bersifat accessoir), artinya tidak digantungkan
pada pertanggungjawaban si pembuat. Misal pasal 57 (4) dan 58.
4) Ada pendapat dari Prof Moelyatno dan Prof. Oemar sadji, bahwa system pemidanaan untuk
pembantuan hendaknya dipakai system “facultative Minderbes Taftung / strafmilderung yaitu
terserah pada hakim apakah terhadap pembantu pidananya akan dikurangi atau tidak.
E. PENYERTAAN DENGAN KEALPAAN (CULPOSE DEELNEMING)
Misal :
1. A memberi gunting kepada B yang katanya untuk menggunting kain, tetapi ternyata digunakan
oleh B untuk mencuri atau untuk membunuh.
2. Pada waktu B akan memasuki rumah C dengan maksud mencuri, ia berkelakuan seolah-olah
(pura-pura) kehilangan kunci rumah A yang pada waktu itu lewat dan sama sekali tidak tahu
bahwa B berdiri dimuka rumah orang lain dan telah merencanakan untuk mencuri, menolong B
membuka kaca jendela sehingga B dapat masuk ke rumah C.
Dalam contoh-contoh diatas, menurut Vos, A tidak dapat dipidana karena adanya untuk
“membujuk” atau “membantu” menurut hukum pidana positif harus ada unsur sengaja. Unsur ini
harus juga dipenuhi untuk :
 Doenplegen / menyuruh lakukan (dianalogikan dengan “membujuk”)
 Medeplegen / turut serta (dianalogikan dengan “membantu”).
Terhadap kasus serupa itu Karni juga berpendapat A tidak dapat dipidana karena adanya
unsur “sengaja” didalam pasal 56 merupakan anasir subyektif dari pembantuan, artinya kesengajaan
si pembantu harus diarahkan pada kejahatan yang bersangkutan.
F. PENYERTAAN MUTLAK PERLU (NOODZAKELIJKE DEELNEMING / NECESSARY
COMPLICITY).
Misal:
1. Pasal 149 : Menyuap (membujuk) seseorang untuk tidak menjalankan haknya untuk memilih;
2. Pasal 238 : membujuk orang untuk masuk dinas militer Negara asing;
3. pasal 297 : bigamy
4. pasal 284 : perzinahan;
5. pasal 287 : melakukan hubungan kelamin dengan anak perempuan di bawah umur 15 tahun;
6. Pasal 345 : menolong orang lain untuk bunuh diri.
Dalam contoh-contoh diatas, delik baru terjadi kalau ada orang lain (kawan berbuat) yang
mau harus ada, apabila kawan berbuat itu tidak ada maka delik itu tidak dapat dilakukan. Inilah yang
dimaksud dengan penyertaan yang tidak dapat dihindarkan atau penyertaan yang harus dilakukan.
Mr. Karni menyebutnya dengan “istilah” bekerja bersama-sama yang diharuskan oleh
penegasan delik . jadi istilah beliau dimasukkan dalam pengertian “noodzakelijke medeplegen”
(turut serta yang diharuskan), karena yang dimaksud dengan istilah “bekerja / berbuat bersamasama”
oleh beliau adalah sama dengan istilah “turut serta” (medeplegen).
Dalam pasal-pasal diatas ada yang menetapkan bahwa dipidana hanya si pelaku, tetapi ada
juga yang menetapkan bahwa kawan pelakunya dapat dipidana. Mengenai pasal 287, Kami
mempersoalkan bagaimana apabila justru yang membujuk terjadinya delik itu adalah anak
perempuan yang belum berumur 15 tahun itu ? terhadap hal ini, kami menyatakan tidak keberatan
untuk memidana anak gadis tersebut.
G. TINDAKAN-TINDAKAN SESUDAH TERJADINYA TINDAK PIDANA SEBAGAI DELIK
YANG BERDIRI SENDIRI.
Misal :
1. pasal 221 : menyembunyikan penjahat;
http://www.kejaksaan.go.id/pusdiklat/uplimg/File/Asas-asas%20Hukum%20Pidana.doc
56
2. pasal 223 : menolong orang melepaskan diri dari tahanan;
3. Pasal 480, 481, 482 : delik penadahan;
4. pasal 483 : menerbitkan tulisan / gambar yang dapat dipidana karena sifatnya.
Dalam contoh-contoh diatas sebeanrnya juga merupakan bentuk penyertaan, tetapi yang
dilakukan setelah terjadinya tindak pidana lain. Dalam il;mu hukum pidana Jerman dikenal dengan
istilah “Nachtaterschaft” atau “Begunstigung” (bentuk-bentuk “pemudahan”).
H. PERBUATAN PENYERTAAN DALAM PENYERTAAN (DEELNEMING AAN
DEELNEMINGSHANSELINGEN)
Misal :
1. Membujuk untuk membujuk (pasal 55 jo 56);
 putusan Landraad Batavia 18-21936
 putusan Rv j Batavia 20-3-1936
 putusan Rv j Senmarang 20-12-1937
2. membujuk untuk membantu (pasal 55 jo 56);
 putusan Rv j Batavia 8-5-1930
3. membantu untuk menganjurkan (pasal 56 jo 55)
 putusan Hoge Raad 25-1-1950
Catatan :
Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel Surabaya 2011
bagi mereka yang memandang “deelneming” sebagai “Tatbescandausdeh-nungsgrund”, contohcontoh
diatas dapat dimaklumi karena penyertaan dipandang sebagai “delichtum sui generic”. Namun
bagi mereka yang memandangnya sebagi “strafaus-dehnungsgrund”, contoh-contoh diatas dipandang
tidak mungkin atau janggal.
http://www.kejaksaan.go.id/pusdiklat/uplimg/File/Asas-asas%20Hukum%20Pidana.doc
2
BAB XII
GABUNGAN TINDAK PIDANA (SAMENLOOP / CONCURSUS)
Dalam suatu tindak pidana dikatakan telah terjadi suatu perbarengan dalam kondisi, jika satu
orang, melakukan lebih dari 1 tindak pidana, yang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana pada
orang tersebut, di mana untuk tindak pidana itu belumada putusan hakim diantaranya dan terhadap
perkara-perkara pidana itu akan diperiksa serta diputus sekaligus.
A. BEBERAPA PANDANGAN.
Ada dua kelompok pandangan mengenai persoalan concursus:
1. Yang memandang sebagai masalah pemberian pidana a.l Hazewinkel- Suringa
2. Yang memandang sebagai bentuk khusus dari tindak pidana a.l : Pompe, Mezger, Moelyatno.
B. PENGATURAN DIDALAM KUHP
Didalam KUHP diatur dalam pasal 63 s/d 71 yang terdiri dari:
1. Perbarengan peraturan (concursus Idealis) pasal 63.
2. Perbuatan berlanjut (Delictum Continuatum /Voortgezettehandeling) pasal 64.
3. Perbarengan perbuatan (Concursus Realis) pasal 65 s/d 71.
C. PENGERTIAN
1. Menurut rumusan KUHP
Sebenarnya didalam KUHP tidak ada definisi mengenai Concursus, namun demikian dari
rumusan pasal-pasal diperoleh pengertian sbb :
 Concursus Idealis, pasal 63 (suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana.
 Ada perbuatan berlanjut, apabila pasal 64
Seseorang melakukan beberapa, perbuatan tersebut masing-masing merupakan kejahatan
atau pelanggaran antara perbuatan-perbuatan itu ada hubungan sedemikian rupa sehingga harus
dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut.
Catatan : Diantara perbuatan-perbuatan yang dilakukan pada (concursus realis dan perbuatan berlanjut)
narus belum ada keputusan hakim.
2. Menurut pendapat sarjana
Adanya istilah “perbuatan/feit” dalam pasal-pasal di atas menimbulkan masalah yang cukup
sulit, khususnya dalam hal terdakwa hanya melakukan perbuatan. Kesulitan ini timbul karena dalam
ilmu pengetahuan hukum pidana, “perbuatan” (feit) itu ada meninjaunya secara materiil, secara fisik
jasmaniah, yaitu dipikikan terlepas dari akibatnya, terlepas dari unsur-unsur tanbahan (dikenal
dengan jaran feit materiil), dan ada pula yang melihatnya dari sudut hukum yaitu yang dihubungkan
dengan danya akibat / keadaan yang terlarang.
Sehubungan dengan kesulitan itu, maka para sarjana mengemukakan beberapa pendapat :
a. HAZEWINKEL-SURINGA
Ada concursus Idealis apabila suatu perbuatan yang sudah memenuhi suatu rumusan delik, mau
tidak mau (eoipso) masuk pula dalam peraturan pidana lain.
Misal : perkosaan dijalan umum, disamping masuk 281 (melanggar kesusilaan di muka umum).
b. POMPE
Ada concursus Idealis, apabila orang melakukan sesuatu perbuatan konkrit yang diarahkan
kepada satu tujuan merupakan benda / obyek aturan hukum. Misalnya bersetubuh dengan anak
sendiri yang belum berusia 15 th, perbuatan ini masuk pasal 294 (perbuatan cabul dengan anak
sendiri yang belum cukup umur) dan pasal 287 (bersetubuh dengan wanita yang belim berusia
15 tahun diluar perkawinan).
c. TAVERNE
Ada concursus Idealis , apabila :
1) Dipandang dai sudut hukumpidana ada dua perbuatan atau lebih;
2) Antara perbuatan-perbuatan itu tidak dapat dipikirkan terlepas satu sama lain.
Contoh : Oranga dalam keadaan mabuk mengendarai mobil diwaktu malam tanpa lampu.
Dalam hal ini perbuatan hanya satu yaitu “mengendarai mobil”, tetapi dilihat dari sudut
hukumada dua perbuatan yang masing-masing dapat dipikirkan terlepas satu sama lain, yaitu:
Pertama, “mengendarai mobil dalam keadaan mabul” (menggambarkan keadaan orang /
pelakunya) dan kedua “mengendarai mobil tanpa lampu diwaktu malam” (menggambarkan
keadaan mobilnya). Jadi dalam hal ini ada Concursus Realis.
d. VAN BEMMELEN
Ada Concursus Idealis, apabila :
1) Dengan melanggar satu kepentingan hukum.
2) Dengan sendirinya melakukan perbuatan (feit) yang lain pula.
Asas-asas Hukum Pidana
3
Contoh : Perkosaan dijalan umum (melanggar pasal 285 & 281 KUHP). Khusus mengenai
penjelasan M.v.T mengenai criteria untuk adanya “perbuatan berlanjut” seperti dikemukakan
diatas, Simons tidak sependapat. Mengenai syarat “ ada satu keputusan kehendak”, Simons
mengartikannya secara umum dan lebih luas yaitu “tidak berarti harus ada kehendak untuk tiaptiap
kejahatan”. Berdasar pengertian yang luas ini, maka tidak perlu perbuatan-perbuatan itu
sejenis, asal perbuatan itu dilakukan dalam rangka pelaksanaan tujuan. Misalnya untuk
melampiaskan balas dendamnya kepada B, A melakukan serangkaian perbuatan-perbuatan
berupa meludahi, merobek bajunya, memukul dan akhirnya membunuh.
D. SISTEM PEMBERIAN PIDANA/STELSEL PEMIDANAAN
1. Concursus Idealis
Pada Concursus Idealis (pasal 63) sebagai berikut:
a. Menurut ayat 1 digunakan system absorbsi, yaitu hanya dikenakan satu pidana pokok yang
terberat.
Misal : perkosaan dijalan umum, melanggar pasal 285 (12 th penjara) dan pasal 281 (2 tahun 8
bulan penjara). Maksimum pidana penjara yang dapat dikenakan ialah 12 tahun.
b. Apabila Hakim menghadapi pilihan antara dua pidana poko sejenis yang maksimumnya sama,
maka menurut VOS ditetapkan pidana pokok dengan tambahan yang paling berat.
c. Apabila menghadapi dua pilihan antara dua pidana pokok yang tidak sejenis, maka penetuan
pidana yang terberat didasarkan pada urut-urutan jenis pidana seperti tersebut dalam pasal 10
(lihat pasal 69 ayat (1) jo pasal 10), jadi misalnya memilih antara 1 minggu penjara, 1 tahun
kurungan dan denda 5 juta rupiah, maka pidana yang terberat adalah 1 minggu penjara.
d. Dalam pasal 63 ayat (2) diatur ketentuan khusus yang menyimpang dari prinsip umum dalam
ayat (1), dalam hal ini berlaku adagium “lex specialis derogate legi generali” Contoh : seorang ibu
membunuh anaknya sendiri pada saat anaknya dilahirkan. Perbuatan ibu ini dapat masuk dalam
pasal 338 (15 tahun penjara dan pasal 341 (7 tahun penjara). Maksimum pidana penjara yang
dikenakan ialah yang terdapat dalam pasal 341 (lex specialis) yaitu 7 tahun penjara.
2. Perbuatan Berlanjut
Pada perbuatan berlanjut (pasal 64) sebagai berikut:
a. Menurut pasal 64 ayat (1), pada prinsipnya berlaku system absorbsi yaitu hanya dikenakan satu
aturan pidana, dan jika berbeda-beda dikenakan satu aturan pidana, dan jika berbeda-beda
dikenakan ketentuan yang memuat ancaman pidana pokok yang terberat.
b. Pasal 64 ayat (2) merupakan ketentuan khusus dalam hal pemalsuan dan perusakan mata uang.
Misal A setelah memalsu mata uang (pasal 244 dengan ancaman pidana penjara 15 tahun)
kemudian menggunakan / mengedarkan mata uang yang palsu itu (pasal 245 dengan ancaman
pidana penjara 15 tahun). Dalam hal ini perbuatan A tidak dipandang sebagai concursus Realis,
tetapi tetap dipandang sebagai perbuatan berlanjut sehingga ancaman maksimum pidananya
dapat dikenakan 15 tahun penjara
c. Pasal 64 ayat (3) merupakan ketentuan khusus dalam hal kejahatan-kejahatn ringan yang
terdapat dalam pasal 364 (pencurian ringan), 373 (penggelapan ringan), 379 (penipuan ringan)
dan 407 (1) (perusakan barang ringan) yang dilakukan sebagai perbuatan berlanjut.
Apabila nilai kerugian yang timbul dari kejahatan-kejahatn ringan yang dilakukan sebagai
perbuatan berlanjut itu lebih dari Rp. 250,- maka menurut pasal 64 ayat (3) dikenakan aturan
pidana yang berlaku untuk kejahatan biasa. Berarti yang dikenakan adalah pasal 362 (pencurian),
372 (penggelapan), 378 (penipuan) atau 406 (perusakan barang).
3. Concursus Realis
Pada Concursus Realis (pasal 65 s/d 71) sbb:
a. Untuk concursus realis berupa kejahatan yang diancam pidana pokok sejenis, berlaku pasal 65
yaitu hanya dikenakan satu pidana dengan ketentuan bahwa jumlah maksimum pidana tidak
boleh lebih dari maksimum terberat ditambah sepertiga.
Misal:
1) A melakukan 3 jenis kejahatan yang masing-masing diancam pidana 4 tahun, 5 tahun dan 9
tahun. Dalam hal ini yang dapat digunakan ialah 9 tahun + (1/3 x 9) tahun = 12 tahun
penjara. Jadi disini berlaku system absorbsi yang dipertajam.
2) A melakukan 2 jenis kejahatan yang masing- masing diancam pidana penjara 1 tahun dan 9
tahun. Dalam hal ini, maksimum pidana yang dapat dijatuhkan ialah jumlah ancaman
pidananya yaitu 10 tahun penjara, karena melebihi jumlah maksimum pidana untuk masingmasing
kejahatan tersebut.
http://www.kejaksaan.go.id/pusdiklat/uplimg/File/Asas-asas%20Hukum%20Pidana.doc
4
b. Untuk concursus realis berupa kejahatan yang diancam pidana pokok tidak sejenis berlaku pasal
66 yaitu semua jenis ancaman pidana untuk tiap-tiap kejahatan dijatuhkan, tetapi jumlahnya
tidak boleh melebihi maksimum piudana yang terberat ditambah sepertiga, system ini disebut
system Kumulasi yang diperlunak.
Misal :
1) A melakukan 2 jenis kejahatan yang masing-masing diancam pidana 9 bulan kurungan dan
dua tahun penjara.
Dalam hal ini semua jenis pidana (penjara dan kurungan) harus dijatuhkan. Adapun
maksimumnya adalah 2 tahun ditambah (1/3 x 2) tahun = 2 tahun 9 bulan atau 33 bulan.
Dengan demikian pidana yang dijatuhkan misalnya terdiri dari 2 tahun penjara dan 8 bulan
kurungan.
2) Bagaimanakah dalam hal A melakukan 2 jenis kejahatan yang masing-masing diancam 6
bulan penjara dan denda Rp. 1.000,- ? mengenai hal ini ada dua pendapat :
 Menurut Noyon semuanya harus dijatuhkan yaitu 6 bulan penjara dan denda Rp. 1.000,-;
Menurut blok perhitungannya sbb : pidana denda dijadikan dulu pidana kurungan
pengganti yaitu maksimum 6 bulan (lihat pasal 30 KUHP). Dengan demikian
maksimumnya ialah 6 + (1/3 x 6) bulan = 8 bulan. Karena semua jenis pidana harus
dijatuhkan maka 6 bulan ini dipecah menjadi 6 bulan penjara dan 2 bulan kurungan
pengganti atau sama dengan 1/3 x Rp. 1.000,- = Rp. 333,30,- (atau dibulatkan menjadi Rp.
334,-_
Perhitungan blok mengenai jumlah pidana kurungan pengganti di atas masih
didasarkan pada perhitungan lama sebelum adanya perubahan pidana denda 15 kali
menurut UU No. 18 tahun 1960.
 Menurut perhitungan lama, tiap denda 50 sen atau kurang dihitung sama dengan satu hari
kurungan pengganti, tetapi karena menurut pasal 30 (3) maksimum kurungan pengganti 6
bulan, maka untuk denda Rp. 1.000,- maksimumnya kurungan penggantinya 6 bulan.
Dengan telah adanya perubahan pidana denda, maka 1 hari kurungan pengganti
dihitung sama dengan Rp. 7,50,- (yaitu 50 sen dikalikan 15) jadi untuk denda Rp. 1.000,-
kurungan penggantinya sama dengan 134 hari (dibulatkan).
Dengan demikian apabila diikuti perhitungan menurut Blok di atas maka jumlah
maksimum 8 bulan dapat dipecah misalnya menjadi 6 bulan penjara dan 2 bulan kurungan
pengganti atau sama dengan denda 60/134 x Rp. 1.000,- = Rp.447,76.
3) Bagaimanakah dalam hal A melakukan dua jenis kejahatan yang terdapat dalam pasal 351
(diancam pidana 2 tahun 8 bulan penjara atau denda Rp. 4.500,-) dalam pasal 360 (diancam
pidana 5 tahun penjara atau 1 tahun kurungan ?
Dalam hal ini hakim harus mengadakan “pilihan hukum” terlebih dahulu. Kalau dipilih
ancaman pidana yang sejenis, maka digunakan system absornsi yang dipertajam / diperberat
(pasal 65).
c. Untuk Concursus Realis berupa pelanggaran, berlaku pasal 70 yang menggunakan system
kumulasi. Misal A melakukan dua pelanggaran yang masing-masing diancam piadan kurungan
6 bulan dan 9 bulan, maka maksimumnya adalah (6+9) bulan = 15 bulan. Namun menurut pasal
70 ayat 2, system kumulasi itu dibatasi sampai maksimum 1 tahun 4 bulan kurungan. Jadi misal
A melakukan dua pelanggaran yang masing-masing diancam pidana kurungan 9 bulan, maka
maksimum pidana kurungan yang dapat dijatuhkan bukanlah (9+9) bulan = 18 bulan, tetapi
maksimumnya adalah 1 tahun 4 bulan atau hanya 16 bulan.
d. Untuk Concursus Realis berupa kejahatan ringan, khusus untuk pasal 302 (1), 352, 364, 373, 379
dan 482 berlaku pasal 70 bis yang menggunakan system kumulasi tetapi dengan pembatan
maksimum untuk penjara 8 bulan.
Misal :
1) A melakukan pencurian ringan (pasal 364) dan penggelapan ringan (pasal 373) yang masingmasing
diancam pidana 3 bulan penjara. Maksimum pidana yang dapat dijatuhkan adalah 6
bulan penjara (system kumulasi).
2) Tetapi apabila A misalnya melakukan 3 kejahatan ringan yang masing-masing diancam
pidana penjara 3 bulan, maka maksimumnya bukan 9 bulan penjara (kumulasi) tetapi 8 bulan
penjara.
e. Untuk Concursus Realis, baik kejahatan maupun pelanggaran untuk diadili pada saat berlainan,
berlaku pasal 71 yang berbunyi sbb: “Jika seseorang setelah dijatuhi pidana kemudian
dinyatakan salah lagi karena melakukan kejahatan atau pelanggaran lain sebelum ada putusan
pidana itu, maka pidana yang dahulu diperhitungkan pada pidana yang akan dijatuhkan dengan
menggunakan aturan-aturan dalam bab ini mengenai hal perkara-perkara diadili pada saat yang
sama”.
Misal : A melakukan kejahatan-kejahatan sbb :
 Tgl. 1/1 : pencurian (pasal 362, ancaman pidana 5 tahun penjara);
Asas-asas Hukum Pidana
5
 Tgl. 5/1 : penganiayaan biasa (pasal 351 diancam 2 tahun 8 bulan);
 Tgl. 10/1 : penadahan (pasal 480, diancam 4 tahun penjara);
 Tgl. 20/1 : penipuan (pasal 378, diancam 4 tahun penjara).
Kemudian A ditangkap dan diadili dalam satu keputusan. Maksimum pidana yang dapat
dijatuhkan ialah 5 tahun + (1/3 x 5 tahun) = 6 tahun 8 bulan. Andaikata untuk keempat tindak
pidana itu, hakim menjatuhkan pidana 6 tahun penjara, maka jika kemudian ternyata bahwa A
pada tanggal 14/1 (jadi sebelum ada keputusan) melakukan penggelapan (pasal 372 yang
diancam pidana penjara 4 tahun), maka keputusan yang kedua kalinya ini untuk penggelapan
itu paling banyak hanya dijatuhi pidana penjara selama 6 tahun 8 bulan (putusan sekaligus)
dikurangi 6 tahu (putusanI) yaitu 8 bulan penjara.
Dengan contoh diatas, dapatlah bunyi pasal 71 diatas dirumuskan secara singkat sbb:
Putusan ke II = (putusan sekaligus) – (putusan ke-I).
http://www.kejaksaan.go.id/pusdiklat/uplimg/File/Asas-asas%20Hukum%20Pidana.doc
6
BAB XIII
ALASAN / DASAR PENGHAPUS PIDANA
(Strafuitsluitingsgrond, Grounds Of Impunity)
Dalam hukum pidana perlu dikemukakan materi tentang alasan-alasan yang mengecualikan
dijatuhkannya hukuman, karena menurut Utrecht, UU pidana seperti UU lainnya mengatur hak-hal
yang umum dan yang akan terjadi (mungkin akan terjadi). Sehingga, masih menurut Utrecht, UU
pidana mengatur hal-hal yang bersifat abstrak dan hipotesis. Berdasarkan sifatnya ini maka UU
pidana mengandung kemungkinan akan dijatuhkannya hukuman yang adil bagi orang-orang
tertentu yang mungkin saja tidak bersalah, meskipun orang tersebut melakukan suatu tindakan sesuai
dengan lukisan perbuatan yang dilarang oleh UU pidana. Dengan demikian materi ini menjadi
penting untuk memperoleh kepastian dan keadilan hukum dalam penyelesaian suatu perkara pidana.
Alasan atau Dasar Penghapusan Pidana merupakan hal-hal atau keadaan yang dapat
mengakibatkan seseorang yang telah melakukan perbuatan yang dengan tegas dilarang dan diancam
dengan hukuman oleh UU Pidana (KUHP), tidak dihukum, karena :
1. Orangnya tidak dapat dipersalahkan;
2. Perbuatannya tidak lagi merupakan perbuatan yang melawan hukum.
Bab I dan Bab II KUHP memuat : “ Alasan-alasan yang menghapuskan, mengurangkan dan
memberatkan pidana”. Pembicaraan selanjutnya akan mengenai alasan penghapus pidana, aialah
alasan-alasan yang memungkinkan orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi rumusan
delik, tidak dapat dipidana. M.v.T dari KUHP (Belanda) dalam penjelasannya mengenai alasan
mengahpus pidana ini, mengemukakan apa yang disebut “alasan-alasan tidak dapat
dipertanggungjawabkannya seseorang atau alasan-alasan tidak dapat dipidananya seseorang”.
M.v.T menyebut 2 (dua) alasan :
1. Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak pada diri orang itu
(inwendig), yakni :
a. Pertumbuhan jiwa yang tidak sempurna atau terganggu karena sakit (pasal 44 KUHP)
b. Umur yang masih muda (mengenai umur yang masih muda ini di Indonesia dan juga di
negeri Belanda sejak tahun 1905 tidak lagi merupakan lasan penghapus pidana melainkan
menjadi dasar untuk memperingan hukuman).
2. Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak di luar orang itu
(uitwendig), yaitu:
a. Daya paksa atau overmacht (pasal 48);
b. Pembelaan terpaksa atau noodweer (pasal 249);
c. Melaksanakan Undang-undang (pasal 50);
d. Melaksanakan perintah jabatan (pasal 51);
Selain perbedaan yang diterangkan dalam M.v.T, ilmu pengetahuan hukm Pidana juga
mengadakan pembedaan sendiri, ialah :
1. Alasan penghapus pidana yang umum (starfuitingsgronden yang umum), yaitu yang berlaku
umum untuk tiap-tiap delik dan disebut dalam pasal 44, 48, 49, 50 dan 51 KUHP;
2. Alasan penghapus pidana yang khusus (starfuitingsgronden yang khusus), yaitu yang hanya
berlaku unutk delik-delik tertentu saja, misal :
a. Pasal 166 KUHP : “Ketentuan-ketentuan pasal 164 dan 165 KUHP tidak berlaku pada orang
yang karena pemberitahuan itu mendapat bahaya untuk dituntut sendiri
dst………………………………………” Pasal 164 dan 165 memuat ketentuan : bila seseorang
mengetahui ada makar terhadap suatu kejahatan yang membahayakan Negara dan Kepala
Negara, maka orang tersebut harus melaporkan.
b. Pasal 221 ayat (2) : menyimpan orang yang melakukan kejahatan dan sebagainya”. Disini ia
tidak dituntut jika ia hendak menghindarkan penuntut dari istri, suami dan sebagainya
(orang-orang yang masih ada hubungan darah).
Ilmu pengetahuan hukum pidana juga mengadakan pembedaan lain, sejalan dengan
pembedaan antara dapat dipidananya perbuatan dan dapat dipidananya pembuat. Penghapusan
pidana dapat menyangkut perbuatan atau pembuatnya, maka dibedakan dua jenis alasan penghapus
pidana :
1. Alasan pembenar (rechtvaardigingsgrond, fait justificatif, rechtfertigungsgrund). Alasan pembenar
menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, meskipun perbuatan ini telah memenuhi
rumusan delik dalam undang-undang. Kalau perbuatannya tidak melawan hukum maka tidak
mungkin ada pemidanaan. Alasan pembenar yang terdapat dalam KUHP ialah pasal 48 (keadaan
darurat), pasal 49 ayat (1) (pembelaan terpaksa), pasal 50 (peraturan perundang-undangan) dan
pasal 51 (1) (perintah jabatan).
2. Alasan pemaaf atau alasan penghapus kesalahan (schulduitsluittingsgrond-fait d’excuse,
entschuldigungsdrund, schuldausschliesungsgrund). Alasan pemaaf menyangkut pribadi si pembuat,
dalam arti bahwa orang ini tidak dapat dicela (menurut hukum) dengan perkataan lain ia tidak
Asas-asas Hukum Pidana
7
bersalah atau tidak dapat dipertanggungjawabkan, meskipun perbuatannya bersifat melawan
hukum. Jadi disini ada alasan yang menghapuskan kesalahan si pembuat, sehingga tidak
mungkin pemidanaan.
Alasan pemaaf yang terdapat dalam KUHP ialah pasal 44 (tidak mampu bertanggungjawab),
pasal 49 ayat (2) (noodweer exces), pasal 51 ayat (2) (dengan itikad baik melaksanakan perintah jabatan
yang tidak sah).
Adapun mengenai pasal 48 (daya paksa) ada dua kemungkinan, dapat merupakan alasan
pembenar dan dapat pula merupakan alasan pemaaf.
A. ALASAN PENGHAPUS PIDANA (UMUM) DALAM KUHP
Uraian berikut membahas tentang dasar penghapus pidana yang terdapat dalam pasal 44, 48,
49, 50 dan 51 KUHP.
1. TIDAK MAMPU BERTANGGUNG JAWAB (PASAL 44)
Pasal 44 KUHP memuat ketentuan bahwa tidak dapat dipidana seseorang yang melakukan
perbuatan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan kepadanya karena kurang sempurna
akal/jiwanya atau terganggu karena sakit. Seperti diketahui M.v.T menyebutkan sebagai tak dapat
dipertanggung-jawabkan karena sebab yang terletak didalam si pembuat sendiri.
Tidak adanya kemampuan bertanggung jawab mengahpuskan kesalahan mekipun
perbuatannya tetap melawan hukum, sehingga dalam hal ini dapat dikatakan suatu alasan
penghapus kesalahan. Untuk membuktikan apakah seseorang yang melakukan tindakpidana ternyata
tidak dapat dihukum dengan lasan pasal 44 KUHP, maka kita memerlukan ilmu pengetahuan lain
yang dapat membantu yaitu psikiatri forensic. Pelaku akan diperiksa oleh seorang ahli (yang akan
menyampaikan catatan medis), selanjutnya dari hasil tersebut akan disampaikan di muka
persidangan. (Mengenai pasal 44 KUHP ini hendaknya dilihat lagi Bab Kemampuan Bertanggung
jawab yang membahas tentang kesalahan dan pertanggung jawaban pidana).
2. DAYA PAKSA-OVERMACHT (PASAL 48 KUHP)
Pasal 48 KUHP menentukan : “ tidak dipidana seseorang yang melakukan perbuatan yang
didorong oleh daya paksa”. Apa yang diartikan dengan daya paksa ini dapat dijumpai dalam KUHP.
Penafsiran bisa dilakukan dengan melihat penjelasan yang diberikan oleh pemerintah ketika undangundang
(Belanda) itu dibuat.
Dalam M.v.T dilukiskan sebagai : “setiap kekuatan, setiap paksaan atau tekanan yang dapat
ditahan”. Hal yang disebut terakhir ini, yang tak dapat ditahan”, memberi sifat kepada tekanan atau
paksaan itu. Yang dimaksud dengan daya paksaan disini bukan paksaan mutlak, yang tidak memberi
kesempatan kepada si pembuat menentukan kehendaknya. Kalimat “tidak dapat ditahan”
menunjukkan, bahwa menurut akal sehat tak dapat diharapkan dari si pembuat untuk mengadakan
perlawanan. Maka dalam overmacht (daya paksa) dapat dibedakan dalam du hal :
a. vis absoluta (paksaan yang absolut).
b. vis compulsive (paksaan yang relatif).
Daya paksa yang absolute vis absoluta dapat disebabkan oleh kekuatan manusia atau alam.
Dalam hal ini paksaan tersebut sama sekali tak dapat ditahan. Contoh : tangan seseorang dipegang
oleh orang lain dan dipukulkan pada kaca, sehingga kaca pecah. Maka orang yang pertama tadi tak
dapat dikatakan telah melakukan perusakan benda (pasal 406 KUHP).
Yang dimaksud denganm daya paksa dalam pasal 48 ialah daya paksa relative (vis
complusiva). Istilah “gedrongen” (didorong) menunjukkan bahwa paksaan itu tak dapat diharapkan
bahwa ia akan dapat mengadakan perlawanan. (Prof. Moelyatno hanya menyebut “karena penagruh
daya paksa”).
Contoh: A mengancam B, kasir bank, dengan meletakkan pistol di dada B, untuk
menyerahkan uang yang disimpan oleh B, B dapat menolak, B dapat berpikir dan menentukan
kehendaknya, jadi tak ada paksaan absolut. Memang ada paksaan tetapi masih ada kesempatan bagi
B untuk mempertimbangkan apakah ia melanggar kewajibannya untuk menyimpan surat-surat
berharga itu dan menyerahkannya kepada A atau sebaliknya, ia tidak menyerahkan dan ditembak
mati. Perlawanan terhadap paksaan itu tak boleh disertai syarat-syarat yang tinggi sehingga harus
menyerahkan nyawa misalnya, melainkan apa yang dapat diharapkan dari seseorang secara wajar,
masuk akal dan sesuai dengan keadaan. Antara sifat dari paksaan di satu pihak dan kepentingan
hukum yang dilanggar oleh si pembuat di lain pihak harus ada keseiombangan.
Pada overmacht (daya paksa) orang ada dalam keadaan dwangpositie (posisi terjepit). Ia ada
ditengah-tengah dua hal yang sulit yang sama-sama buruknya. Keadaan ini harus ditinjau secara
obyektif. Sifat dari daya paksa ialah bahwa ia datang dari luar diri si pembuat dan lebih kuat dari
http://www.kejaksaan.go.id/pusdiklat/uplimg/File/Asas-asas%20Hukum%20Pidana.doc
8
padanya. Jadi harus ada kekuatan (daya) yang mendesak dia kepada suatu perbuatan yang dalam
kata lain tak akan ia lakukan, dan jalan lain juga tidak ada.
Paksaan Dario dalam:
Kita mengambil contoh dari Arrest H.R tgl 26 Juni 1916 (Arrest “tak mau masuk tentara”). Dalam
Arrest ini, orang yang tak mau masuk dinas tentara karena suara hati atau hati nuraninya keberatan
tetap dihukum. Mereka tak mau taat pada undang-undang dan ingin mengikuti pandanganya sendiri
mengenai keadilan dan kesusilaan yang menyimpang dari ketenatuan undang-undang. Hal ini tidak
bisa diterima. Namun di Belanda sejak tahun lima puluhan ada perubahan pandangan.
 Hakim tidak boleh begitu saja mengabaikan alasan keberatan hati nurani. Ia harus memeriksa
kemungkinannya masuk kedalam alasan penghapusan pidana yang umum.
 Keberatan hati nurani (terhadap masuk dinas tentara) bukan keadaan darurat, tanpa melihat
sampai di mana si pembuat dapat di cela atas perbuatannya.
3. KEADAAN DARURAT-NOODTOESTAND (PASAL 48 KUHP)
Dalam vis compulsiva (daya paksa relative) kita dibedakan daya paksa dalam arti sempit (atau
paksaan psikis) dan keadaan darurat. Daya paksa dalam arti sempit ditimbulkan oleh orang sedang
pada keadaan darurat, paksaan itu datang dari hal di luar perbuatan orang KUHP kita tidak
mengadakan pembedaan tersebut. Di Jerman untuk daya paksa ada istilah notigungstand (pasa; 52
SGB) dan keadaan darurat disebut notstand, yang diatur dalam pasal 54 SGB.
Menurut doktrin, terdapat 3 bentuk dari keadaan darurat:
a. Pertentangan antara dua kepentingan hukum :
Contoh klasik : “papan dari carneades”.
Ada dua orang yang karena kapalnya karam hendak menyelamatkan diri dengan
berpegangan pada sebuah papan, padahal papan itu tak dapat menahan dua orang sekaligus.
Kalau kedua-duanya tetap berpegangan pada papan itu, maka kedua-duanya akan tenggelam.
Maka untuk menyelamatkan diri, seorang diantaranya mendorong temannya sehingga yang di
dorong mati tenggelam dan yang mendorong terhindar dari maut (cerita ini berasal dari
CICERO).
Orang yang mendorong tersebut tidak dapat dipidana, karena ada dalam keadaan darurat.
Mungkin ada orang yang memandang perbuatan itu bertentangan dengan norma kesusilaan,
namun menurut hukum perbuatan ini karena dapat difahami bahwa merupakan naluri setiap
orang untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya.
b. Pertentangan antara kepentingan hukum dan kewajiban hukum. Misal:
1) Orang yang sedang menghadapi bahaya kebakaran rumahnya, lalu masuk atau melewati
rumah orang lain guna menyelamatkan barang-barangnya.
2) Seorang pemilik toko kacamata kepada seorang yang kehilangan kacamatanya. Padahal pada
saat itu menurut peraturan penutupan took sudah jam tutup took, sehingga pemilik took
dilarang melakukan penjualan. Namun karena si pembeli itu ternyata tanpa kacamata tak
dapat melihat, sehingga betul-betul dalam keadaan sangat memerlukan pertolongan, maka
penjual kacamata dapat dikatakan bertindak dalam keadaan memaksa dan khususnya dalam
keadaan darurat. Permintaan kasasi oleh jaksa terhadap putusan hakim yang menyatakan
bahwa, terdakwa (opticien) tak dapat dipidana dan melepas terdakwa dari segala tuntutan, tak
dapat diterima oleh H.R (putusan tgl. 15 Oktober 1923). Terdakwa ada dalam keadaan
darurat. Ia merasa dalam keadaan seperti itu mempunyai kewajiban untuk menolong sesame
(Arrest ini disebut Arrest optician).
c. Pertentangan antara kewajiban hukum dangan kewajiban hukum:
1) Seorang perwira kesehatan (dokter angkatan laut) diperintahkan atasannya untuk
melaporkan apakah ada para perwira-perwira laut yang bebas tugas dan berkunjung ke darat
(kota pelabuhan) terjangkit penyakit kelamin. Dokter tersebut tak mau melaporkan pada
atasan, sebab dengan memberi laporan pada atasannya ia berarti melanggar sumpah jabatan
sebagai dokter yang harus merahasiakan semua penyakit dari para pasiennya.
Disini dihadapkan pada dua kewajiban hukum :
a) Melaksanakan perintah dari atasannya (sebagai tentara)
b) Memegang teguh rahasia jabatan sebagai dokter.
Ia memberatkan salah satu. Di sini ia memilih tetap merahasiakan penyakit pasiennya, jadi
ia tetap patuh pada sumpah kedokteran. Oleh pengadilan tentara ia dikenakan hukuman 1
(satu) hari, tetapi dokter tadi naik banding, dan mahkamah tentara tinggi membebaskannya
karena ia ada dalam keadaan darurat (putusan tgl. 26 November 1916).
2) Seorang yang dalam satu hari (pada waktu yang bersamaan) dipanggil menjadi saksi di dua
tempat, VAN HATTUM dalam hal 351 membandingkan daya memaksa dengan noodtoestand
sebagai berikut :
Pada daya memaksa dalam arti sempit si pembuat berbuat atau tidak berbuat dikarenakan
satu tekanan psikis oleh orang lain atau keadaan. Bagi si pembuat tak ada penentuan kehendak secara
Asas-asas Hukum Pidana
9
bebas. Ia dororng oleh paksaan psikis dari luar yang sedemikian kuatnya, sehingga ia melakukan
perbuatan yang sebenarnya tak ingin ia lakukan. Pada keadaan darurat si pembuat ada dalam suatu
keadaan yang berbahaya yang memaksa atau mendorong dia untuk melakukan suatu pelanggaran
terhadap undang-undang.
4. BELA PAKSA-PEMBELAAN DARURAT-NOODWEER (PASAL 49 AYAT (1)).
Pasal 49 ayat (1) berbunyi :”tidak dapat dipidana seseorang yang melakukan perbuatan yang
terpaksa dialkukan untuk membela dirinya sendiri atau orng lain, membela peri kesopanan sendiri
atau orang lain terhadap serangan yang melwan hukum yang mengancam langsung atau seketika itu
juga”. Perbuatan orang yang membela diri itu seolah-olah mempertahankan haknya sendiri. Tidaklah
dapat diharapkan dari seorang warga Negara menerima saja suatu perlakuan yang melawan hukum
yang ditujukan kepada dirinya. Padahal Negara dengan alat-alat perlengkapannya tidak dapat tepat
pada waktunya melindungi kepentingan hukum dari orang yang diserang itu : maka pembelaan diri
ini bersifat menghilangkan sifat melawan hukum. Istilah noodmeer atau pembelaan darurat tidak ada
dalam KUHP sehingga untuk memahaminya kita memerlukan ajaran dari para ahli hukum pidana.
Dalam pembelaan darurat ada dua hal yang pokok:
a. Adanya serangan,
Tidak terhadap semua serangan dapat diadakan pembelaan, melainkan pada serangan yang
memenuhi syarat sebagai berikut:
1) melawan hukum
2) seketika dan langsung
3) ditujukan pada diri sendiri / orang lain
4) terhadap badan / tubuh, nyawa, kehormatan seksual, dan harta benda
b. Ada pembelaan yang perlu diadakan terhadap serangan itu. Syarat pembelaan:
1) seketika dan langsung
2) memenuhi asas subsidiaritas & proporsionalitas, subsidiaritas maksudnya tidak ada cara lain
selain membela diri dan proporsionalitas artinya seimbang antara serangan dan pembelaan.
Serangan itu dapat merupakan tindak pidana, tapi hal ini tidak perlu asal saja memenuhi
syarat-syarat seperti tersebut diatas. Contoh serangan yang tidak merupakan tindak pidana, misalnya
dengan tinju menyerbu seseorang, mengambil catatan untuk di fotocopy guna kepentingan
majikannya tapi tidak untuk dimiliki sendiri.
Persoalan yang timbul pada serangan ialah : kapankah ada serangan dan kapankah serangan
itu berakhir?
Sebagai contoh : A menunggu B di luar rumah, maka perbuatan A tersebut, yakni menunggu
belum dapat dikatakan serangan. Kapan serangan itu ada dan kapan serangan itu berlangsung
menurut Hazewinkel-Suringa, ialah : jika dapat dicegah atau dihilangkan. Istilah mengancam seketika
dan langsung berarti bahwa serangan itu sedang berlangsung dan juga bahaya serangannya. Sebagai
contoh : pembunuh dengan pisau terhunus menyerbu korbannya.
Kalau misal A menembak B tidak kena dan A tidak menunjukkan akan menembak lagi, tetapi
B lalu membalas, maka perbuatan b itu bukanlah perbuatan pembelaan karena terpaksa, karena disini
terjadi serangan balasan. Tentu saja perbuatan B itu harus dilihat dalam keadaan yang menyertai
perbuatan itu. Terhadap serangan yang tidak melawan hukum tidak mungkin ada pembelaan
darurat.
Apakah perbedaan antara keadaan darurat dan pembelaan darurat ?
a. Dalam keadaan darurat dapat dilihat adanya perbenturan antara kepentingan hukum,
kepentingan hukum dan kewajiban hukum serta kewajiban hukum dan kewajiban hukum.
Dalam pembelaan daruart situasi darurat ini ditimbulkan oleh adanya perbuatan melawan
hukum yang bisa dihadapi secara sah, dengan perkataan lain dalam keadaan darurat hak
berhadapan dengan hak, sedang dalam pembelaan darurat, hak berhadapan dengan bukan hak.
b. dalam keadaan darurat tidak perlu adanya serangan, sedang dalam pembelaan darurat harus
ada serangan.
c. Dalam keadaan darurat orang dapat bertindak berdasarkan berbagai kepentingan atau alasan
sedang dalam pembelaan darurat, pembelaan itu syarat-syarat sudah ditentukan secara
limitative (pasal 49 ayat (1)).
d. Sifat keadaan darurat tidak ada keseragaman pendapat dari pada penulis yakni ada yang
berpendirian sebagai alasan pemaaf dan ada sebagai alasan pembenar, sedang dalam pembelaan
darurat para penulis memandang sebagai alasan pembenar ialah sebagai penghapus sifat
melawan hukum.
Dalam hubungan pembelaan darurat ini ada satu perbuatan orang yang disebut putatief
noodweer, disini kesengajaan dihilangkan karena orang mengira bahwa dia berada dalam keadaan di
http://www.kejaksaan.go.id/pusdiklat/uplimg/File/Asas-asas%20Hukum%20Pidana.doc
10
mana harus mengadakan pembelaan darurat dalam hal ini harus di lihat peristiwa dari peristiwa oleh
karena itu maka harus diterangkan dalam proses verbal.
5. BELA PAKSA LAMPAU-NOODWEER EXCES (PASAL 49 AYAT 2 KUHP) (pelampauan batas
pembelaan darurat atau bela paksa lampau batas)
Istilah exces dalam pembelaan darurat tidak dapat kita jumpai dalam pasal 49 ayat (2). Pasal
tersebut bunyinya : “tidak dipidana seseorang yang melampaui batas pembelaan yang diperlukan,
jika perbuatan itu merupakan akibat langsung dari suatu kegoncangan jiwa yang hebat yang
disebabkan oleh serangan itu”.
Untuk adanya kelampauan batas pembelaan darurat ini harus ada syarat-syarat sebagai
berikut :
a. Kelampauan batas pembelaan yang diperlukan, melampaui asas subsidairitas dan
proporsionalitas seperti yang diisyaratkan dalam pasala 49 ayat (1) KUHP, pasal 49 ayat (2) dan
ayat (1) itu mempunyai hubungan yang erat, maka syarat pembelaan yang tersebut dalam pasal
49 ayat (1) disebut sebagai syarat dalam pasal 49 ayat (2). Disini pembelaan itu perlu dan harus
diadakan dan tidak ada jalan lain untuk bertindak. Cara dan alat tersebut harus dibenarkan pula
oleh keadaan.
b. Pembelaan dilakukan sebagai akibat yang langsung dari kegoncangan jiwa yang hebat (suatu
perasaan hati yang sangat panas). Termasuk disini adalah rasa tajut, bingung, dan mata gelap.
c. kegoncangan jiwa yang hebat itu disebabkan karena adanya serangan, dengan kata lain : antara
kegoncangan jiwa tersebut dan serangan harus ada hubungan kausal. Yang menyebabkan
kegoncangan jiwa yang hebat itu harus penyerangan itu dan bukan misalnya karena sifat mudah
tersinggung. Disini juga yang perlu dilihat apakah serangan itu dapat menimbulkan akibat
kegoncangan jiwa yang hebat bagi orang biasa pada umumnya.
Sifat dari noodweer exces adalah menghapuskan kesalahan (pertanggungjawaban pidana), jadi
sabagai alasan pemaaf sementara perbuatannya tetap bersifat melawan hukum.
6. MENJALANKAN PERINTAH UNDANG-UNDANG (PASAL 50 KUHP).
Pasal 50 KUHP menentukan bahwa “tidak dipidana seseorang yang melakukan perbuatan
untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan”. Mula-mula Hoge Raad (HR) menafsirkan
secara sempit, yang dimaksud dengan UU ialah : undang-undang dalam arti formil, hasil perundangundangan
dari DPR dan/atau raja. Tetapi kemudian pendapat HR berubah dan diartikan dalam arti
materiil, yaitu tiap peraturan yang dibuat oleh alat pembentuk undang-undang yang umum. Dalam
hubungan ini persoalannya adalah apakah perlu bahwa peraturan perundang-undangan itu
menentukan kewajiban untuk melakukan suatu perbuatan sebagai pelaksanaan. Dalam hala ini
umumnya cukup, apabila peraturan itu memberi wewenang untuk kewajiban tersebut dalam
melaksanakan perundang-undangan ini diberikan suatu kewajiban.
Dengan perkataan lain kewajiban / tugas itu diperintahkan oleh peraturan undang-undang.
Dalam hukum acara pidana dan hukum acara perdata dapat dijumpai adannya kewajiban dan tugastugas/
wewenang yang diberikan pada pejabat/orang untuk bertindak, untuk dapat membebaskan
diri dari tuntutan hukum. Jadi untuk dapat menggunakan pasal 50 ini maka tindakan harus
dilakukan secara patut, wajar dan masuk akal. Jadi dalam tindakan ini seperti dalam daya memaksa
dan dalam pembelaan darurat harus ada keseimbangan antara tujuan yang hendak dicapai dengan
cara pelaksanaannya.
Misalnya : Pejabat polisi, yang menembak mati seorang pengendara sepeda yang melanggar
peraturan lalu lintas karena tidak mau berhenti tanda peluitnya, tidak dapat berlindung dibawah
pasal 50 KUHP ini. Kejengkelan pejabat tersebut tidak dapat membenarkan tindakannya. Perbuatan
orang yang menjalankan peraturan undang-undang tidak bersifat melawan hukum, sehingga pasal 50
tersebut merupakan alasan pembenar. Kadang-kadang dalam melaksanakan peraturan undangundang
dapat bertentangan dengan peraturan lain. Dalam hal ini dipakai pedoman : “lex specialis
derogate legi generaki” atau “lex posterior derogate legi priori”. Yang diperbolehkan adalah tindakan
eksekutor yang melaksanakan eksekusi terhadap terpidana mati.
7. MELAKSANKAN PERINTAH JABATAN (PASAL 51 AYAT (1) DAN (2)).
Sesuai pasal 51 ayat (1) yang menyebutkan bahwa “tidak dipidana seseorang yang melakukan
perbuatan untuk melaksankan perintah jabatan yang sah”, maka orang dapat melaksanakan undangundang
sendiri, akan tetapi juga dapat menyuruh orang lain untuk melaksankannya. Maka jika
seorang melakukan perintah yangsah ini maka ia tidak melakukan perbuatan yang melawan hukum.
Contoh kasus : seorang Letnan Polisi diperintah oleh Kolonel Polisi untuk menangkap pelaku
tindak pidana. Colonel polisi tersebut berwenang untuk memerintahkannya. Jadi dalam hal ini letnan
polisi tersebut melaksanakan perintah jabatan yang sah. Bilamanakah perintah itu dikatakan sah ?
apabila perintah itu berdasarkan tugas, wewenang atau kewajiban yang didasarkan kepada suatu
peraturan. Anatar orang yang diperintah dan orang yang memerintah harus ada hubungan jabatan
Asas-asas Hukum Pidana
11
dan harus ada hubungan sub-ordinasi (hubungan atasan dan bawahan), meskipun sifatnya
sementara, misalnya seperti permintaan bantuan oleh pamong praja kepada angkatan bersenjata
(sesuai pasal 413 KUHP). Dalam pasal 51 inipun cara melaksanakan perintah harus patut dan wajar,
pula harus seimbang dan tidak boleh melampaui batas kepatutan. Perintah jabatan ini adalah alasan
pembenar.
Syarat pasal 51 ayat (2) KUHP, dikatakan melakukan perintah jabatan yang tidak sah
menghapuskan dapat dipidananya seseorang. Dalam keadaan ini perbuatan orang ini tetap bersifat
melawan hukum, akan tetapi pembuatnya tidak dipidana, apabila memenuhi syarat:
a. jika ia mengira dengan itikad baik bahwa perintah itu sah.
b. perintah itu berada dalam lingkungan wewenang dari orang yang diperintah.
Sebagai contoh : seorang agen polisi mendapat perintah dari kepala kepolisian untuk
menangkap seorang agitator dalam suatu rapat umum atau umumnya seorang yang dituduh telah
melakukan kejahatan, tetapi ternyata perintah tidak beralasan atau tidak sah. Disini agen polisi tidak
dapat dipidana karena : ia patut menduga bahwa perintah itu sah dan pelaksanaan perintah itu ada
dalam batas wewenangnya.
Contoh lainnya: Seorang kepala kantor memerintahkan kepada bendaharawan untuk
mengeluarkan sejumlah uang guna sesuatu pembelian, misal : mobil, yang tidak masuk dalam mataanggaran.
Andaikata bendaharawan tiu melaksanakan perintah tersebut tapa akibatnya ? perintah
tersebut tidak sah karena pembelian mobil itu tidak termasuk dalam wewenang bendaharawan
tersebut, sebabnya ialah pengeluaran dari pemerintah sudah ditentukan pos-pos tertentu. Disini
bendaharawan itu dapat dipidana, karena ia patut menduga bahwa perintah itu tidak sah.
Catatan: Mengenai ketaatan seorang bawahan kepada atasannya Hazewinkel-Suringa mengatakan,
bahwa ketaatan yang membuta tidak mendisculpeert” (tidak patut di pidananya perbuatan).
Contoh lainnya: Seorang kepala polisi memerintahkan anak buahnya untuk memukuli
seorang tahanan yang menjengkelkan. Andaikata bawahan ini mengira bahwa perintah itu sah maka
ia tetap dapat dipidana, karena memukul seorang tahanan tidak termasuk wewenang dari seorang
anggota polisi. Sifat dari perbuatan seorang yang melakukan perbuatan karena perintah jabatan yang
tidak sah ialah : perbuatannya tetap perbuatan yang melawan hukum, tetapi behubung dengan
keadaan pribadinya maka ia tidak dapat dipidana. Keadaan tersebut adalah merupakan alasan
pemaaf.
B. ALASAN PENGHAPUS PIDANA DI LUAR UU.
Dimuka telah dibicarakan tentang alasan penghapus pidana yang berupa alasan pembenar
dan pemaaf (atau alasan penghapus kesalahan) yang terdapat dalam KUHP, diluar undang-undang
pun ada alasan penghapus pidana, misalnya :
1. hak dari orang tua, gurur untuk menertibkan anak-anak atau anak didiknya (tuchtrecht);
2. hak yang timbul dari pekerjaan (beroepsrecht) seorang dokter, apoteker, bidan dan penyelidik
ilmiah (misalnya untuk vivisectie);
3. ijin atau persetujuan dari orang yang dirugikan kepada orang lain mengnai suatu perbuatan
yang dapat dipidana, apabila dilakukan tanpa ijin atau persetujuan (consent of the victim);
4. mewakili urusan orang lain (zaakwaarneming);
5. tidak adanya unsur sifat melawan hukum yang materiil (arrest dikter hewan);
6. tidak adanya kesalahan sama sekali (avas, pada arrest susu dan air).
C. ALASAN PENGHAPUS PIDANA PUTATIEF DAN AVAS
Ada kemungkinan bahwa seseorang mengira telah berbuat sesuatu dalam daya paksa atau
dalam keadaan pembelaan darurat atau dalam menjalankan undang-undang atau dalam
melaksanakan perintah jabatan yang sah, pada kenyataannya ialah bahwa tidak ada alasan
penghapus pidana tersebut dalam hal ini ada alasan penghapus pidana yang putatief. Dapatkah orang
tersebut dipidana ? sesuai dengan pendapat MJ van Bemmelen orang tersebut tidak dapat dijatuhi
pidana, apabila dapat diterima secara wajar bahwa ia boleh berbuat seperti itu. Ia dapat berlindung
pada “taksi” (avas). Menurut Jan Remmelink, AVAS merupakan singkatan dari afwezigheid van alle
schuld, jika ada kasus-kasus di mana kita dapay membuktikan bahwa tiada kesalahan sama sekali
maka kita dapat menggunakan avas untuk : kasus-kasus khusus, terjadi eror fact (kekeliruan yang
berkenaan dengan situasi factual) atau eror yuridis (kekeliruan yang berkenaan dengan situasi
yuridis). Alasan penghapus pidana putatief merupakan alasan penghapus kesalahan atau alasan
pemaaf.
http://www.kejaksaan.go.id/pusdiklat/uplimg/File/Asas-asas%20Hukum%20Pidana.doc
12
BAB XIV
GUGURNYA KEWENANGAN MENUNTUT DAN MENJALANKAN PIDANA
A. GUGURNYA KEWENANGAN MENUNTUT
Pada prinsipnya kewenangan melakukan penuntutan hadir seketika ada dugaan terjadinya
tindak pidana. Disini dianggap bahwa kepentingan umum dianggap langsung terkena sehingga
pihak yang terkena tindak pidana itu harus menerima adanya penuntutan sekalipun ia sendiri tidak
menghendakinya. Namun demikian terdapat beberapa hal yang menjadi dasar atas gugurnya
kewenangan jaksa untuk melakukan penuntutan menurut KUHP adalah :
1. Tidak adanya pengaduan dalam hal delik aduan (pasal 72-75 KUHP)
2. Ne bis in idem (pasal 76 KUHP)
3. Matinya terdakwa (pasal 77 KUHP)
4. Daluwarsa (pasal 78 KUHP)
5. Telah ada pembayaran denda maksimum kepada pejabat tertentu untuk pelanggaran yang
hanya diancam dengan denda saja (pasal 82 KUHP).
Sementara ketentuan diluar KUHP adalah :
1. Grasi
2. Abolisi
3. Amnesti
1. Delik Aduan
Kewenangan melakukan penuntutan pada prisipnya tidak berhubungan dengan kehendak
perorangan kecuali dalam beberapa delik tertentu diantaranya perzinahan (pasal 284), persetubuhan
terhadap anak dibawah umur (pasal 287-288), untuk melarikan wanita (pasal 332), pencemaran nama
baik (319) dan lain-lain.
a. Bentuk Delik Aduan
Dalam ilmu pengetahuan hukum pidana, delik aduan dibagi dalam dua bentuk :
1) Delik Aduan Absolut
Dalam hal dianggap bahwa kepentingan orang yang terkena tindak pidana itu melebihi kerugian
yang diderita oleh umum, maka hukum memberikan pilihan kepadanya untuk mencegah atau
memulai suatu proses penuntutan.
Misal: Seorang perempuan muda yang telah disetubuhi boleh memilih untuk menikahi laki-laki
yang menyetubuhinya daripada pelaku dijatuhi pidana.
Delik aduan absolute ini dapat dijumpai antara lain dalam ketentuan pasal 293 (perbuatan cabul
terhadap anak dibawah umur) pasal 322 (pelanggaran kewajiban menyimpan rahasia), pasal 335
(1) & (2) (perbuatan tidak menyenangkan) atau pasal 369 (pengancaman).
2) Delik Aduan relative
Karakter delik aduan ini tidak terletak pada sifat kejahatan yang dilakukan melainkan pada
hubungan antara pelaku / pembantu dan korban. Baik hubungan karena keturunan / darah atau
dalam hal hubungan perkawinan. Dalam hal relasi antara sifat keperdataan yang lahir dari
h8ubungan tersebut dapat menjadi alasan dalam mencegah terjadinya penuntutan. Kebanyakan
delik-delik ini terkait dengan delik dibidang harta benda (pasal 367 KUHP).
b. Yang berhak mengadu (subyek).
Ketentuan umum dalam pasal 72 KUHP menentukan :
1> Jika ybs. Belum 18 th / belum cukup umur / dibawah pengampunan (pasal 72) :
a) Oleh wakil yang sah dalam perkara perdata;
b) Wali pengawas / pengampu
c) Istrinya
d) Keluarga sedaraj garis lurus
e) Keluarga sedarah garis menyimpang sampai derajat ke-3
2> Jika ybs meninggal pasal 73 oleh :
a) Orang tuanya
b) Anaknya, atau
c) Suami / istri (kecuali ybs tidak menghendaki).
Disamping ketentuan umum tersebut diatas, ada pula ketentuan-ketentuan khusus, misalnya:
 Untuk perzinahan (pasal 284).
Yang berhak mengadu hanya suami / istri yang tercemar (ketentuan pasal 72 dan 73 diatas tidak
berlaku).
Penarikan kembali pengaduan dapat dilakukan, sewaktu-waktu, selama pemeriksaan dalam
siding pengadilan belum dimulai (ayat 4). Jadi ketentuan pasal 75 KUHP tidak berlaku.
Asas-asas Hukum Pidana
13
 Untuk melarikan wanita (pasal 332), Yang berhak mengadu:
1) Jika belum cukup umur oleh : wanita ybs, atau orang yang harus memberi ijin bila wanita itu
kawin
2) Jika sudah cukup umur, oleh : wanita ybs, atau suaminya.
c. Tenggang waktu pengajuan pengaduan (pasal 74)
1) Bertempat tinggal di Indonesia 6 bulan sejak mengetahui
2) Bertempat tinggal di luar Indonesia 9 bulan sejak mengetahui adanya kejahatan.
d. Penarikan kembali aduan
Dibuatnya suatu pengaduan tidak dengan serta merta berarti bahwa ijin memberikan
kewenangan penuntutan dilakukan secara final. Memang selayakanya pengaduan mencakup
pelaporan (aangifte) dengan permohonan dilakukannya penuntutan (verzoek tot vervolging). Bila
pengaduan sudah disampaikan, pada dasarnya jaksa penuntut umum tak perlu menunggu lewatnya
daluarsa menarik adauan, meskipun undang-undang memberikan jangka waktu 3 bulan (pasal 75).
Akan tetapi jika aduan tersebut ditarik kembali, maka kewenangan menuntut menjadi hapus.
2. NE BIS IN IDEM (PASAL 76)
Arti sebeanarnya dari neb is in idem ialah “tidak atau jangan dua kali yang sama”. Sering juga
digunakan istilah “nemodebet bis vexari” (tidak seorangpun atas perbuatnya dapat diganggu /
dibahayakan untuk kedua kalinya) yang dalam literature Angka Saxon diterjemahkan menjadi “No
one could be put twice in jeopardy for tha same offerice”.
Dasar pikiran atau ratio dari azas ini ialah :
 Untuk menjaga martabat pengadilan (untuk tidak memerosotkan kewibawaan Negara);
 Untuk rasa kepastian bagi terdakwa yang telah mendapat keputusan.
Diakuinya azas Neb is in idem ini terlihat dalam rumusan pasal 76 KUHP yang berbunyi
(ayat (1) sub 1) sbb:
“Kecuali dalam hal putusan haikm masih mungkin diulangi (herzeining), orang tidak boleh dituntut
dua kali karena perbuatan yang oleh hakim Indonesia terhadap dirinya telah diadili dengan putusan
yang berkekuatan hukum tetap”.
Dengan demikian penuntutan terhadap seseorang dapat hapus berdasar neb is in idem,
apabila dipenuhi syarat-syarat sbb :
a) Ada putusan yang berkekuatan hukum tetap;
b) Orang terhadap siapa putusan itu dijatuhkan adalah sama;
c) Perbuatan (yang dituntut kedua kali) adalah sama dengan yang pernah diputus terdahulu itu.
Dengan adanya syarat ini berarti terhadap putusan tersebut harus sudah tidak ada alat
hukum / upaya hukum (rechtsmiddel) yang dapat dipakai untuk merubah keputusan tersebut. Ada
pendapat bahwa peninjauan kembali (herzeining) merupakan salah satu upaya hukum, sehingga
pengecualian yang tersebut dalam pasal 76 itu (yaitu adanya herzeining merupakan pengecualian
terhadap azas ne bis in idem) sebenarnya tidak perlu. Jadi menurut pendapat ini, dengan adanya
herzeining berarti putusan itu memang belum berkelanjutan dari tuntutan hukum yang pertama, jadi
bukan merupakan tuntutan hukum yang kedua kali.
a. Adanya putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap;
Keputusan hakim (yang berkekuatan hukum tetap) yang dimaksud disini adalah keputusan
terhadap perbuatan atau perkara ybs, yaitu yang dapat berupa :
1) Pembebasan (vrijspraak) pasal 191 (1) KUHAP (dulu 313 RIB).
2) Pelepasan dari segala tuntutan hukum (ontslag van allerechtvervolging) pasal 191 ayat (2) KUHAP
(dulu 314 RIB);
3) Penjatuhan pidana pasal 193 ayat (1) KUHAP (dulu 315 RIB).
Jadi keputusan-keputusan tersebut sudah mengandung penentuan terbukti tidaknya tindak
pidana atau kesalahan terdakwa. Azas ne bis in idem tidak berlaku untuk keputusan hakim yang
belum berhubungan dengan pokok perkara, yang biasanya disebut “penetapan-penetapan”
(beschikking), misalnya :
1) Tentang tidak berwenangnya hakim untuk memeriksa perkara yang bersangkutan;
2) Tentang tidak diterimanya tuntutan Jaksa karena terdakwa tidak melakukan kejahatan;
3) Tetang tidak diterimanya perkara karena penuntutan sudah daluwarsa.
Adanya penetapan-penetapan serupa itu tidak merupakan alasan untuk adanya neb is in
idem. Jadi pasal 76 KUHP tidak mengenai penetapan-penetapan. Perlu pula diperhatikan bahwa
putusan-putusan hakim seperti dikemukakan diatas adalah putusan yang menyangkut perkara
pidana, jadi keputusan mengenai hukum pidana.
http://www.kejaksaan.go.id/pusdiklat/uplimg/File/Asas-asas%20Hukum%20Pidana.doc
14
Apabila misalnya seorang pengendara motor menabrak penjual soto dan dia dituntut secara
perdata untuk memberi ganti rugi, maka putusan hakim mengnai hal ini tidak menghalangi untuk
dilakukannya penuntutan dalam perkara pidananya. Jadi dalam hal ini tidak ada neb is in idem.
Begitu pula sebaliknya, apabila yang diputus adsalah perkara pidananya lebih dulu, maka
putusan ini tidak merupakan alasan untuk neb is in idem dalam perkara gugatan perdata. Jadi
tegasnya pasal 76 KUHP hanya berlaku untuk perkara-perkara pidana.
Adanya keputusan hakim yang menjadi syarat neb is in idem ini tidak hanya keputusan
hakim Indonesia, tetapi dapat juga keputusan hakim Negara lain (hakim asing). Hal ini disebut dalam
pasal 76 (2) dengan syarat putusan hakim asing tersebut harus berupa :
1) Putusan yang berupa pembebasan;
Dengan syarat-syarat diatas, maka apabila keputusan hakim asing yang berupa pemidanaan
baru sebagian dijalani, maka orang tersebut di Indonesia dapat dituntut lagi. Dalam pengertian
“telah dijalani seluruhnya” putusan hakim asing itu, menurut Pompe termasuk pidana bersyarat
(V.V. = voorwaardelijke veroordelling) dan pelepasan bersyarat (V.I. = voorwaardelijke
invrijheidstelling).
2) Putusan yang berupa pelepasan dari tuntutan hukum;
Orang yang dituntut harus sama. Ini merupakan segi subyektif dari persyaratan neb is in idem.
Apabila misalnya A dan B melakukan tindak pidana bersama-sama, akan tetapi yang tertangkap
dan dituntut pidana baru A, maka dalam hal B kemudian tertangkap ia tetap masih dapat
dituntut walaupun misalnya A dibebaskan.
3) Putusan berupa pemidanaan :
a) Yang sekuruhnya telah dijalani, atau
b) Yang telah diberi ampun (grasi), atau;
c) Yang wewenang untuk menjalankannya telah hapus karena kadaluwarsa.
b. Perbuatan (yang dituntut kedua kali) adalah sama dengan yang pernah diputus terdahulu itu.
Harus ada feit / perbuatan yang sama. Ini segi obyektif dari neb is in idem (objective identiteit).
Masalah ini merupakan masalah yang paling sukar, seperi halnya dijumpai dalam concursus/
gabungan tindak pidana.
Misal : A melakukan pemerkosaan dijalan umum (pasal 285 dan 281). Seandainya Jaksa hanya
menuntut berdasar pasal 285 (perkosaan) saja dan ternyata tidak terbukti, sehingga terdakwa lepas
dari segala tuntutan, maka apakah Jaksa masih dapat menuntut yang kedua kalinya berdasar pasal
281 (melanggar kesusilaan dimuka umum)? dan pakah putusan yang pertama merupakan res judicata
(putusan yang neb is in idem)?
Jawaban terhadap masalah ini tergantung atau berkisar pada apa yang dimaksud dengan
“feit”. Kalau kasus diatas dipandang sebagai concursus realis, sehingga dapat dikatakan terdakwa
melakukan beberapa perbuatan, maka dimungkinkan ada penuntutan lagi. Akan tetapi apabila
dipandang sebagai concursus idealis, dimana hanya dipandang ada satu perbuatan, maka hanya
dimungkinkan adanya satu kali penuntutan saja.
Catatan :
 Apabila dipandang sebagai concursus realis, maka tidak ada neb is in idem;
 Apabila dipandang sebagai concursus idealis, maka ada neb is in idem;
Dalam yurisprudensi, ajaran feit materiil pada neb is in idem telah ditinggalkan pada tahuan
1932, yaitu dengan Arrest HR 27 Juni 1932.
Kasusnya: Orang yang sedang mabuk ditempat umum mengganggu ketentraman umum,
telah memukul dada dan menendang kaki seorang anggota polisi yang sedang menjalankan
tugasnya.
Mula-mula terdakwa diputus dan dipidana karena menganiaya polisi (pasal 356 sub. 2),
kemudian oleh jaksa dituntut lagi mengenai menggangu ketentraman umu dalam keadaan mabuk
(pasal 492). Tuntutan kedua ini oleh pengadilan diterima dan terdakwa dijatuhi pidana. Terdakwa
banding, dan pengadilan tinggi menyatakan ada ne bis in idem. Jaksa mengajukan kasasi ke Hoge
Raad dengan mengatakan bahwa perbuatan terdakwa itu merupakan dua perbuatan dipandang dari
sudut hukum pidana, jjadi disini tidak ada perbuatan yang sama, seperti dimaksud dalam pasal 76
HR melihat disini juga ada 2 perbuatan yang mempunyai cirri yang berlainan, sehingga tuntutan
jaksa dapat diterima.
Persoalan feit / perbuatan pada pasal 76, disamping berlkaitan erat de4ngan masalah
concursus, juga berhubungan dengan masalah, alternativitas dalam tuduhan dapat meliputi masalah :
1) Perbuatannya/ketentuan yang dilanggar :
Misal : perbuatan A sebenarnya dapat dikualifisir dalam 3 kemungkinan yaitu :
a) Dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain (pasal 338),
b) Karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain (pasal 359),
c) Dengan sengaja menganiaya yang berakibat mati (pasal 351 ayat (3)).
2) Waktu terjadinya tindak pidana
Asas-asas Hukum Pidana
15
Misal seorang dituntut telah melakukan pencurian pada tgl 1 Juni 1979, tetapi didalam surat
tuduhan tercantum tgl 1 Juli 1979. apabila terdakwa dibebaskan unutk tuduhan pencurian
tercantum tgl. 1 Juni, Jaksa tidak dapat menuntut lagi berdasar tgl. Yang betul. Disini ada neb is
in idem. Dalam hala ini sebenarnya sebelum ada putusan, jaksa dapat mengajukan permintaan
unutk “merubah surat tuduhan berdasar pasal 282 HIR, asal Feitnya tetap.
3) Tempat terjadinya tindak pidana.
Misal semula terdakwa dituduh mencuri di taman Diponegoro, kemudian dibebaskan. Jaksa
kemudian mengajukan tuduhan lagi. Berdasar tempat pencurian yang sebenarnya dilakukan
yaitu di Stadion Diponegoro. Disinipun ada neb is in idem.
Kesukaran dan ketidakpastian yang ditimbulkan oleh perkataan ”feit” dirubah menjadi
“strafbaar feit”. Dengan perubahan ini menurut Pompe, penerapan pasal 76 lebih mudah. Namun
diakui bahwa itu berarti menyempitkan berlakunya pasal 76, artinya kemungkinana penuntutan
kembali menjadi longgar. Tetapi menurut Pompe, halangan dalam penuntutan baru, dapat lebih
merugikan kepentingan umum dari pada mengulangi percobaan untuk penerapan undang-undang
pidana dengan setepat-tepatnya.
3. MATINYA TERDAKWA (PASAL 77) DAN MATINYA TERPIDANA (PASAL 83).
Hal ini wajar karena KUHP berpendirian bahwa yang dapat menjadi subyek hukum hanyalah
orang dan pertanggungan jawab bersifat pribadi. Dalam hal ini tidak ada suatu tanggungjawab
pidana diwariskan. Konsekwensi dari pemikiran ini adalah bahwa kematian seorang tersangka atau
terdakwa menyebabkan kewenangan seorang Jaksa penuntut menjadi gugur. Sementara kematian
seseorang terpidana menyebabkan kewajiban menjalankan pidana menjadi terhapuskan.
4. DALUWARSA (VERJARING).
a. Daluwarsa Penuntutan.
Ditetapkannya lemabga daluarsa penuntutan dalam KUHP pada dasarnya dilandasi oleh
beberapa pemikiran yaitu:
 Dalam kenyataannya perputaran waktu tidak hanya secara perlahan menghapuskan akibat
tindak pidana yang terjadi akan tetapi juga mengahpuskan keinginan untuk melakukan
pembalasan.
 Berjalannya waktu sekaligus menghapuskan jejak-jejak tindak pidana yang menyebabkan
kesulitan pembuktian.
 Bahwa pelaku setelah bertahun-tahun menyembunyikan diri sudah cukup terhukum dengan
kehidupan yang tidak tenang dan penuh kecemasan.
Namun demikian yang utama dari ketiga lasan itu adalah kebutuhan untuk memidana dan
kesulitan pembuktian menjadi alasan utama. Karena itu adagium punier non (simper) necesse est
(menghukum tidak selamanya perlu) menajdi dasar dari keberadaan lembaga ini.
1) Tenggang Waktu Daluwarsa Penuntutan.
Tenggang waktu daluwarsa ditetapkan dalam pasal 78 (1), yaitu :
a) Untuk semua pelanggaran dan kejahatan percetakan : sesudah 1 tahun;
b) Untuk kejahatan yang diancam denda, kurungan atau penjara maksimum 3 tahun :
daluwarsanya sesudah 6 tahun;
c) Untuk kejahatan yang diancam pidana penjara lebih dari 3 tahun daluwarsanya 12 tahun;
d) Untuk kejahatan yang diancam pidana mati atau seumur hidup : daluwarsanya sesudah 18
tahun.
Menurut pasal 79, tenggang daluwarsa mulai berlaku pada hari sesudah perbuatan
dilakukan, kecuali dalm hal-hal tertentu yang disebut dalam pasal tersebut yang menyangkut
vorduurende delict (delik berlangsung terus lihat penjelasan dalam bab tetang jenis delik). Adapun
yang diatur dalam pasal 79 adalah :
 Kejahatan terhadap mata uang (pasal 244) perhitungan daluwarsa didasarkan pada waktu
setelah uang dipakai atau diedarkan;
 Kejahatan terhadap kemerdekaan seseorang (pasal 328, 329, 330 dan 333), daluwarsa dihitung
keesokan hari setelah orang tersebut dibebaskan atau ditemukan meninggal dunia;
 Kejahatan terhadap register kependudukan (pasal 556-558 a), sehari setelah data tersebut
dimasukkan dalam catatan register.
2) Pencegahan dan penangguhan.
a) Pencegahan (stuiting).
Menurut pasal 80 (1) tenggang daluwarsa terhenti / tercegah (gestuit) apabila ada tindakan
penuntutan (daad van vervolging). Pada mulanya tindakan penuntutan diartikan secara luas
http://www.kejaksaan.go.id/pusdiklat/uplimg/File/Asas-asas%20Hukum%20Pidana.doc
16
yaitu mencakup juga tindakan-tindakan pengusutan (daad van opsporing). Tetapi yurisprudensi
kemudian menerima pendapat yang lebih sempit, yaitu hanya perbuatan-perbuatan penuntut
umum yang langsung menyangkutkan hakimdalam acara pidana (misal menyerahkan perkara
ke siding, mendakwa / mengajukan tuduhan, memohon revisi), jadi tindakan pengusutan tidak
lagi dianggap termasuk tindakan penuntutan. Menurut pasal 80 (2) sesudah terjadinya
pencegahan (stuiting) mulai berjalan tenggang daluwarsa yang baru, jadi selama terhentinya
selama ada tindakan penuntutan tenggang waktunya tidak dihitung.
b) Penangguhan (scorsing).
Menurut pasal 81 (1) tenggang daluwarsa penuntutan tertunda/tertangguhkan (geschorst)
apabila ada perselisihan praejudisiil, yaitu perselisihan menurut hukum perdata yang terlebih
dulu harus diselesaikan sebelum acara pidana dapat diteruskan. Dalam hal ada
penundaan/pertangguhan (schorsing) maka tenggang waktu yang telah dilalui, sebelum
diadakannya penundaan, tetap diperhitungkan terus. Hanya saja selama acara hukum perdata
berlangsung dan belum selesai, tenggang daluwarsa tuntutan pidana, dipertangguhkan. Hal ini
dimaksudkan agar terdakwa tidak diberi kesempatan untuk menunda-nunda penyelesaian
perkara perdatanya dengan perhitungan dapat dipenuhinya tenggang daluwarsa penuntutan
pidana.
b. Daluwarsa Pemidanaan.
Sama dengan daluarsa penuntutan maka landasan pemikiran atas daluarsa pemidanaan
didasarkan kepada dua hal yaitu :
1) dalam kenyataannya perputaran waktu tidak hanya secara perlahan menghapuskan akibat
tindak pidana yang terjadi akan tetapi juga menghapuskan keinginan unutk melakukan
pembalasan
2) bahwa pelaku setetlah bertahun-tahun menyembunyikan diri sudah cukup terhukum dengan
kehidupan yang tidak tenang dan penuh kecemasan.
Perbedaannya disini adalah alasan kesulitan pembuktian tetunya tidak lagi relevan disini.
1) Daluwarsa kewenangan menjalankan pidana.
Tenggang waktu daluwarsanya diatur dalam pasal 84 (2), yaitu :
a) untuk semua pelanggaran : daluwarsanya 2 tahun.
b) Untuk kejahatan percetakan : daluwarsanya 5 tahun.
c) Untuk kejahatan lainnya : daluwarsanya sama dengan daluwarsa penuntutan (lihat pasal 78 )
ditambah sepertiga.
Pada ayat (3) ditetapkan bahwa :
“tidak ada daluwarsa untuk kewenangan mejalankan hukuman mati”.
Menurut pasal 85 (1) tenggang daluwarsa dihitung mulai pada keesokan harinya sesudah
putusan hakim dapat dijalankan. Ini tidak sama dengan putusan hakim yang inkracht van
gewijsde (putusan ayat berkekuatan tetap). Pada umumnya memang putusan hakim yang
berkakuatan hukum tetap. Tetapi ada putusan hakim yang sudah dapat dieksekusi sebelum
keputusan itu berkekuatan tetap, yaitu “verstek-vonnis” (keputusan diluar hadirnya terdakwa).
2) Pencegahan Dan Penagguhan Daluwarsa Pemidanaan
a) pencegahan (stuiting)
pencegahan (stuiting) terhadap daluwarsa hak untuk menjalankan / mengeksekusi pidana dapat
terjadi dalam dua hal (pasal 85 ayat (2)) yaitu :
(1) Jika terpidana melarikan diri selama menjalani pidana
Dalam hal ini, tenggang daluwarsa baru dihitung pada keesokan harinya setelah melarikan
diri.
(2) Jika pelepasan bersyarat dicabut
Dalam hal ini, maka pada esok harinya setelah pencabutan, mulai berlaku tenggang
daluwarsa baru.
Dengan demikian selama ada pencegahan, maka jangka lewat waktu yang telah dilalui hilang
sama sekali (tidak dihitung).
b) Penagguhan (schorsing).
Penundaan (schorsing) terhadap daluwarsa hak untuk mengeksekusi pidana dapat terjadi
dalam dua hal (pasal 33 ayat (3) yaitu :
(1) selama perjalanan pidana ditunda menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku;
(2) selama terpidana dirampas kemerdekaannya (ada calon tahanan), walaupun perampasan
kemerdekaan itu berhubung dengan pemidanaan lain.
5. Grasi
Asas-asas Hukum Pidana
17
Grasi tidak menghilangkan putusan hakim ybs. Keputusan hakim tetap ada, tetapi
pelaksanaannya dihapuskan atau dikurangi / diringankan. Jadi grasi dari presiden, dapat berupa :
a) Tidak mengeksekusi seluruhnya,
b) Hanya mengeksekusi sebagian saja
c) Mengadakan komutasi yaitu jenis pidananya diganti, misal penjara diganti kurungan, kurungan
diganti dengan denda, pidana mati diganti penjara seumur hidup.
Dasar pemikiran lembaga grasi menurut Remelink adalah keadaan pada waktu hakim
menjatuhkan putusan tidak atau kurang diperhatikan atau mungkin pertimbangan dan yang bila
(secara memadai sebelumnya ia keathui, akan mendorongnya menjatuhkan pidana atau tindakan lain
atau bahkan untuk tidak menjatuhkan sanksi sekalipun. Grasi dapat dikabulkan manakala hukuman
yang dijatuhkan dianggap tidak akan mencapai tujuan atau sasaran pemidanaan itu sendiri.
Perihal prosedur Grasi diatur dalam undang-undang 22 tahun 2002, menurut ketentuan pasal
2 ayat (2) grasi hanya dapat dimohonkan bagi terpidana yang dijatuhi pidana mati, penjara seumur
hidup, penjara paling rendah 2 tahun. Dalam pasal 2 ayat (3) permohonan grasi hanya dapat
diajukaqn 1 (satu) kali, kecuali dalam hal :
a) Terpidana yang pernah ditolak permohonan grasinya dan telah lewat waktu 2 (dua) tahun sejak
tanggal penolakan permohonan grasi tersebut;
b) Terpidana yang pernah diberi grasi dari pidana mati menjadi pidana penjara seumur hidup dan
telah lewat waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal keputusan pemberian grasi diterima.
Sementara pasal 3 permohonan grasi tidak menunda pelaksanaan putusan pemidanaan bagi
terpidana, kecuali dalam hal putusan pidana mati.
Permohonan grasi oleh terpidana atau kuasa hukumnya atau oleh keluarga terpidana, dengan
persetujuan terpidana (pasal 6 (1-2)) kecuali dalam hal terpidana dijatuhi pidan mati, permohonan
grasi dapat diajukan oleh keluarga terpidana tanpa persetujuan terpidana (pasal 6 ayat (3)).
Permohonan grasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 dan pasal 7 diajukan secara tertulis
oleh terpidana, kuasa hukumnya, atau keluarganya kepada Presiden. Salinan permohonan grasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada pengadilan yang memutus perkara pada
tingkat pertama untuk diteruskan kepada Mahkamah Agung. Permohonan grasi dan slinannya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat disampaikan oleh terpidana melalui Kepala
Lembaga Pemasyarakatan sebagaimana dimaksudkan pada ayat (3), Kepala Lembaga
Pemasyarakatan menyampaikan permohonan grasi tersebut kepada Presiden dan salinannya
dikirimkan kepada pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama paling lambat 7 hari
terhitung sejak diterimanya permohonan grasi dan salinannya.
Dalam jangka waktu paling lambat 20 (dua puluh) haru terhitung sejak tanggal penerimaan
salinan permohonan grasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 8, penagdilan tingkat pertama
mengirimkan salinan permohonan dan berkas perkara terpidana kepada Mahkamah Agung. Dan
dalam jangka waktu paling lambat 3 (tigta) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya salinan
permohonan dan berkas perkara sebagaimana dimaksud dalam pasal 9, Mahkamah Agung
mengirimkan pertimbangan tertulis kepada Preisden. Presiden memberikan keputusan atas
permohonan grasi setelah memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Jangka waktu
pemberian atau penolakan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lambat 3 (tiga) bulan
terhitung sejak diterimanya pertimbangan Mahkamah Agung, keputusan Presiden dapat berupa
pemberian atau penolakan grasi.
6. Amnesti
Amnesti dapat didefinisikan sebagai pernyataan umum (yang diterbitkan dalam suatu aturan
perundang-undangan) yang memuat pencabutan senua akibat pemidanaan dari suatu delik tertentu
atau satu kelompok delik tertentu, demi kepentingan semua terpidana maupun bukan, terdakwa
ataupun bukan, mereka yang identitasnya diketahui ataupun tidak namun bersalah melakukan
tindakan tersebut. Oleh karena itu amnesti mencakup perkara dalam fase ante sentantiam (sebelum
dijatuhkanya putusan) maupun post sentantiam (pasca proses ajudikasi).
Dalam praktek amnesti diberikan karena alasan politik.
7. Abolisi
Seperti halnya grasi dan amnesti, abolisi merupakan hak prerogative presiden yang
ditetapkan dalam UUD 1945 sebelum perubahan. Abolisi mengandung pengertian penghapusan yang
diberikan kepada perseorangan yang mencakup penghapusan seluruh akibat penghukuman seluruh
akibat penjatuhan putusan, termasuk putusan itu sendiri. Abolisi dengan demikian berlaku ante
sentiam yang berkaitan dengan dilepaskannya kewenangan melakukan penuntutan atau pelanjutan
dari penuntutan yang sudah dimulai.
http://www.kejaksaan.go.id/pusdiklat/uplimg/File/Asas-asas%20Hukum%20Pidana.doc
18
BAB XV
R E S I D I V E
( PENGULANGAN TINDAK PIDANA)
A. PENGERTIAN
Residive atau pengulangan terjadi apabila seseorang yang melakukan suatu tindak pidana
dan telah dijatuhi pidana dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (
MKHT) atau “in kracht van gewijsde”, kemudian melakukan tindak pidana lagi.
Perbedaannya dengan Concursus Realis ialah pada Residive sudah ada putusan Pengadilan
berupa pemidanaan yang telah MKHT sedangkan pada Concursus Realis terdakwa melakukan
beberapa perbuatan pidana dan antara perbuatan sang satu dengan yang lain belum ada putrusan
Pengadilan yang MKHT.
Residive merupakan alasan untuk memperberat pidana yang akan dijatuhkan. Dalam ilmu
hukum pidana dikenal ada dua sistem residive ini, yaitu :
1. Sistim Residive Umum
Menurut sistem ini, setiap pengulangan terhadap jenis tindak pidana apapun dan dilakukan
dalam waktu kapan saja, merupakan alasan untuk memperberat pidana yang akan dijatuhkan.
Jadi tidak ditentukan jenis tindak pidana dan tidak ada daluwarsa dalam residivenya.
2. Sistem Residive Khusus
Menurut sistem ini tidak semua jenis pengulangan merupakan alasan pemberatan pidana.
Pemberatan hanya dikenakan terhadap pengulangan yang dilakukan terhadap jenis tindak
pidana tertentu dan yang dilakukan dalam tenggang waktu yang tertentu pula.
B. MENURUT KUHP
Dalam KUHP ketentuan mengenai Residive tidak diatur secara umum tetapi diatur secara
khusus untuk kelompok tindak pidana tertentu baik berupa kejahatan maupun pelanggaran.
Disamping itu di dalam KUHP juga memberikan syarat tenggang waktu pengulangan yang
tertentu. Jadi dengan demikian KUHP termasuk ke dalam sistem Residive Khusus.
C. Residive Kejahatan
Residive terhadap kejahatan dalam pasal : 137(2), 144(2), 155(2), 161(2), 163(2), 208(2), 216(3),
321(2), 393(2) dan 303 bis (2).
Jadi ada 11 jenis kejahatan yang apabila ada pengulangan menjadi alasan pemberat. Perlu
diingat bahwa mengenai tenggang waktu dalam residive tersebut tidak sama, misalnya :
1. Pasal : 137, 144, 208, 216, 303 bis dan 321 tenggang waktunya dua tahun ;
2. Pasal 154, 157, 161, 163 dan 393 tenggang waktunya lima tahun.
3. Sedangkan untuk residive yang diatur dalam Pasal 486, 477 dan 488 KUHP mensyaratkan bahwa
tindak pidana yang diulangi termasuk dalam kelompok jenis tindak pidana tersebut.
D. Residive Pelanggaran
Residive dalam pelanggaran ada 14 jenis tindak pidana, yaitu :
Pasal : 489, 492, 495, 501, 512, 516, 517, 530, 536, 540, 541, 544, 545, 549 KUHP.
Syarat-syarat Recidive pelanggaran disebutkan dalam masing-masing pasal yang
bersangkutan.
E. RECIDIVE DI LUAR KUHP
Recidive diluar KUHP antara lain diatur di dalam Undang-Undang:
1. Tindak Pidana Narkotika (UU 22 / 1997), Pasal 78 s/d 85, dan pasal 87;Tenggang waktu lima
tahun. Ancaman pidana ditambah sepertiga
2. Tindak Pidana Psikotropika (UU No.5/1997), Pasal 72, ancaman pidana ditambah sepertiga.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | coupon codes