Senin, 19 Desember 2011

Kuliah Hukum Pidana I

Kuliah Hukum Pidana I (1)
PENDAHULUAN
Arti Pidana dan Hukum Pidana
Definisi pidana
  • Sudarto; penderitaan yang sengaja dibebankan pada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.
  • Roeslan Saleh; reaksi atas delik, dan ini berujud suatu nestapa yang sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik itu.
  • Muladi dan Bardi Nawawi. (1) Penderitaan, nestapa atau akibat lain yang tidak menyenangkan, (2) diberikan dengan sengaja oleh yang berwenang, (3) pada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut UU.
Definisi hukum pidana
1.       Perintah dan larangan, yang pelanggarnya ditetapkan sanksi oleh badan negara berwenang (Hukum Pidana Materiil),
2.       Kapan dan dalam hal apa si pelangar dapat dijatuhi pidana (Hukum Pidana Materiil)
3.       Dengan cara bagaimana pengenaan pidana dapat dilaksanakan (Hukum Pidana Formil).
Ruang Lingkup Hukum Pidana
Materi
1. Materiil; peraturan hukum yang terdiri dari larangan dan perintah yang diancamkan pidana bagi pelanggarnya.
2. Formil/hukum acara pidana/law of criminal procedure/in cronceto; hukum yang menetapkan cara negara menggunakan haknya untuk melaksanakan pidana.

Subyek hukum/delik
i. Umum: pada semua subyek hukum. Contoh KUHP; membahas delik apapun.
ii. Khusus: hanya subyek hukum tertentu. Contoh Pidana Militer; membahas delik-delik tertentu, hukum fiskal (pajak), hukum pidana ekonomi.
Penulisan
i. Tertulis; KUHP dan KUHAP
ii. Tak tertulis; Hukum pidana adat.
Wilayah
i. Nasional: ketentuan-ketentuannya berasal dari negara itu sendiri.
ii. Internasional: ketentuan-ketentuannya berasal dari dunia internasional. Contoh kejahatan perang.


















Kuliah Hukum Pidana I (2)
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjD9R2qa3Qd3pXA2MdzeW8y2DHlmyiKQELkq4pEfme-qDXCFvAxTz9KD2Qn07KM7VOPsqhvZSSsCmXU-L7irmsI4xZoDOjSyw-aXPFzKdnQPGlsmh5y7nyqKt2GyEZoQzBQBaBTXSJlQUU/s400/Copy+of+sketsa+hukum.jpg
Posisi Hukum Pidana
Hukum pidana masuk dalam kelompok hukum publik. Walaupun pada akhirnya terdapat kerancuan antara hukum publik dan hukum privat.



Perbedaan Hukum Publik dan Hukum privat
1 Hukum Publik statusnya hirearki, yaitu antara negara dan warga negara. sedangkan Hukum Privat statusnya sejajar, yaitu antar individu atau warga negara
2 Hukum Publik yang mempertahankan adalah Negera, dalam hal ini penuntut umum. Sedangkan Hukum Privat yang mempertahankan adalah pihak yang berkepentingan.
3 Dalam Hukum Publik berlaku teori khusus, artinya hanya negara yang berhak melaksanakan. sedangkan dalam Hukum Privat berlaku teori umum, artinya baik negara atau warga negara boleh melaksanakan
4 Kepentingan yang diatur dalam Hukum Publik adalah kepentingan umum. Sedangkan dalam Hukum Privat adalah kepentingan perorangan/individu


Sejarah Hukum Pidana dan KUHP
Dengan asas konkordansi, KUHP merupakan salinan (copy) dari Strafwetboek (KUHP di Belanda). Strafweboek berlaku di Indonesia untuk golongan Eropa pada 1 September 1886. KUHP berlaku untuk golongan Bumi Putra pada 1 Januari 1918; nama aslinya Wetboek van strafrecht voor Nederlandsch Indie, biasa disingkat WvS.
Setelah Indonesia merdeka, WvS tetap berlaku berdasarkan UU no 1 tahun 1946.
Pasal 1: "Dengan menyimpang seperlunya dari Peraturan Presiden Republik Indonesia tertanggal 10 Oktober 1945 No. 2, menetapkan, bahwa hukum pidana yang sekarang berlaku adalah peraturan hukum pidana yang berlaku pada tanggal 8 Maret 1942".
Sedangkan yang berlaku pada 8 Maret 1942 adalah WvS.
























Kuliah Hukum Pidana I (3)
Ruang Lingkup Berlakunya Hukum Pidana Indonesia

Ruang Lingkup Hukum Pidana berdasarkan Waktu
Asas legalitas

A. Dasar hukum dan arti
Pasal 1 KUHP; "Tiada suatu perbutan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan".
Artinya: (1) perbuatan pidana adalah yang dicantumkan dalam per-UU-an
(2) ketentuan pidana harus lebih dulu ada daripada perbuatan itu

B. Tujuh aspek dari asas legalitas;
1. tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan ketentuan pidana menurut undang-undang;
2. tidak ada penerapan undang-undang pidana berdasarkan analogi;
3. tidak dapat dipidana berdasarkan kebiasaan; tetapi kebiasaan dapat dijadikan landasan. Seperti kejahatan kesusilaan (282 KUHP).
4. tidak boleh ada perumusan delik yang kurang jelas;
5. tidak ada kekuatan surut dari ketentuan pidana;
6. tidak ada pidana lain kecuali yang ditentukan undang-undang;
7. penuntutan pidana hanya menurut cara yang ditentukan undang-undang.

C. Sejarah asas legalitas
1. Rousseau (1762). Setiap orang akan mengemukakan pendapatnya dalam UU; termasuk juga para penjahat, sehingga tidak menjadi mangsa penjahat lain.
2. Beccaria (1764); menghendaki per-UU-an pidana yang berdasarkan asas rasional, memuja-muja kodifikasi, sehingga hakim tidak menafsirkan semaunya.
3. Bacon (1561-1632); suatu pembenaran pidana, penjahat harus diancam terlebih dahulu.
4. Jeremy Bentham (1748-1832); sukum bertujuan menjamin kebahagiaan, sehingga kepastian hukum adalah tujuan.
5. Anselm von Feurbach, Jerman (1775-1833). Asas legalitas adalah:
- Nulla poena sine lege; tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana menurut undang-undang.
- Nulla poena sine crimine; tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana.
- Nullum crimen sine poena legali; tidak ada perbutan pidana tanpa pidana menurut undang-undang.

Negara-negara yang mengakui asas legalitas:
- Austria; pasal 1787 KUHP Austria
- Denmark, pasl 1 (1) KUHP Denmark
- Belanda, pasal 15 Criminel Wetboek

Negara-negara yang menolak asas legalitas:
- Inggris; karena sebagian besar hukum pidana Inggris tidak tertulis. Inggris tidak mempercayai paper codes (hukum di kertas) dan paper prison (panjang kertas), namun lebih pada hakim, juri, penuntut umum, polisi dan pengacara yang berintegritas, kapibel, jujur dan menjunjung tinggi kehormatan.
- Nazi jerman; menghapuskannya pasa 28 Juni 1935.
- Uni Soviet; menghapusnya pada 1922. Karena "hanya merupakan alat kaum borjuis yang menguasai tata hukum posistif untuk memeprtahankan kedudukan di lapangan sosial ekonomi dan menindas kaum proletar". Mereka menyatakan; perbuatan saja yang membahayakan penguasa dikualifisir sebagai kejahatan. Namun mereka memberlakukan lagi pada Desember 1958.

Analogi
Montesquieu (dalam De I'esprit des lois; 1978); mempropagandakan asas legalitas; hakim hanya "mulut/corong UU". Ajaran ini banyak ditinggalkan, karena tidak satupun pembuat UU yang mampu mengatur segala hal yang akan terjadi dengan sejelas-jelasnya dan terperinci. Sehingga, diperlukan penafsiran (interpretasi) ketentuan UU. Dengan tujuan (van Apeldoorn); mencari dan menemukan kehendak pembentuk UU yang telah dinyatakan secara kurang jelas oleh pembuat UU.


Metode-metode interpretasi yang digunakan:
1. Gramatikal.
2. Sejarah undang-undang. Contoh UU Subversif; kata "dapat".
3. Sistematis; hubungan ketentuan yang satu dengan yang lain. Contoh: kejahatan terhadap keamanan negara dalam UU Anti Terorisme dan KUHP.
4. Teleologis; tujuan atau fungsional. Kasus penggelapan (pasal 372 KUHP), "kredit bank" dilihat dari fungsinya dalam masyarakat merupakan barang yang dapat dimilik. HR 11-5 1982.
5. Restriktif/akstentif. Kasus penggunaan aliran listrik tidak melalui meteran; termasuk pencurian (362 KUHP); karena listrik adalah barang, dan penggunaan termasuk mengambil. HR 23-5-1921.
Banyak sarjana hukum yang menyamakan/membedakan antara interpretasi restriktif dengan analogi. Beberapa negara melarang analogi, tetapi banyak yang menerapkan:
- Belanda; menyatakannya sebagai tafsir ekstensif. Kasus "secara melawan hukum menggunakan mobil orang lain tanpa maksud memiliki", menurut MA Belanda tangal 10 Mei 1943 dipersamakan dengan "pencurian bensin".
- Indonesia; PN Makassar 25 Pebruari 1959, dukum menyetubuhi pasinennya dalam rangka pengobatan diangap telah melanggar 286 KUHP. Padahal "onmacht" adalah tak berdaya jasmani, bukan rokhani.
- Inggris; sopir yang mengetahui kerusakan mobilnya lalu menjalankan, diangap "menimbulkan kecelakaan lalu lintas".
Larangan analogi dalam menentukan perbuatan pidana masih digunakan oleh beberapa negara; Indonesia dan Belanda. Pompe menyatakan, analogi/interpretasi restriktif perlu digunakan; yaitu dalam:
1. hal-hal yang dilupakan oleh pembuat UU
2. hal-hal baru; tidak diketahui pembuat UU sewaktu menyusunnya

Pengecualian Asas Legalitas
Pengecualian dari asas legalitas adalah hukum transitoir (peralihan), pasal 2 KUHP.
"Bilamana per-UU-an diubah setelah waktu terwujudnya perbutan pidana, maka terhadap tersangka digunakan ketentuan yang paling menguntungkan baginya".



Perubahan per-UU-an:
1. teori formil; redaksi per-UU-an pidana jelas dirubah. Contoh: UU Subversif dengan UU Anti Terorisme.
2. teori materiil terbatas; perubahan keyakinan hukum pembuat per-UU-an. Contoh UU Subversif dalam masa Orde baru Reformasi.
3. teori materiil tak terbatas; di samping itu juga karena perubahan waktu. Contoh UU Subversif dalam mas Reformasi.

Ruang Lingkup Berlakunya Berdasarkan Tempat
1. Asas teritorialitas
"… berlaku bagi setiap orang yang melakukan perbuatan pidana di wilayah Indonesia (2 KUHP) dan perahu Indonesia (3 KUHP)".
2. Asas nasionalitas/perlindungan/nasional pasif (pasal 4).
Bertujuan melindungi kepentingan nasional dan internasional. Ada juga yang memerinci; asas nasionalitas (kepentingan nasional) dan asas universalitas (kepentingan internasional).
Yaitu; setiap orang yang di luar Indonesia melakukan (semisal) kejahatan mata uang.
3. Asas personalitas/nasional aktif
Pasal 5 (1) KUHP; WNI melakukan kejahatan di negeri asing. Kejahatan keamanan negara (bab I buku II), menyerang martabat presiden (bab II buku II), penghasutan menentang penguasa umum (160 KUHP). Contoh Sri bintang Pamungkas ketika ke Jerman.
Pasal 5 (2) KUHP; WNA melukan tindak pidana di negara asing melakukan naturalisasi sebagai WNI, agar tidak dituntut di negara saing. Dengan pasal ini, WNA dapat dituntut.







Kuliah Hukum Pidana I (4)
Perbuatan Pidana/Tindak Pidana

Tindak pidana adalah istilah resmi dalam perundang-undangan pidana di Indonesia, yang merupakan terjemahan dari strafbaar feit. Karena ada yang menterjemahkan starbaar feit dengan perbuatan pidana (Moeljatno dan Roslean Saleh), peristiwa pidana (Konstitusi RIS, UUDS 1950, Tresna dan Utrecht), tindak pidana (Wirjono Prodjodikoro), delik (Satochid Kartanegara, A.Z. Abidin dan Andi Hamzah), perbuatan yang boleh dihukum (Karni dan van Schravendijk) dan pelanggaran pidana (Tirtaatmidjaja).
Tentunya ini juga memberikan definisi yang berbeda-beda, diantaranya:
1) Simons merumuskan bahwa strafbaar feit adalah kelakuan yang diancam pidana yang bersifat melawan hukum yang berhubungan dengan kesalahan dan dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab.
2) Wirjono Prodjodikoro mengemukakan bahwa tindak pidana adalah pelanggaran norma-norma dalam tiga bidang yaitu hukum perdata, hukum ketatanegaraan, dan hukum tata usaha pemerintah yang oleh pembentuk undang-undang ditanggapi dengan suatu hukuman pidana.
3) Moeljatno yang mengunakan istilah perbuatan pidana mendefinisikannya dengan: perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan dan disertai ancaman (sangsi) yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.
4) Roeslan Saleh menyatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh masyarakat dirasakan sebagai perbuatan yang tidak boleh atau tidak dapat dilakukan.
5) Vos merumuskan strafbaar feit adalah suatu kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan.
6) Pompe merumuskan bahwa strafbaar feit adalah suatu pelanggaran kaidah (penggangguan ketertiban hukum) terhadap mana pelaku mempunyai kesalahan untuk mana pemidanaan adalah wajar untuk menyelenggarakan ketertiban hukum dan menjamin kesejahteraan umum.
Unsur-unsur delik :



1. perbuatan; aktif atau pasif.
2. unsur melawan hukum yang obyektif; jika ajaran formil maka memenuhi rumusan delik, asas legalitas; atau jika ajaran meteriil maka patut dicela.
3. unsur melawan hukum yang subyektif; yaitu dalam kaitan pertanggungjawaban pidana dan ajaran kesalahan.


























Kuliah Hukum Pidana I (5)
Jenis-jenis Tindak Pidana

A. Kejahatan dan pelanggaran
Perbedaan antara kejahatan dengan pelanggaran;
1. Sisi sistematika. Kejahatan terdapat pada Buku II, sedang pelanggaran terdapat pada Buku III
2. Sisi kulaitatif. Menurut Jonkers, kejahatan merupakan delik hukum, perbuatan tidak adil atau tercela secara filsafat, sehingga harus dilarang. Sedang pelanggaran merupakan delik undang-undang, dilarang karena undang-undang menghendaki seperti itu.
3. Sisi kuantitatif. Kejahatan lebih berat, sehinga "delik hukum"; pelanggaran lebih ringan, sehingga "delik undang-undang".
4. Dalam kejahatan terdiri dari; dengan sengaja (dolus) dan kealpan (culpa).
5. Percobaan atau pembantuan hanya dikenal pada kejahatan, dan tidak dikelan dalam pelanggaran.
6. Ketika terjadi pembarengan (concorsus); dalam kejahatan ancaman pidana tertinggi ditambah sepertiga. Sedang dalam pelanggaran, dengan "komulasi murni", kecuali kurungan tidak boleh lebih dari delapan bulan.
7. Pidana penjara hanya menjadi ancama pidana dalam kejahatan, tidak boleh bagi pelanggaran.

B. Delik dolus dan delik culpa
1. Delik dolus; tindak pidana yang dalam perwujudannya diperlukan adanya kesengajan. Contoh: Pasal 338 KUHP; "dengan sengaja menyebabkan matinya orang lain".
2. Delik culpa; tindak pidana yang dalam perwujudannya tidak diperlukan kesengajan, cukup kealpaan. Contoh: Pasal 359 KUHP; "kealpaan menyebabkan matinya seseorang".

C. Delik formil dan delik materiil
1. Delik formil; tindak pidana yang dalam perumusannya hanya menguraikan perbuatan yang dilarang, tanpa akibat. Contoh: pasal 263 KUHP (pemalsuan surat) dan 362 KUHP (pencurian).
2. Delik materiil; tindak pidana yang dalam perumusannya mensyaratkan adanya akibat. Contoh; (1) pasal 338 KUHP (pembunuhan), jika tidak terjadi (korban tidak tewas), maka disebut 351 (1) KUHP (penganiayaan biasa) atau 351 (2) KUHP (penganiayaan mengakibatkan luka berat). Contoh lain; (2) pasal 351 (1) KUHP (penganiayan biasa); jika tidak terjadi, tidak dipidana (pasal 351 (5) KUHP, percobaan penganiayaan).

D. Delicta commissionis dan delicta ommissionis
1. Delicta commissionis; tindak pidana yang terjadi dengan cara melakukan sesuatu. Contoh: Pasal 362 KUHP (pencurian), dengan melakukan mencuri.
2. Delicta commissionis; tindak pidana yang terjadi dengan cara tidak melakukan sesuatu. Tidak bersaksi.

E. Delik biasa dan delik yang dikualifisir
1. Delik biasa; tindak pidana yang umum.
2. Delik yang dikualifisir; delik biasa ditambah dengan unsur-unsur yang memberatkan ancaman pidana; karena cara, obyek, kondisi dan akibat yang khusus. Contoh: Pasal 362 KUHP; pencurian biasa (delik biasa). Pasal 363 KUHP; pencurian dikualifisir (delik yang dikualifisir); karena ketika kebakaran, dengan beberapa orang, obyeknya hewan ternak.

F. Delicta communia (biasa) dan delicta proparia (khusus)
1. Delik biasa; tindak pidana yang subyek hukumnya siapapun. Contoh: Pasal 338 KUHP (pembunuhan)
2. Delik khusus; tindak pidana yang subyek hukumnya khusus. Contoh: Delik jabatan.

G. Delik biasa dan delik aduan
1. Delik biasa; tindak pidana yang dalam penuntutannya tidak dipersyaratkan adanya aduan pihak yang dirugikan. Contoh: Pasal 338 KUHP (pembunuhan).
2. Delik aduan; tindak pidana yang dalam penuntutanya dipersyaratkan adanya pengaduan pihak yang dirugikan. Contoh: Pasal 284 KUHP (perzinahan); aduan suami/istri, pasal 293 KUHP (pencabulan di bawah umur); aduan korban, pasal 310 KUHP (penghinaan); aduan korban.

H. Delik tunggal dan delik majemuk
Delik majemuk; berbagai delik yang dipersatukan menjadi satu; menjadi kebiasaan/dilakukan berulang-ulang. Contoh: Pasal 296 KUHP (murcikari), pasal 481 KUHP (penadahan)

I. Delik menerus dan tidak menerus
1. Delik menerus; perbuatan yang dilarang berlangsung terus. Contoh: Pasal 333 KUHP; merampas kemerdekan orang lain secara tidah sah (penahanan); terus sampai dilepaskan atau mati.
2. Delik tidak menerus; perbuatan yang dilarang langsung selesai. Contoh: Pasal 362 KUHP (pencurian).

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | coupon codes